Minggu, 09 Februari 2014

PAKET WISATA KE PERADABAN BADUY












SEKILAS MASYARAKAT BADUY
Masyarakat Baduy adalah salah satu dari sedikit peradaban manusia yang masih utuh dan terbebas dari hiruk pikuk kehidupan modern di muka bumi. Hidup damai dengan alam.  Ajaran leluhur masyarakat Baduy dijalankan dengan konsisten sejak ratusan, mungkin ribuan tahun silam tanpa terpengaruh sedikit pun oleh kehidupan “luar”.  Mereka tidak mengenal TV, radio, listrik, jual beli, sekolah. dan berbagai bentuk aktivitas manusia modern.  "Baduy Dalam" bahkan dianggap belum mengenal mata uang sebagai alat tukar menukar.

Masyarakat Suku Baduy, terletak di Desa Kenekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak Banten. Leuwidamar adalah salah satu dari 19 kecamatan yang ada di Kabupaten Lebak. Sedangkan Desa Kenekes adalah satu dari 295 desa dan 5 kelurahan di Kabupaten Lebak. Letaknya di ujung Barat Pulau Jawa. Populasinya diperkirakan antara 5.000 hingga 8.000 orang. 

Baduy dibagi menjadi 2 bagian:, Baduy Dalam dan Baduy Luar. Baduy Dalam dipimpin kepala desa yang disebut “Pu’un”. Masyarakat yang masih sangat tertutup dan sangat kuat adat dan keyakinannya. Cara berpakaiannya warna dan modelnya sama. Tidak boleh menggunakan sepatu/sandal, tidak boleh menyeberangi pulau, menggunakan alat transportasi dll.

"Baduy Luar", dipimpin seorang kepala kampung yang disebut “daina”. Lebih terbuka daripada Baduy Dalam. Sebagian sudah mengenal teknologi seperti handphone dan radio. Mereka juga menjalani pendidikan sekolah dan dapat membaca dan menulis. Masyarakat Baduy Luar memiliki kerajinan batik yang khas, yang dibuat secara tradisonal oleh kaum  wanitanya selanjutnya dijual atau dijadikan pakaian. Masyarakat Baduy sangat ramah dengan pengunjung. Mempersiapkan rumahnya untuk dijadikan tempat istirahat.

Mata pencaharian utama Baduy Luar adalah bercocok tanam, dan sebagian berdagang. Baduy Luar sudah tidak terikat larangan menggunakan pakaian khas. Mereka bisa menggunakan pakaian yang sama seperti umumnya kita pakai. Mereka pun tidak memiliki larangan untuk menggunakan alat transportasi, sehingga Baduy Luar secara umum akan terlihat seperti masyarakat biasa. Baduy Dalam kira kira 5 jam perjalanan kaki dari Baduy Luar/Cibolger).

Untuk menyaksikan dan memahami kehidupan orang-orang Baduy, kami menawarkan paket wisata perjalanan ke Baduy Luar dan Dalam. Sebuah perjalanan bukan sekadar menonton masyarakat “primitif” tetapi mencoba memahami filosofi dan peradaban mereka. 

GAMBARAN PERJALANAN

Untuk sampai ke lokasi Perkampungan Orang Baduy dapat ditempuh dengan kendaraan roda empat selama kurang lebih empat-lima jam perjalanan dari Jakarta dengan jarak tempuh 173 km atau sekitar 37 km dari Kota Rangkasbitung. 

Dari Jakarta menuju Kota Rangkasbitung, ibu kota Kabupaten Lebak, dapat melalui dua jalur: jalur jalan bebas hambatan Jakarta-Merak keluar di pintu Tol Balaraja Timur langsung menuju ke Kecamatan Cikande, Kabupaten Serang. 

Dari sini bisa langsung ke Kota Rangkasbitung dengan jarak tempuh sekitar 30 km selama kurang lebih 1,5 jam. Bisa juga melalui jalur bebas hambatan Jakarta-Merak kemudian keluar di pintu Tol Serang Timur, menuju ke arah Rangkasbitung melalui Kecamatan Petir, Kabupaten Serang, selama satu jam sepanjang 40 km. Perjalanan dilanjutkan ke arah Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak.

Banyak orang mengira kalau pintu masuk ke Perkampungan Orang Baduy seolah-olah hanya bisa melalui Kampung Ciboleger, Desa Bojong Menteng, Kecamatan Leuwidamar. Jalur ini memang menjadi pintu utama untuk masuk  ke Perkampungan Baduy, karenanya jalur ini paling padat dan ramai dilalui wisatawan yang ingin masuk ke Perkampungan Baduy. 

Padahal saat pengunjung datang dari arah Rangkasbitung sampai di sebuah pertigaan Kota Kecamatan Leuwidamar, ada dua jalur yang bisa ditempuh : Melalui  Kampung Ciboleger atau jalur Desa Pasir Nangka dan Desa Nangerang. Sebagian orang menyebut jalur Ciboleger merupakan jalur pintu depan atau jalur wisata. Sedangkan jalur Pasir Nangka dan Desa Nangerang, sering disebut orang sebagai jalur pintu belakang, atau pintu dapur.

Melalui jalur Ciboleger ibarat memasuki rumah orang lewat halaman dan pintu depan. Sebagai pintu atau wajah depan Perkampungan Baduy, Ciboleger ditata sedemikian rupa untuk memenuhi kebutuhan para wisatawan yang hendak berkunjung ke perkampungan Baduy. 

Di sini ada pintu gerbang dengan tulisan “welcome to Baduy”. Terdapat terminal bus, tempat penitipan kendaraan, warung-warung yang menyediakan aneka makanan dan souvenir khas Baduy, serta guide dan tukang pikul dengan tarif yang sudah ditentukan. Begitu tiba di Terminal Ciboleger, pengunjung disambut oleh penduduk yang menawarkan aneka jasa untuk berkunjung mengelilingi perkampungan Baduy.

 Batas antara Ciboleger dengan perkampungan adat Baduy ditandai dengan sebuah tugu yang terbuat dari tembok bata dengan lambang beberapa batang pohon bambu. Tugu ini berdiri tegak di ujung jalan, tepat di pintu gerbang masuk ke Perkampungan Orang Baduy yang paling depan atau yang terluar yaitu Kampung Kadu Ketug (Baduy Luar).


Di antara dinding tugu dan pintu gerbang terdapat tulisan berisi peringatan dan pemberitahuan kepada para pengunjung tentang ketentuan-ketentuan adat Baduy yang harus dipatuhi oleh tiap pengunjung. Misalnya, dilarang membawa senapan, obat-obat terlarang, mandi menggunakan sabun di sungai, membuang sampah sembarangan, memotong, memetik, atau mengambil buah-buah dan pohon-pohon yang tumbuh, memotret orang dan lokasi Baduy Dalam, orang asing (warga negara dari negara lain) tidak diperkenankan masuk ke Baduy Dalam, dan lain-lain.

Begitu melangkah masuk melewati pintu dan tugu pembatas, pengunjung menyaksikan pemandangan Kampung Baduy Luar Kaduketug seperti sebuah pasar yang cukup sibuk. Para perempuan Baduy asyik membuat tenunan kain dengan alat tradisional di teras rumah masing-masing. Sementara emperan rumah-rumah adat Baduy yang berjejer rapih dimanfaatkan oleh pedagang, umumnya berasal dari luar Baduy, sebagai tempat berjualan berbagai barang khas kerajinan Baduy: selendang, pakaian, hasil tenunan, aneka souvenir hasil kerajinan dari kayu dan bambu khas Baduy, dan lain-lain. Para pedagang itu tak henti-henti menawarkan barang dagangan kepada tiap pengunjung yang datang.

Sekitar setengah jam berjalan kaki dari Kampung Kaduketug, menaiki bukit, pengunjung akan menjumpai sebuah perkampungan Baduy Luar yang lain, Kampung Gazeboh. Sebuah perkampungan di sebuah lembah yang subur dan rindang, persis berada di pinggir Sungai Ciujung. Jalur jalan di tengah kampung ini merupakan jalur utama yang menjadi tempat lalulalang para pengunjung dan orang Baduy yang keluar-masuk ke dan dari Ciboleger.

Gazeboh adalah sebuah kampung Baduy yang terbuka dan tampak lebih “modern” di bandingkan kampung-kampung Baduy luar lain. Anak-anak muda pria warga kampung sudah mengenal cara berpakaian orang kota. Mengenakan kalung dan gelang tangan dari bahan logam, baju dengan banyak motif, potongan rambut berjambul, dan cara bicara yang relatif lebih berani dan terbuka. 

Di sini tersedia warung, menyediakan barang-barang cukup beragam. Rumah-rumah warga tertata rapih yang sebagian besar menjadi  tempat transit, tempat menginap sementara, bagi para pengunjung yang datang dan akan melanjutkan perjalanan ke tempat-tempat lain di wilayah Baduy. Sedangkan para laki-laki dewasa sudah piawai melayani pengunjung, berperan sebagai guide. Mereka  umumnya memiliki jaringan “pasar” sendiri-sendiri.

Masuk melalui jalur Ciboleger dan transit di Kampung Gazeboh sangat ideal untuk menjadi pilihan. Dari sini perjalanan bisa dilanjutkan ke perkampungan lain dengan relatif lebih mudah. Jalur jalan menuju ke perkampungan-perkampungan Baduy tertata dengan baik dan ruas jalan cukup lebar, walau agak jauh dan tetap saja harus menaiki banyak bukit serta menuruni lembah curam, melintasi  jalan-jalan terjal bebatuan dan sangat licin bila hujan turun. 

Menyeberangi beberapa anak sungai dan menaiki sebuah jalan tanjakan tembayang, jalan setapak dengan kemiringan hampir 90 derajat sepanjang kurang lebih 500 meter. Inilah sebuah tanjakan yang paling ditakuti oleh pengunjung dari luar yang datang. Tetapi tidak usah khawatir, selama dalam perjalanan menuju Baduy Dalam, pengunjung disuguhi pemandangan alam yang menakjubkan. Hutan masih asri dan perawan, sungai-sungai yang airnya amat jernih dengan batu-batu besar berserakan, pancuran air dan mata air ada di setiap sudut kampung, serta hamparan huma tanaman padi darat menghiasi bukit dan gunung-gunung.

Ada tiga perkampungan Baduy Dalam yang sering menjadi obsesi bagi tiap pengunjung yang datang ke Baduy, Cibeo, Cikeusik, dan Cikartawana. Para pengunjung merasa seperti belum sah dan belum merasa puas bila belum berhasil mengunjungi perkampungan Baduy Dalam. Tetapi kenyataannya sedikit yang bisa berhasil sampai ke tiga wilayah Perkampungan Baduy Dalam, kecuali  ke Cibeo yang relatif mudah dijangkau. 

Menuju ke Kampung Cibeo dapat ditempuh dengan jalan kaki selama kurang lebih tiga jam (menurut ukuran jalan kaki orang luar) dari Kampung Gazeboh. Cibeo lebih terbuka untuk umum (kecuali untuk orang asing), karena itu menjadi kampung Baduy Dalam yang paling ramai dan sering dikunjungi para wisatawan. Penduduk asli Cibeo sudah terbiasa menerima tamu dari berbagai suku dan daerah. Mereka menyediakan rumahnya untuk tempat istirahat para tamu, atau menawarkan jasa guide selain dapat memberikan informasi secara lebih terbuka kepada para pendatang tentang segala hal menyangkut  kehidupan orang Baduy.

Berbeda dengan jalur Ciboleger atau Gazeboh, melalui jalur Desa Pasir Nangka dan Desa Nangerang atau jalur “pintu belakang,” pengunjung bisa mencapai Perkampungan Baduy Dalam dengan relatif mudah. Ibarat masuk ke rumah orang melalui pintu belakang, bisa langsung masuk dan melihat “dapur” nya Baduy, yakni Kampung Baduy Dalam Cikartawana, Cibeo dan Cikeusik. 

Menuju ke lokasi tersebut tidak serepot dan sejauh lewat jalur pintu depan. Dari Desa Pasir Nangka perjalanan dapat dilanjutkan ke Baduy Dalam melalui jalan dua arah. Pertama, melewati Kampung Cicakal Girang (Kampung Suku Baduy Islam) yang bisa dilalui dengan berjalan kaki selama kurang lebih dua jam, atau menaiki kendaraan roda dua (motor ojeg) sepanjang lima kilometer selama 30 menit melewati ruas jalan cukup lebar tetapi penuh dengan tanjakan dan bebatuan yang belum bisa dilalui oleh kendaraan roda empat. 

Dari Kampung Cicakal Girang, pengunjung langsung masuk ke Perkampugan Baduy Dalam Cikartawana, melewati beberapa Kampung Baduy Luar, diantaranya Kampung Cipaler, selama kurang lebih dua jam berjalan kaki, menyusuri jalan setapak, menaiki beberapa gunung, dan lembah sebelum sampai ke Cikartawana dan Cikeusik.

Jalur kedua melalui Desa Nangerang. Dari Desa Pasir Nangka ke Desa Nangerang, ditempuh menggunakan kendaraan roda empat atau roda dua sampai batas kampung Nangerang. Kendaraan bisa dititipkan dan diparkir di depan halaman rumah penduduk. Lalu perjalanan dilanjutkan dengan jalan kaki, melalui jalur setapak menembus bukit-bukit kecil, menyeberangi sungai, menerobos semak belukar untuk bisa langsung menuju ke Perkampungan Wilayah Baduy Dalam Cikartawana, tanpa melewati Perkampungan Baduy Luar. Lama perjalanan kurang lebih dua jam.

Seluruh wilayah perkampungan Baduy berada di kawasan hutan lindung, dikelilingi hutan-hutan lebat, gunung dan bukit, dilintasi oleh beberapa anak sungai. Untuk mencapai perkampungan Baduy Dalam sebenarnya tidak ada jalur atau jalan yang tetap, apalagi jalur tetap untuk kendaraan jenis apapun. Jalur jalan yang biasa dilalui oleh Orang Baduy relatif banyak dan dari waktu ke waktu bisa berganti. 

Ada jalur yang pendek dengan melewati hutan dan menaiki bukit terjal, atau menyeberangi arus deras air sungai, dan ada jalur yang tidak melalui bukit terjal atau menyeberangi sungai deras, jalannya datar, tidak melalui hutan, namun jaraknya lebih jauh. Jika pengunjung salah memilih jalan, bisa-bisa terjebak masuk ke dalam hutan, atau menemui jalan yang berbukit tinggi dan terjal, berliku-liku. Tetapi, orang Baduy selalu punya banyak jalan alternatif, untuk menghindari jalan-jalan terjal dan berbukit tinggi, melingkar-lingkar hingga terlalu jauh. Karena itu, diperlukan guide (penunjuk jalan) bagi mereka yang pertama kali berkunjung ke Baduy.  (UTEN SUTENDY)***


























  










































































Minggu, 12 Januari 2014

MEMAHAMI BADUY (exotica nilai-nilai luhur orang Baduy)

Kehidupan Orang Baduy sering diceritakan banyak orang sebagai kelompok masyarakat miskin dan terbelakang. Mereka tinggal terpencil dibalik bukit yang sulit dijangkau oleh orang luar, tidak menggunakan listrik, radio, televisi dan barang-barang modern dari kota untuk keperluan sehari-hari, bahkan tidak boleh menaiki kendaraan saat bepergian jauh ke luar wilayah Baduy hingga ke kota-kota besar di Pulau jawa. Orang Baduy tidak bersekolah, bahkan sebagian dari mereka dianggap belum mengenal mata uang sebagai alat tukar yang berharga dan penting. Dan masih banyak cerita lain yang menggambarkan tentang profil kehidupan Orang Baduy yang berbeda dengan umumnya kehidupan masyarakat di luar Baduy.

Cerita kehidupan Orang Baduy selama ini ternyata menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat luar, : peneliti, mahasiswa, pelajar, wartawan, ilmuwan, dan masyarakat biasa dari berbagai daerah di tanah air, serta dari manca negara. Mereka datang mengunjungi Perkampungan Baduy dengan latarbelakang dan tujuan masing-masing. Ada yang melakukan penelitian, mencari bahan untuk menulis skripsi atau desertasi, karya tulis ilmiah, menulis buku, mengambil gambar untuk karya fotografi, ada juga yang semata-mata bertujuan ingin menikmati panorama hutan alam dan suasana kehidupan sosial keagamaan di Perkampungan Baduy yang harmonis. Mereka harus berjalan kaki menembus hutan, menaiki bukit, lembah dan gunung lewat jalan setapak yang licin dan terjal agar sampai ke pedalaman Desa Kanekes, Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, dimana komunitas Orang Baduy tinggal.

Seperti para pengunjung lain, saya banyak mengalami kesulitan saat menaiki dan menuruni lembah serta gunung, memasuki hutan belantara, menyeberangi banyak anak sungai, melewati jalan-jalan berliku, licin, becek dan terjal, masuk ke perkampungan-perkampungan Baduy untuk mengumpulkan bahan bagi penulisan buku ini. Sudah lebih dari enam kali dalam dua tahun terakhir perjalanan serupa saya tempuh, menuju ke tempat-tempat yang berbeda dan tinggal di sana selama beberapa hari. Berbaur bersama warga di Perkampungan Baduy Luar Cicakal Girang, Cipaler, Gazeboh, Batara, Kadu Ketug, serta di Baduy Dalam Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik. Selama tinggal, saya bergumul, menyatu, dan membiarkan diri hanyut dalam irama kehidupan Orang Baduy. Merasakan kegembiraan, kegetiran, suka duka hidup, dan memahami kehidupan mereka. Tidur di saung[1] di tengah-tengah huma[2] dalam gigitan udara dingin, ditemani suara jangkrik, kodok, dan lolongan anjing. Sesekali terdengar nyanyian calintu[3] di tengah kesunyian hutan, mirip suara biola yang digesek perlahan dan lembut.

Pagi hari menyaksikan dan merasakan sentuhan sinar matahari yang muncul perlahan di balik bukit, menyelinap dan sejenak hilang masuk ke sela-sela ranting-ranting pohon durian, terhalang dedaunan dan batang pohon aren, lalu muncul kembali menerangi alam dengan sinarnya yang masih berwarna kuning tembaga. Kehidupan pagi itu dimulai dengan siduru[4], menghangatkan tubuh yang menggigil kedinginan di depan tungku api, sambil memasak air. Menikmati kopi panas yang disajikan dalam cangkir terbuat dari batang bambu (Orang Baduy menyebutnya somong), sambil membakar pisang mentah di tengah bara tungku api. Sementara Orang Baduy, tua muda, laki-laki dan perempuan, mulai ke luar rumah, berjalan bergegas menuju ke huma, kebun, hutan, dan sungai. Ada yang memanggul potongan kayu berukuran besar, memikul keranjang berisi buah durian, pete, pinang, dan lain-lain, untuk dibawa ke Pasar Ciboleger dan Pasar Pasir Nangka atau pasar terdekat yang ada di luar Desa Kenekes. Saya ikut bergegas pergi menuju sungai, kemudian menceburkan diri dan merendamkan tubuh ke dalam air sungai yang bening. Badan yang sudah beberapa hari belum terkena air terasa segar tatkala air sungai yang mengalir deras nan dingin menerjang-nerjang tubuh yang terlentang bebas tanpa busana di balik batu batu besar diantara anak-anak muda Baduy yang tampak malu-malu ikut mandi bersama.

Saat matahari mulai naik melewati puncak bukit, saya ikut membaur dengan berbagai aktivitas Orang Baduy, untuk bisa merasakan getaran pikiran dan perasaan hati mereka, melihat dari dekat cara mereka bercocok tanam, menanak nasi, ikut masuk ke dalam hutan mencari kayu dan makan buah durian yang jatuh dari pohon di tengah hutan rimba, menyusuri jalan-jalan setapak untuk mengunjungi beberapa perkampungan. Sesekali mengajak beberapa anak muda Baduy pergi ke lokasi dekat hulu sungai Ciujung, memancing dan menjala ikan. Masak nasi liwet dengan beras huma asli Baduy yang wangi dan legit. Membuat tungku api di pinggir sungai di antara hamparan batu-batu besar. Makan bersama dengan alas sehelai daun pisang utuh di atas gundukan batu paling besar di bawah pohon yang akar-akarnya dibiarkan jatuh terurai menyentuh air sungai dan batu-batuan. Makan bareng Orang Baduy dengan nasi liwet dan pepes ikan tawes, udang, ikan paray, ditambah ikan asin peda merah yang dibakar, sambal hijau, dan petai muda yang baru dipetik, kenikmatannya sungguh tak ada yang menandingi. Kadang saya mengulangi hal serupa pada tengah malam. Menjala dan memancing ikan di tengah kegelapan malam Sungai Ciujung. Makan bersama-sama di dalam saung yang sunyi di balik bukit. Dalam suasana riang di tengah remang-remang lampu teplok dan sayup-sayup terdengar suara gesekan batang-batang pohon yang diterpa angin, serta gemericik air yang tiada henti, sebuah kenangan indah yang sulit dilupakan.

Saya mengunjungi rumah tokoh-tokoh masyarakat Baduy Luar dan Baduy Dalam. Berdiskusi hingga sampai jauh larut malam, diantaranya dengan Jaro[5] Nalim, wakil Puun dari Kampung Baduy Dalam Cikartawana. Berbincang-bincang selama berjam-jam dengan Kepala Desa Jaro Daenah di Kadu Ketug (Baduy Luar), serta tokoh masyarakat lain. Kami sering melakukan pembicaraan hangat dan mengasyikan dengan tokoh masyarakat Baduy di dalam saung di tengah huma sambil menemani mereka membuat atap rumah dari daun kiray. Sesekali waktu kami berdiskusi sambil menjaring ikan di Sungai Ciujung. Atau di teras rumah pada sore hari menjelang maghrib sambil menikmati secangkir kopi dan menghisap tembakau yang dilinting dengan daun kaung, daun dari pohon aren kering. Dalam diskusi ini saya harus lebih aktif dan banyak bicara agar mengetahui lebih dalam tentang seluk beluk kehidupan orang Baduy. Pada umumnya Orang Baduy tidak terlalu terbuka dalam hal berbicara. Mereka hanya mau berbicara sebatas menjawab yang ditanya.

Dalam setiap pembicaraan, banyak yang harus ditanyakan termasuk menyangkut hal-hal yang dianggap tabu bagi Orang Baduy. Soal kenapa tidak boleh sekolah, kenapa barang-barang produk modern seperti televisi dan radio tak diperkenankan masuk, mengapa mereka hanya diperbolehkan memakai baju warna putih dan biru tua saja, serta kenapa tidak diperkenankan memelihara binatang ternak yang berkaki empat seperti kambing, kerbau, domba, dan lain-lain. Dan kenapa pula tidak boleh menaiki kendaraan bila bepergian, dan masih banyak lagi pertanyaan lain. Saya juga menyerap berbagai informasi dan pengetahuan mengenai segala aspek kehidupan: agama, filsafat, seni, politik, sistem perdagangan, kebudayaan. Tentang bagaimana sikap para tokoh masyarakat itu terhadap perkembangan terkini dan hingar-bingar kehidupan modern, tentang berbagai konflik politik dan ekonomi yang terjadi di tengah-tengah kehidupan masyarakat di luar Baduy. Yang paling banyak menyita waktu tiap kali berdiskusi, adalah masalah keselamatan dan masa depan lingkungan hutan Baduy yang menjadi pusat perhatian sekaligus sumber kegelisahan Orang Baduy.

Di balik keluguan, kesederhanaan, dan “keterbelakangan”nya secara fisik yang nyata terlihat oleh msyarakat luar, sesungguhnya Orang Baduy adalah orang-orang yang hidup dengan konsistensi, menjalankan sistem sosial kemasyarakatan dan nilai-nilai adat serta keyakinan yang membuat hidup mereka tampak sehat, tenteram, damai dan sejahtera. Mereka tinggal dalam suasana perkampungan yang sangat asri, hijau, rindang, riyuh dan harmonis. Rumah-rumah dan leuit[6] milik mereka ditata rapih, tersembunyi di bawah dan di balik pohon-pohon besar nan rindang, seperti pohon bambu, pohon aren, pohon durian, pohon sukun, pohon buah limus, pohon kiara, kianggir, kokosan, areuy kawao, rotan, dan lain-lain yang sengaja dibiarkan tumbuh liar seperti apa adanya, mengelilingi wilayah perkampungan. Di sekeliling kampung ada banyak mata air, mengalirkan air jernih, yang sengaja ditampung dalam kolam-kolam kecil. Sebagian airnya disalurkan ke rumah warga melalui saluran yang terbuat dari sambungan batang-batang bambu. Saking bersih dan jernihnya, air itu bisa langsung diminum. Anak-anak sungai yang memisahkan antara satu kampung dengan kampung lain, tak pernah istirahat mengalirkan air yang jernih bagai kaca menerjang batu-batu besar yang terhampar di sepanjang sungai, mengeluarkan suara gemuruh dan gemericik air, sebuah harmoni kehidupan alam.

Seperti harmoni alam, Orang Baduy menjalani kehidupan sosial-ekonomi dengan harmonis, satu sama lain saling membantu, menghormati dan saling menolong. Menyatu bersama alam, melindungi dan menjaga alam, bersikap ramah pada siapapun yang datang, dan memiliki kekayaan hasil bumi berlimpah yang bisa menjamin masa depan anak cucu mereka untuk hidup damai sejahtera tanpa perlu khawatir akan kekurangan pangan. Pantaskah kemudian mereka disebut sebagai kelompok masyarakat “terbelakang“ dan “miskin” seperti yang dilontarkan oleh banyak orang luar yang merasa dan mengaku lebih modern?

Dari segi penampilan fisik orang Baduy memang sangat berbeda dengan mereka yang hidup di luar dan di kota. Jika kemodernan dan kemajuan suatu kelompok masyarakat hanya dilihat dari sisi penampilan fisik dan gaya hidup, boleh jadi Orang Baduy dikatakan “terbelakang” dan “miskin”. Orang luar jika bepergian jarak jauh naik kendaraan, sedangkan orang Baduy hanya berjalan dengan kaki telanjang. Orang luar mengenakan baju dari aneka bahan berkualitas dengan banyak motif dan berwarna-warni, sedangkan orang Baduy hanya memakai baju dari bahan kain belacu warna putih atau hitam. Kalau orang luar di kota-kota terbiasa menikmati makan enak di restoran dengan macam-macam jenis lauk-pauk yang mengandung gizi tinggi, orang Baduy terbiasa makan nasi putih dengan lauk-pauk seadanya, seperti ikan asin dan lalab. Jika orang luar di kota mempunyai rumah yang bagus, mewah, besar, dan megah, rumah orang Baduy hanya terbuat dari bambu dan kayu tanpa paku. Semua rumah orang Baduy mempunyai bentuk, ukuran dan bahan yang sama. Kalau orang luar di kota mempunyai uang banyak yang disimpan dalam bentuk tabungan uang tunai dan surat berharga, orang Baduy mempunyai leuyit, lumbung padi, tempat menyimpan gabah[7] hasil panen. Dengan leuyit ini gabah hasil panen mereka bisa bertahan hingga puluhan tahun, bahkan ratusan tahun.

Dengan perbandingan itu, apakah kemudian orang luar yang tinggal di kota dengan ciri-ciri fisik tadi bisa dianggap sebagai kelompok masyarakat yang sah menyandang gelar “manusia modern”? Apakah sesungguhnya yang menjadi ukuran seseorang bisa disebut modern atau tidak modern, penampilan fisikkah atau kualitas berfikir dan bersikap terhadap dunia dan masa depan?

Mengklaim atau menyudutkan sebuah komunitas masyarakat dari segi penampilan fisik terasa agak kurang bijaksana. Sementara dibalik penampilan fisik yang sederhana, apa adanya, dan jauh dari symbol-symbol yang disebut modern oleh masyarakat perkotaan, tersimpan nilai-nilai luhur yang patut dipelajari, berguna untuk keselamatan dan keutuhan masa depan umat manusia dan lingkungannya. Komunitas orang Baduy mungkin salah satu dari sedikit komunitas yang masih ada di dunia yang menyimpan dan memelihara dengan baik nilai-nilai dan kearifan lokal untuk menyelamatkan masa depan umat manusia dari ancaman kerapuhan hubungan sosial-ekonomi dan pribadi antar manusia serta kerusakan lingkungan akibat kerakusan dan kekuasaan. Beberapa catatan di bawah ini mungkin bisa menjadi bahan pemikiran dan referensi, bagaimana kita mensikapi kehidupan tradisional Baduy dan cara memandang masa depan dunia.

Ketika “orang modern” di seluruh dunia merasa panik dan cemas karena ancaman kelaparan dan kemiskinan yang melanda beberapa belahan dunia akibat kekeringan dan kebijakan sistem ekonomi yang salah, atau karena akibat krisis ekonomi global, orang Baduy bisa duduk dengan tenang, menghisap rokok kretek di sore hari sambil menikmati secangkir kopi hangat tanpa harus memikirkan besok harus makan apa. Mereka sudah memiliki konsep dan strategi ketahanan pangan yang memungkinkan anggota keluarga terhindar dari ancaman kemiskinan dan kelaparan. Rata-rata dari mereka yang sudah berkeluarga mememiliki simpanan padi (pangan) dalam leuyit. Simpanan padi hasil panen yang bisa menopang hidup mereka hingga beberapa tahun bahkan puluhan tahun ke depan.

Tatkala orang modern makin gelisah dan ketakutan dengan merebaknya aneka jenis penyakit ganas dan baru bermunculan mengancam tiap nyawa manusia modern, seperti flu burung, flu babi, tumor ganas, liver, gagal jantug, stroke, types, parkinson, dan lain-lain, Orang Baduy malah menikmati hidup sehat tanpa banyak mengenal penyakit ganas, kecuali penyakit kulit ringan. Mereka memiliki model pengobatan tradisional terhadap tiap penyakit yang datang, menyerahkan pada apa yang telah disediakan oleh alam, diantaranya dengan ramuan obat alami dari dedauan dan akar berbagai jenis tumbuhan berkhasiat, tanpa harus berurusan dengan banyak dokter dan birokrasi rumah sakit yang menawarkan aneka jenis obat dan sistem pengobatan dengan biaya sangat mahal. “Urang kami hirup sarehat karena hati jeung pikiran dijaga supaya sehat (orang kami hidup sehat karena menjaga hati dan pikiran agar tetap sehat)” kata Jaro Nalim, tokoh masyarakat Baduy Dalam Cikartawana.

Saat orang modern sibuk memikirkan keselamatan lingkungan dunia yang makin kritis, sering dilanda bencana banjir, gempa bumi, pemanasan global (global warming), gejala rumah kaca, ancaman tsunami, dan lain-lain akibat pencemaran udara oleh gas emisi, pencemaran air oleh aneka limbah industri, penggundulan hutan dan lain-lain yang semakin tak terkendali, Orang Baduy justru menjalani hidup damai, menyatu dengan alam. Seluruh nilai-nilai hidup, keyakinan, dan ajaran agama yang mendasari keseluruhan sikap hidup mereka dalam memandang dunia dan masa depan, semata-mata berorientasi pada upaya menjaga keseimbangan ekosistem, melestarikan dan melindungi alam dari kerusakan. Mereka memiliki keyakinan dan kepercayaan, bahwa keberadaan orang Baduy di dunia mempunyai tugas dan tanggung jawab mulia dan penting, yakni menjaga alam. Mereka tinggal di sebuah tempat yang disebut panjer bumi[8].

Tatkala orang modern terus mengupayakan perundingan antar negara, antara benua, untuk mencari solusi bagaimana membangun sistem perekonomian, bentuk tatanan dunia baru yang damai, menghindari berbagai konflik politik di belahan dunia, diantaranya melalui konsep perdagangan bebas dan demokratisasi (sistem ini hingga kini belum bisa menyelesaikan konflik bisnis dan politik di banyak negara dan kelompok masyarakat), orang Baduy justru sudah menjalankan bisnis dagang dan mengatur masyarakat tanpa konflik. Aturan dagang dan pemerintahan dibuat dalam sebuah sistem yang berorientasi pada upaya menjaga keseimbangan dan harmonisasi hubungan antar manusia. Misalnya, agar tidak terjadi persaingan kurang sehat, hanya ada satu warung yang boleh buka di dalam satu kampung. Kritik dan aspirasi warga disampaikan dalam sebuah mekanisme rapat adat dengan mengedepankan tatakrama serta kemuliaan akhlak dan moral.

Gambaran keberadaan komunitas Baduy di atas dengan kondisi lingkungan dan sistem nilai yang dianut, seperti sebuah potret masyarakat yang sudah given, sudah jadi, dimana mereka tak lagi memerlukan proses pencaharian tentang bentuk tatanan dunia baru yang ideal sebagaimana yang sedang terus dicari dan diupayakan oleh “manusia modern.” Dalam masayarakat Baduy keseimbangan hubungan antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan Tuhan, yang merupakan dasar dari semua ajaran agama di muka bumi, masih terjaga dan terpelihara dengan sangat konsisten.

Dengan realitas hidup dan kondisi lingkungan serta sistem nilai yang dianut, Baduy boleh jadi merupakan sebuah perwujudan “simpanan” atau “tabungan” Tuhan yang masih tersisa, atau sengaja disisakan Tuhan dari sekian banyak kekayaan dan ciptaan Tuhan yang lain (termasuk agama) di muka bumi yang kini sudah berubah dan mulai rusak dan rapuh. Tabungan itu sengaja dipertahankan sebagai modal dan bekal sekaligus cermin bagi perbaikan masa depan dunia.

Kehidupan di sana memang kelihatan seperti tidak bergerak, tak berubah. Jarum jam seolah-olah berputar lambat, bahkan seperti tidak berputar. Namun dengan “diam” nya, Orang Baduy, tanpa banyak disadari oleh orang modern, mereka sedang bekerja keras menjaga keutuhan alam dari kehancuran. Dan orang kota yang merasa modern dengan pergerakannya yang begitu cepat, didukung oleh temuan berbagai teknologi tingkat tinggi, yang memudahkan mereka bisa melakukan apa saja, termasuk menghasilkan banyak cerobong asap, memproduksi emisi lewat knalpot mobil, hingga mampu mengotori bulan dan planet mars, seolah-olah mau membangun masyarakat dan menyelamatkan bumi. Padahal tanpa menyadarinya, sesungguhnya mereka sedang berjalan cepat dan tergesa-gesa menuju proses kehancuran bumi.

Cara pandang orang luar yang mengaku manusia modern dalam melihat masa depan harus direinterpretasikan lagi. Gaya hidup dan sistem nilai yang selama ini dianggap sebagai konsep ideal bagi pembangunan tatanan dunia baru tampaknya perlu ditinjau ulang. Masih pantas dan patutkah kemudian cara pandang yang kita anut selama ini disebut sebagai cara pandang manusia modern. Dan sebaliknya menyudutkan cara pandang dan penampilan fisik orang Baduy sebagai cara hidup kelompok manusia terbelakang?

Lepas dari penafsiran dan pengertian tentang modernitas dan keterbelakangan, keberadaan komunitas Baduy yang tinggal di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, merupakan bagian dari asset dunia yang saat ini –seperti kebanyakan komunitas lokal lainnya di dunia--sedang menghadapi ancaman serius dari bahaya modernisasi dan kapitalisasi. Oleh karena itu, keberadaan Baduy dan lingkungannya patut dilindungi dan dilestarikan hingga kelak anak cucu masih mengenal bahwa di tengah-tengah arus perubahan modernisasi dan kapitalisasi, masih ada sekelompok orang yang sangat konsisten mempertahankan prinsip dan nilai-nilai adat serta ajaran agama, demi menjaga dan menyelamatkan masa depan manusia dan lingkungan dari kehancuran.

Tulisan-tulisan yang ada di dalam buku ini menampilkan sisi kehidupan masyarakat Baduy secara utuh. Mulai dari kondisi geografis, perilaku kehidupan sehari-hari, keyakinan, cara berpakaian, cara bertani, sistem sosial dan adat serta dasar-dasar nilai dan filosofi yang melatarbelakangi sikap hidup, cara pandang mereka tentang dunia dan masa depan. Dengan harapan buku ini bisa menjadi cermin bagi masyarakat untuk belajar lebih bijak melihat kehidupan orang Baduy, dan lebih kritis, bijak, serta santun memandang masa depan dunia. Semoga buku ini bisa menjadi referensi untuk penataan kembali konsep hidup manusia modern dan pembangunan tatanan lingkungan dunia baru. Penulis sepenuhnya menyerahkan kepada pembaca untuk memberikan interpretasi dan penilaian secara obyektif maupun subyektif atas apa yang diketahui dan dipahami tentang Orang Baduy. Selamat membaca. (UTEN SUTENDY)***



[1] Saung          : gubuk, terbuat dari bambu dan atap alang-alang di tengah-tengah sawah
[2] Huma          : lahan padi yang kering dan tidak ada pematangnya
[3] Calintu        : suara yang di hasilkan oleh gesekan pohon bambu yang tertiup angin
[4] Sinduru        : kegiatan menghangatkan tubuh di depan tungku sambil memasak, dilakukan dipagi hari
[5] Jaro : Gelar untuk kepala suku atau kepala adat Baduy yang duduk di lembaga pemerintahan Baduy
[6] Leunyit: lumbung padi
[7] Gabah : padi yang sudah dipanen
[8] Panjer Bumi : inti dari jagat raya

APA DAN SIAPA ORANG BADUY



Diantara Pintu Depan dan Belakang

  
Provinsi Banten adalah salah satu provinsi termuda di Indonesia, terletak di bagian Barat Pulau Jawa. Lahir pada tanggal 4 Oktober tahun 2000 sebagai Provinsi ke-30. Sebelumnya, Banten merupakan bagian dari wilayah Provinsi Jawa Barat. Secara topografi wilayah ini dibagi dua bagian besar antara wilayah dataran rendah dan daerah perbukitan. Dataran rendah terltak di sebelah barat, timur dan utara.  Di sebelah barat ada Kota Cilegon, sebelah timur Kota dan Kabupaten Tangerang, di sebelah utara merupakan daerah Kabupaten dan Kota Serang. Sedangkan di sebelah selatan merupakan wilayah perbukitan, mulai dari wilayah Gunung Honje di Kabupaten Pandeglang sampai dengan Gunung Halimun di Kabupaten Lebak.

Kabupaten Lebak adalah salah satu kabupaten di Provisi Banten yang wilayahnya paling luas kurang lebih 3.237,12 m2. Kabupaten ini kaya akan potensi sumber daya alam, khususnya barang tambang dan hasil pertanian. Wilayah ini dibatasi oleh Kabupaten Serang di sebelah utara, Kabupaten Pandeglang di sebelah barat, Samudera Indonesia di sebelah selatan dan berbatasan dengan Provinsi Jawa Barat di sebelah timur. Di daerah inilah tersimpan misteri kehidupan suku pedalaman, Suku Baduy (Orang Baduy). Sebuah komunitas masyarakat tradisional yang selalu menjadi daya tarik orang luar dan tak pernah berhenti menjadi bahan diskusi sebagian besar para ahli arkeologi, sejarawan, budayawan, mahasiswa, pelajar, dan wisatawan yang ingin tahu tentang kehidupan mereka yang sesungguhnya.

Komunitas Suku Baduy menetap di areal tanah warisan nenek moyang, terletak di Desa Kenekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak. Leuwidamar adalah salah satu dari 19 kecamatan yang ada di Kabupaten Lebak. Sedangkan Desa Kenekes adalah satu dari 295 desa dan 5 kelurahan di Kabupaten Lebak. Letak geografis desa ini berbatasan dengan Desa Parakan, Desa Kebon Cau, dan Desa Karang Nunggal, Kecamatan Bojong Manik di sebelah barat. Sedangkan di sebelah timur berbatasan dengan Desa Karang Combong dan Desa Cilebang. Sementara di sebelah Selatan dibatasi oleh wilayah Desa Cikadu Kecamatan Cijaku. Dan di sebelah utara berbatasan langsung dengan Desa Cisimeut, Desa Bojong Menteng dan Desa Nagayati, Kecamatan Leuwidamar.

Untuk sampai ke lokasi Perkampungan Orang Baduy dapat ditempuh dengan kendaraan roda empat selama kurang lebih empat-lima jam perjalanan dari Jakarta dengan jarak tempuh 173 km atau sekitar 37 km dari Kota Rangkasbitung. Dari Jakarta menuju Kota Rangkasbitung, ibu kota Kabupaten Lebak, dapat melalui dua jalur: jalur jalan bebas hambatan Jakarta-Merak keluar di pintu Tol Balaraja Timur langsung menuju ke Kecamatan Cikande, Kabupaten Serang. Dari sini bisa langsung ke Kota Rangkasbitung dengan jarak tempuh sekitar 30 km selama kurang lebih 1,5 jam. Atau, bisa juga melalui jalur bebas hambatan Jakarta-Merak kemudian keluar di pintu Tol Serang Timur, menuju ke arah Rangkasbitung melalui Kecamatan Petir, Kabupaten Serang, selama satu jam sepanjang 40 km. Perjalanan dilanjutkan ke arah Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak.

Banyak orang mengira kalau pintu masuk ke Perkampungan Orang Baduy seolah-olah hanya bisa melalui Kampung Ciboleger, Desa Bojong Menteng, Kecamatan Leuwidamar. Jalur ini memang menjadi pintu utama untuk masuk  ke Perkampungan Baduy, karenanya jalur ini paling padat dan ramai dilalui wisatawan yang ingin masuk ke Perkampungan Baduy. Padahal saat pengunjung datang dari arah Rangkasbitung sampai di sebuah pertigaan Kota Kecamatan Leuwidamar, ada dua jalur yang bisa ditempuh : melalui jalur Kampung Ciboleger atau jalur Desa Pasir Nangka dan Desa Nangerang. Sebagian orang menyebut jalur Ciboleger merupakan jalur pintu depan atau jalur wisata. Sedangkan jalur Pasir Nangka dan Desa Nangerang, sering disebut orang sebagai jalur pintu belakang, atau pintu dapur.

Melalui jalur Ciboleger ibarat memasuki rumah orang lewat halaman dan pintu depan. Sebagai pintu atau wajah depan Perkampungan Baduy, Ciboleger ditata sedemikian rupa untuk memenuhi kebutuhan para wisatawan yang hendak berkunjung ke perkampungan Baduy. Di sini ada pintu gerbang dengan tulisan “welcome to Baduy”. Terdapat terminal bus, tempat penitipan kendaraan, warung-warung yang menyediakan aneka makanan dan souvenir khas Baduy, serta guide dan tukang pikul dengan tarif yang sudah ditentukan. Begitu tiba di Terminal Ciboleger, pengunjung disambut oleh penduduk yang menawarkan aneka jasa untuk berkunjung mengelilingi perkampungan Baduy.

Batas antara Ciboleger dengan perkampungan adat Baduy ditandai dengan sebuah tugu yang terbuat dari tembok bata dengan lambang beberapa batang pohon bambu. Tugu ini berdiri tegak di ujung jalan, tepat di pintu gerbang masuk ke Perkampungan Orang Baduy yang paling depan atau yang terluar yaitu Kampung Kadu Ketug (Baduy Luar). Di antara dinding tugu dan pintu gerbang terdapat tulisan berisi peringatan dan pemberitahuan kepada para pengunjung tentang ketentuan-ketentuan adat Baduy yang harus dipatuhi oleh tiap pengunjung. Misalnya, dilarang membawa senapan, obat-obat terlarang, mandi menggunakan sabun di sungai, membuang sampah sembarangan, memotong, memetik, atau mengambil buah-buah dan pohon-pohon yang tumbuh, memotret orang dan lokasi Baduy Dalam, orang asing (warga negara dari negara lain) tidak diperkenankan masuk ke Baduy Dalam, dan lain-lain.

Begitu melangkah masuk melewati pintu dan tugu pembatas, pengunjung menyaksikan pemandangan Kampung Baduy Luar Kaduketug seperti sebuah pasar yang cukup sibuk. Para perempuan Baduy asyik membuat tenunan kain dengan alat tradisional di teras rumah masing-masing. Sementara emperan rumah-rumah adat Baduy yang berjejer rapih dimanfaatkan oleh pedagang, umumnya berasal dari luar Baduy, sebagai tempat berjualan berbagai barang khas kerajinan Baduy: selendang, pakaian, hasil tenunan, aneka souvenir hasil kerajinan dari kayu dan bambu khas Baduy, dan lain-lain. Para pedagang itu tak henti-henti menawarkan barang dagangan kepada tiap pengunjung yang datang.

Sekitar setengah jam berjalan kaki dari Kampung Kaduketug, menaiki bukit, pengunjung akan menjumpai sebuah perkampungan Baduy Luar yang lain, Kampung Gazeboh. Sebuah perkampungan di sebuah lembah yang subur dan rindang, persis berada di pinggir Sungai Ciujung. Jalur jalan di tengah kampung ini merupakan jalur utama yang menjadi tempat lalulalang para pengunjung dan orang Baduy yang keluar-masuk ke dan dari Ciboleger.

Gazeboh adalah sebuah kampung Baduy yang terbuka dan tampak lebih “modern” di bandingkan kampung-kampung Baduy luar lain. Anak-anak muda pria warga kampung sudah mengenal cara berpakaian orang kota. Mengenakan kalung dan gelang tangan dari bahan logam, baju dengan banyak motif, potongan rambut berjambul, dan cara bicara yang relatif lebih berani dan terbuka. Di sini tersedia warung, menyediakan barang-barang cukup beragam. Rumah-rumah warga tertata rapih yang sebagian besar menjadi  tempat transit, tempat menginap sementara, bagi para pengunjung yang datang dan akan melanjutkan perjalanan ke tempat-tempat lain di wilayah Baduy. Sedangkan para laki-laki dewasa sudah piawai melayani pengunjung, berperan sebagai guide. Mereka  umumnya memiliki jaringan “pasar” sendiri-sendiri.

Masuk melalui jalur Ciboleger dan transit di Kampung Gazeboh sangat ideal untuk menjadi pilihan. Dari sini perjalanan bisa dilanjutkan ke perkampungan lain dengan relatif lebih mudah. Jalur jalan menuju ke perkampungan-perkampungan Baduy tertata dengan baik dan ruas jalan cukup lebar, walau agak jauh dan tetap saja harus menaiki banyak bukit serta menuruni lembah curam, melintasi  jalan-jalan terjal bebatuan dan sangat licin bila hujan turun. Harus menyeberangi beberapa anak sungai dan menaiki sebuah jalan tanjakan tembayang, jalan setapak dengan kemiringan hampir 90 derajat sepanjang kurang lebih 500 meter. Inilah sebuah tanjakan yang paling ditakuti oleh pengunjung dari luar yang datang. Tetapi tidak usah khawatir, selama dalam perjalanan menuju Baduy Dalam, pengunjung disuguhi pemandangan alam yang menakjubkan. Hutan masih asri dan perawan, sungai-sungai yang airnya amat jernih dengan batu-batu besar berserakan, pancuran air dan mata air ada di setiap sudut kampung, serta hamparan huma tanaman padi darat menghiasi bukit dan gunung-gunung.

Ada tiga perkampungan Baduy Dalam yang sering menjadi obsesi bagi tiap pengunjung yang datang ke Baduy, Cibeo, Cikeusik, dan Cikartawana. Para pengunjung merasa seperti belum sah dan belum merasa puas bila belum berhasil mengunjungi perkampungan Baduy Dalam. Tetapi kenyataannya sedikit yang bisa berhasil sampai ke tiga wilayah Perkampungan Baduy Dalam, kecuali  ke Cibeo yang relatif mudah dijangkau. Menuju ke Kampung Cibeo dapat ditempuh dengan jalan kaki selama kurang lebih tiga jam (menurut ukuran jalan kaki orang luar) dari Kampung Gazeboh. Cibeo lebih terbuka untuk umum (kecuali untuk orang asing), karena itu menjadi kampung Baduy Dalam yang paling ramai dan sering dikunjungi para wisatawan. Penduduk asli Cibeo sudah terbiasa menerima tamu dari berbagai suku dan daerah. Mereka menyediakan rumahnya untuk tempat istirahat para tamu, atau menawarkan jasa guide selain dapat memberikan informasi secara lebih terbuka kepada para pendatang tentang segala hal menyangkut  kehidupan orang Baduy.

Berbeda dengan jalur Ciboleger atau Gazeboh, melalui jalur Desa Pasir Nangka dan Desa Nangerang atau jalur “pintu belakang,” pengunjung bisa mencapai Perkampungan Baduy Dalam dengan relatif mudah. Ibarat masuk ke rumah orang melalui pintu belakang, bisa langsung masuk dan melihat “dapur” nya Baduy, yakni Kampung Baduy Dalam Cikartawana, Cibeo dan Cikeusik. Menuju ke lokasi tersebut tidak serepot dan sejauh lewat jalur pintu depan. Dari Desa Pasir Nangka perjalanan dapat dilanjutkan ke Baduy Dalam melalui jalan dua arah. Pertama, melewati Kampung Cicakal Girang (Kampung Suku Baduy Islam) yang bisa dilalui dengan berjalan kaki selama kurang lebih dua jam, atau menaiki kendaraan roda dua (motor ojeg) sepanjang lima kilometer selama 30 menit melewati ruas jalan cukup lebar tetapi penuh dengan tanjakan dan bebatuan yang belum bisa dilalui oleh kendaraan roda empat. Dari Kampung Cicakal Girang, pengunjung langsung masuk ke Perkampugan Baduy Dalam Cikartawana, melewati beberapa Kampung Baduy Luar, diantaranya Kampung Cipaler, selama kurang lebih dua jam berjalan kaki, menyusuri jalan setapak, menaiki beberapa gunung, dan lembah sebelum sampai ke Cikartawana dan Cikeusik.

Jalur kedua melalui Desa Nangerang. Dari Desa Pasir Nangka ke Desa Nangerang, ditempuh menggunakan kendaraan roda empat atau roda dua sampai batas kampung Nangerang. Kendaraan bisa dititipkan dan diparkir di depan halaman rumah penduduk. Lalu perjalanan dilanjutkan dengan jalan kaki, melalui jalur setapak menembus bukit-bukit kecil, menyeberangi sungai, menerobos semak belukar untuk bisa langsung menuju ke Perkampungan Wilayah Baduy Dalam Cikartawana, tanpa melewati Perkampungan Baduy Luar. Lama perjalanan kurang lebih dua jam.

Seluruh wilayah perkampungan Baduy berada di kawasan hutan lindung, dikelilingi hutan-hutan lebat, gunung dan bukit, dilintasi oleh beberapa anak sungai. Untuk mencapai perkampungan Baduy Dalam sebenarnya tidak ada jalur atau jalan yang tetap, apalagi jalur tetap untuk kendaraan jenis apapun. Jalur jalan yang biasa dilalui oleh Orang Baduy relatif banyak dan dari waktu ke waktu bisa berganti. Ada jalur yang pendek dengan melewati hutan dan menaiki bukit terjal, atau menyeberangi arus deras air sungai, dan ada jalur yang tidak melalui bukit terjal atau menyeberangi sungai deras, jalannya datar, tidak melalui hutan, namun jaraknya lebih jauh. Jika pengunjung salah memilih jalan, bisa-bisa terjebak masuk ke dalam hutan, atau menemui jalan yang berbukit tinggi dan terjal, berliku-liku. Tetapi, orang Baduy selalu punya banyak jalan alternatif, untuk menghindari jalan-jalan terjal dan berbukit tinggi, melingkar-lingkar hingga terlalu jauh. Karena itu, diperlukan guide (penunjuk jalan) bagi mereka yang pertama kali berkunjung ke Baduy.  (UTEN SUTENDY)***