Kehidupan Orang Baduy sering diceritakan banyak orang sebagai
kelompok masyarakat miskin dan terbelakang. Mereka tinggal terpencil dibalik
bukit yang sulit dijangkau oleh orang luar, tidak menggunakan listrik, radio,
televisi dan barang-barang modern dari kota untuk keperluan sehari-hari, bahkan
tidak boleh menaiki kendaraan saat bepergian jauh ke luar wilayah Baduy hingga
ke kota-kota besar di Pulau jawa. Orang Baduy tidak bersekolah, bahkan sebagian
dari mereka dianggap belum mengenal mata uang sebagai alat tukar yang berharga
dan penting. Dan masih banyak cerita lain yang menggambarkan tentang profil kehidupan
Orang Baduy yang berbeda dengan umumnya kehidupan masyarakat di luar Baduy.
Cerita kehidupan Orang Baduy selama ini ternyata menjadi daya tarik
tersendiri bagi masyarakat luar, : peneliti, mahasiswa, pelajar, wartawan,
ilmuwan, dan masyarakat biasa dari berbagai daerah di tanah air, serta dari
manca negara. Mereka datang mengunjungi Perkampungan Baduy dengan latarbelakang dan tujuan
masing-masing. Ada yang melakukan penelitian, mencari bahan untuk menulis
skripsi atau desertasi, karya tulis ilmiah, menulis buku, mengambil gambar
untuk karya fotografi, ada juga yang semata-mata bertujuan ingin menikmati
panorama hutan alam dan suasana kehidupan sosial keagamaan di Perkampungan
Baduy yang harmonis. Mereka harus berjalan kaki menembus hutan, menaiki bukit,
lembah dan gunung lewat jalan setapak yang licin dan terjal agar sampai ke
pedalaman Desa Kanekes, Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, dimana komunitas Orang Baduy
tinggal.
Seperti para pengunjung lain, saya banyak mengalami kesulitan saat menaiki
dan menuruni lembah serta gunung, memasuki hutan belantara, menyeberangi banyak
anak sungai, melewati jalan-jalan berliku, licin, becek dan terjal, masuk ke
perkampungan-perkampungan Baduy untuk mengumpulkan bahan bagi penulisan buku
ini. Sudah lebih dari enam kali dalam dua tahun terakhir perjalanan serupa saya
tempuh, menuju ke tempat-tempat yang berbeda dan tinggal di sana selama beberapa
hari. Berbaur bersama warga di Perkampungan Baduy Luar Cicakal Girang, Cipaler,
Gazeboh, Batara, Kadu Ketug, serta di Baduy Dalam Cibeo, Cikartawana, dan
Cikeusik. Selama tinggal, saya bergumul, menyatu, dan membiarkan diri hanyut
dalam irama kehidupan Orang Baduy. Merasakan kegembiraan, kegetiran, suka duka
hidup, dan memahami kehidupan mereka. Tidur di saung[1]
di tengah-tengah huma[2]
dalam gigitan udara dingin, ditemani suara jangkrik, kodok, dan lolongan
anjing. Sesekali terdengar nyanyian calintu[3]
di tengah kesunyian hutan, mirip suara biola yang digesek perlahan dan
lembut.
Pagi hari menyaksikan dan merasakan sentuhan sinar matahari yang muncul
perlahan di balik bukit, menyelinap dan sejenak hilang masuk ke sela-sela
ranting-ranting pohon durian, terhalang dedaunan dan batang pohon aren, lalu
muncul kembali menerangi alam dengan sinarnya yang masih berwarna kuning
tembaga. Kehidupan pagi itu dimulai dengan siduru[4],
menghangatkan tubuh yang menggigil kedinginan di depan tungku api, sambil memasak
air. Menikmati kopi panas yang disajikan dalam cangkir terbuat dari batang bambu (Orang Baduy menyebutnya somong), sambil
membakar pisang mentah di tengah bara tungku api. Sementara Orang Baduy, tua
muda, laki-laki dan perempuan, mulai ke luar rumah, berjalan bergegas menuju ke
huma, kebun, hutan, dan sungai. Ada yang memanggul potongan kayu berukuran
besar, memikul keranjang berisi buah durian, pete, pinang, dan lain-lain, untuk
dibawa ke Pasar Ciboleger dan Pasar Pasir Nangka atau pasar terdekat yang ada di
luar Desa Kenekes. Saya ikut bergegas pergi menuju sungai, kemudian menceburkan
diri dan merendamkan tubuh ke dalam air sungai yang bening. Badan yang sudah beberapa
hari belum terkena air terasa segar tatkala air sungai yang mengalir deras nan dingin
menerjang-nerjang tubuh yang terlentang bebas tanpa busana di balik batu batu
besar diantara anak-anak muda Baduy yang tampak malu-malu ikut mandi bersama.
Saat matahari mulai naik melewati puncak bukit, saya ikut membaur
dengan berbagai aktivitas Orang Baduy, untuk bisa merasakan getaran pikiran dan
perasaan hati mereka, melihat dari dekat cara mereka bercocok tanam, menanak
nasi, ikut masuk ke dalam hutan mencari kayu dan makan buah durian yang jatuh
dari pohon di tengah hutan rimba, menyusuri jalan-jalan setapak untuk mengunjungi
beberapa perkampungan. Sesekali mengajak beberapa anak muda Baduy pergi ke
lokasi dekat hulu sungai Ciujung, memancing dan menjala ikan. Masak nasi liwet dengan
beras huma asli Baduy yang wangi dan legit. Membuat tungku api di pinggir sungai
di antara hamparan batu-batu besar. Makan bersama dengan alas sehelai daun
pisang utuh di atas gundukan batu paling besar di bawah pohon yang akar-akarnya
dibiarkan jatuh terurai menyentuh air sungai dan batu-batuan. Makan bareng Orang
Baduy dengan nasi liwet dan pepes ikan tawes, udang, ikan paray, ditambah ikan
asin peda merah yang dibakar, sambal hijau, dan petai muda yang baru dipetik,
kenikmatannya sungguh tak ada yang menandingi. Kadang saya mengulangi hal
serupa pada tengah malam. Menjala dan memancing ikan di tengah kegelapan malam
Sungai Ciujung. Makan bersama-sama di dalam saung yang sunyi di balik bukit. Dalam
suasana riang di tengah remang-remang lampu teplok dan sayup-sayup terdengar
suara gesekan batang-batang pohon yang diterpa angin, serta gemericik air yang
tiada henti, sebuah kenangan indah yang sulit dilupakan.
Saya mengunjungi rumah tokoh-tokoh masyarakat Baduy Luar dan Baduy
Dalam. Berdiskusi hingga sampai jauh larut malam, diantaranya dengan Jaro[5]
Nalim, wakil Puun dari Kampung Baduy Dalam Cikartawana. Berbincang-bincang
selama berjam-jam dengan Kepala Desa Jaro Daenah di Kadu Ketug (Baduy Luar),
serta tokoh masyarakat lain. Kami sering melakukan pembicaraan hangat dan mengasyikan
dengan tokoh masyarakat Baduy di dalam saung di tengah huma sambil menemani mereka
membuat atap rumah dari daun kiray. Sesekali waktu kami berdiskusi sambil
menjaring ikan di Sungai Ciujung. Atau di teras rumah pada sore hari menjelang
maghrib sambil menikmati secangkir kopi dan menghisap tembakau yang dilinting dengan
daun kaung,
daun dari pohon
aren kering. Dalam diskusi ini saya harus lebih aktif dan banyak bicara agar mengetahui
lebih dalam tentang seluk beluk kehidupan orang Baduy. Pada umumnya Orang Baduy
tidak terlalu terbuka dalam hal berbicara. Mereka hanya mau berbicara sebatas menjawab
yang ditanya.
Dalam setiap pembicaraan, banyak yang harus ditanyakan termasuk
menyangkut hal-hal yang dianggap tabu bagi Orang Baduy. Soal kenapa tidak boleh
sekolah, kenapa barang-barang produk modern seperti televisi dan radio tak
diperkenankan masuk, mengapa mereka hanya diperbolehkan memakai baju warna
putih dan biru tua saja, serta kenapa tidak diperkenankan memelihara binatang
ternak yang berkaki empat seperti kambing, kerbau, domba, dan lain-lain. Dan
kenapa pula tidak boleh menaiki kendaraan bila bepergian, dan masih banyak lagi
pertanyaan lain. Saya juga menyerap berbagai informasi dan pengetahuan mengenai
segala aspek kehidupan: agama, filsafat, seni, politik, sistem perdagangan,
kebudayaan. Tentang bagaimana sikap para tokoh masyarakat itu terhadap perkembangan
terkini dan hingar-bingar kehidupan modern, tentang berbagai konflik politik dan
ekonomi yang terjadi di tengah-tengah kehidupan masyarakat di luar Baduy. Yang
paling banyak menyita waktu tiap kali berdiskusi, adalah masalah keselamatan
dan masa depan lingkungan hutan Baduy yang menjadi pusat perhatian sekaligus sumber
kegelisahan Orang Baduy.
Di balik keluguan, kesederhanaan, dan “keterbelakangan”nya secara fisik
yang nyata terlihat oleh msyarakat luar, sesungguhnya Orang Baduy adalah orang-orang
yang hidup dengan konsistensi, menjalankan sistem sosial kemasyarakatan dan
nilai-nilai adat serta keyakinan yang membuat hidup mereka tampak sehat, tenteram,
damai dan sejahtera. Mereka tinggal dalam suasana perkampungan yang sangat asri,
hijau, rindang, riyuh dan harmonis. Rumah-rumah dan leuit[6] milik
mereka ditata rapih, tersembunyi di bawah dan di balik pohon-pohon besar nan
rindang, seperti pohon bambu, pohon aren, pohon durian, pohon sukun, pohon buah
limus, pohon kiara, kianggir, kokosan, areuy kawao, rotan, dan lain-lain yang sengaja
dibiarkan tumbuh liar seperti apa adanya, mengelilingi wilayah perkampungan. Di sekeliling
kampung ada banyak mata air, mengalirkan air jernih, yang sengaja ditampung
dalam kolam-kolam kecil. Sebagian airnya disalurkan ke rumah warga melalui saluran
yang terbuat dari sambungan batang-batang bambu. Saking bersih dan jernihnya, air
itu bisa langsung diminum. Anak-anak sungai yang memisahkan antara satu kampung
dengan kampung lain, tak pernah istirahat mengalirkan air yang jernih bagai
kaca menerjang batu-batu besar yang terhampar di sepanjang sungai, mengeluarkan
suara gemuruh dan gemericik air, sebuah harmoni kehidupan alam.
Seperti harmoni alam, Orang Baduy menjalani kehidupan sosial-ekonomi
dengan harmonis, satu sama lain saling membantu, menghormati dan saling
menolong. Menyatu bersama alam, melindungi dan menjaga alam, bersikap ramah
pada siapapun yang datang, dan memiliki kekayaan hasil bumi berlimpah yang bisa
menjamin masa depan anak cucu mereka untuk hidup damai sejahtera tanpa perlu
khawatir akan kekurangan pangan. Pantaskah kemudian mereka disebut sebagai kelompok
masyarakat “terbelakang“ dan “miskin” seperti yang dilontarkan oleh banyak orang luar yang
merasa dan mengaku lebih modern?
Dari segi penampilan fisik orang Baduy memang sangat berbeda dengan mereka
yang hidup di luar dan di kota. Jika kemodernan dan kemajuan suatu kelompok masyarakat
hanya dilihat dari sisi penampilan fisik dan gaya hidup, boleh jadi Orang Baduy
dikatakan “terbelakang” dan “miskin”. Orang luar jika bepergian jarak jauh naik
kendaraan, sedangkan orang Baduy hanya berjalan dengan kaki telanjang. Orang luar
mengenakan baju dari aneka bahan berkualitas dengan banyak motif dan berwarna-warni,
sedangkan orang Baduy hanya memakai baju dari bahan kain belacu warna putih
atau hitam. Kalau orang luar di kota-kota terbiasa menikmati makan enak di
restoran dengan macam-macam jenis lauk-pauk yang mengandung gizi tinggi, orang
Baduy terbiasa makan nasi putih dengan lauk-pauk seadanya, seperti ikan asin
dan lalab. Jika orang luar di kota mempunyai rumah yang bagus, mewah, besar,
dan megah, rumah orang Baduy hanya terbuat dari bambu dan kayu tanpa paku. Semua
rumah orang Baduy mempunyai bentuk, ukuran dan bahan yang sama. Kalau orang luar
di kota mempunyai uang banyak yang disimpan dalam bentuk tabungan uang tunai
dan surat berharga, orang Baduy mempunyai leuyit,
lumbung padi, tempat menyimpan gabah[7]
hasil panen. Dengan leuyit ini gabah hasil panen mereka bisa bertahan hingga puluhan
tahun, bahkan ratusan tahun.
Dengan perbandingan itu, apakah kemudian orang luar yang tinggal di
kota dengan ciri-ciri fisik tadi bisa dianggap sebagai kelompok masyarakat yang
sah menyandang gelar “manusia modern”? Apakah sesungguhnya yang menjadi ukuran
seseorang bisa disebut modern atau tidak modern, penampilan fisikkah atau
kualitas berfikir dan bersikap terhadap dunia dan masa depan?
Mengklaim atau menyudutkan sebuah komunitas masyarakat dari segi
penampilan fisik terasa agak kurang bijaksana. Sementara dibalik penampilan fisik
yang sederhana, apa adanya, dan jauh dari symbol-symbol yang disebut modern
oleh masyarakat perkotaan, tersimpan nilai-nilai luhur yang patut dipelajari,
berguna untuk keselamatan dan keutuhan masa depan umat manusia dan lingkungannya.
Komunitas orang Baduy mungkin salah satu dari sedikit komunitas yang masih ada
di dunia yang menyimpan dan memelihara dengan baik nilai-nilai dan kearifan
lokal untuk menyelamatkan masa depan umat manusia dari ancaman kerapuhan
hubungan sosial-ekonomi dan pribadi antar manusia serta kerusakan lingkungan
akibat kerakusan dan kekuasaan. Beberapa catatan di bawah ini mungkin bisa
menjadi bahan pemikiran dan referensi, bagaimana kita mensikapi kehidupan
tradisional Baduy dan cara memandang masa depan dunia.
Ketika “orang modern” di seluruh dunia merasa panik dan cemas karena
ancaman kelaparan dan kemiskinan yang melanda beberapa belahan dunia akibat
kekeringan dan kebijakan sistem ekonomi yang salah, atau karena akibat krisis ekonomi
global, orang Baduy bisa duduk dengan tenang, menghisap rokok kretek di sore
hari sambil menikmati secangkir kopi hangat tanpa harus memikirkan besok harus
makan apa. Mereka sudah memiliki konsep dan strategi ketahanan pangan yang
memungkinkan anggota keluarga terhindar dari ancaman kemiskinan dan kelaparan.
Rata-rata dari mereka yang sudah berkeluarga mememiliki simpanan padi (pangan) dalam
leuyit. Simpanan padi hasil panen yang bisa menopang hidup
mereka hingga beberapa tahun bahkan puluhan tahun ke depan.
Tatkala orang modern makin gelisah dan ketakutan dengan merebaknya
aneka jenis penyakit ganas dan baru bermunculan mengancam tiap nyawa manusia
modern, seperti flu burung, flu babi, tumor ganas, liver, gagal jantug, stroke,
types, parkinson, dan lain-lain, Orang Baduy malah menikmati hidup sehat tanpa
banyak mengenal penyakit ganas, kecuali penyakit kulit ringan. Mereka memiliki
model pengobatan tradisional terhadap tiap penyakit yang datang, menyerahkan
pada apa yang telah disediakan oleh alam, diantaranya dengan ramuan obat alami
dari dedauan dan akar berbagai jenis tumbuhan berkhasiat, tanpa harus berurusan
dengan banyak dokter dan birokrasi rumah sakit yang menawarkan aneka jenis obat
dan sistem pengobatan dengan biaya sangat mahal. “Urang kami hirup sarehat karena hati jeung pikiran dijaga supaya sehat
(orang kami hidup sehat karena menjaga hati dan pikiran agar tetap sehat)”
kata Jaro Nalim, tokoh masyarakat Baduy Dalam Cikartawana.
Saat orang modern sibuk memikirkan keselamatan lingkungan dunia yang
makin kritis, sering dilanda bencana banjir, gempa bumi, pemanasan global (global warming), gejala rumah kaca, ancaman tsunami, dan lain-lain akibat pencemaran
udara oleh gas emisi, pencemaran air oleh aneka limbah industri, penggundulan
hutan dan lain-lain yang semakin tak terkendali, Orang Baduy justru menjalani
hidup damai, menyatu dengan alam. Seluruh nilai-nilai hidup, keyakinan, dan
ajaran agama yang mendasari keseluruhan sikap hidup mereka dalam memandang
dunia dan masa depan, semata-mata berorientasi pada upaya menjaga keseimbangan
ekosistem, melestarikan dan melindungi alam dari kerusakan. Mereka memiliki
keyakinan dan kepercayaan, bahwa keberadaan orang Baduy di dunia mempunyai tugas
dan tanggung jawab mulia dan penting, yakni menjaga alam. Mereka tinggal di
sebuah tempat yang disebut panjer bumi[8].
Tatkala orang modern terus mengupayakan perundingan antar negara,
antara benua, untuk mencari solusi bagaimana membangun sistem perekonomian,
bentuk tatanan dunia baru yang damai, menghindari berbagai konflik politik di belahan
dunia, diantaranya melalui konsep perdagangan bebas dan demokratisasi (sistem
ini hingga kini belum bisa menyelesaikan konflik bisnis dan politik di banyak negara
dan kelompok masyarakat), orang Baduy justru sudah menjalankan bisnis dagang
dan mengatur masyarakat tanpa konflik. Aturan dagang dan pemerintahan dibuat dalam
sebuah sistem yang berorientasi pada upaya menjaga keseimbangan dan harmonisasi
hubungan antar manusia. Misalnya, agar tidak terjadi persaingan kurang sehat,
hanya ada satu warung yang boleh buka di dalam satu kampung. Kritik dan
aspirasi warga disampaikan dalam sebuah mekanisme rapat adat dengan
mengedepankan tatakrama serta kemuliaan akhlak dan moral.
Gambaran keberadaan komunitas Baduy di atas dengan kondisi
lingkungan dan sistem nilai yang dianut, seperti sebuah potret masyarakat yang
sudah given, sudah jadi, dimana
mereka tak lagi memerlukan proses pencaharian tentang bentuk tatanan dunia baru
yang ideal sebagaimana yang sedang terus dicari dan diupayakan oleh “manusia
modern.” Dalam masayarakat Baduy keseimbangan hubungan antara manusia dengan
manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan Tuhan, yang merupakan dasar
dari semua ajaran agama di muka bumi, masih terjaga dan terpelihara dengan
sangat konsisten.
Dengan realitas hidup dan kondisi lingkungan serta sistem nilai yang
dianut, Baduy boleh jadi merupakan sebuah perwujudan “simpanan” atau “tabungan”
Tuhan yang masih tersisa, atau sengaja disisakan Tuhan dari sekian banyak
kekayaan dan ciptaan Tuhan yang lain (termasuk agama) di muka bumi yang kini
sudah berubah dan mulai rusak dan rapuh. Tabungan itu sengaja dipertahankan
sebagai modal dan bekal sekaligus cermin bagi perbaikan masa depan dunia.
Kehidupan di sana memang kelihatan seperti tidak bergerak, tak
berubah. Jarum jam seolah-olah berputar lambat, bahkan seperti tidak berputar.
Namun dengan “diam” nya, Orang Baduy, tanpa banyak disadari oleh orang modern, mereka
sedang bekerja keras menjaga keutuhan alam dari kehancuran. Dan orang kota yang
merasa modern dengan pergerakannya yang begitu cepat, didukung oleh temuan
berbagai teknologi tingkat tinggi, yang memudahkan mereka bisa melakukan apa
saja, termasuk menghasilkan banyak cerobong asap, memproduksi emisi lewat
knalpot mobil, hingga mampu mengotori bulan dan planet mars, seolah-olah mau
membangun masyarakat dan menyelamatkan bumi. Padahal tanpa menyadarinya,
sesungguhnya mereka sedang berjalan cepat dan tergesa-gesa menuju proses kehancuran
bumi.
Cara pandang orang luar yang mengaku manusia modern dalam melihat
masa depan harus direinterpretasikan lagi. Gaya hidup dan sistem nilai yang selama
ini dianggap sebagai konsep ideal bagi pembangunan tatanan dunia baru tampaknya
perlu ditinjau ulang. Masih pantas dan patutkah kemudian cara pandang yang kita
anut selama ini disebut sebagai cara pandang manusia modern. Dan sebaliknya
menyudutkan cara pandang dan penampilan fisik orang Baduy sebagai cara hidup kelompok
manusia terbelakang?
Lepas dari penafsiran dan pengertian tentang modernitas dan keterbelakangan,
keberadaan komunitas Baduy yang tinggal di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar,
Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, merupakan bagian dari asset dunia yang saat
ini –seperti kebanyakan komunitas lokal lainnya di dunia--sedang menghadapi
ancaman serius dari bahaya modernisasi dan kapitalisasi. Oleh karena itu,
keberadaan Baduy dan lingkungannya patut dilindungi dan dilestarikan hingga
kelak anak cucu masih mengenal bahwa di tengah-tengah arus perubahan
modernisasi dan kapitalisasi, masih ada sekelompok orang yang sangat konsisten
mempertahankan prinsip dan nilai-nilai adat serta ajaran agama, demi menjaga
dan menyelamatkan masa depan manusia dan lingkungan dari kehancuran.
[1] Saung : gubuk,
terbuat dari bambu dan atap alang-alang di tengah-tengah sawah
[2] Huma : lahan padi yang
kering dan tidak ada pematangnya
[3] Calintu : suara yang di
hasilkan oleh gesekan pohon bambu yang tertiup angin
[4] Sinduru : kegiatan
menghangatkan tubuh di depan tungku sambil memasak, dilakukan dipagi hari
[5] Jaro : Gelar untuk kepala suku atau kepala adat Baduy yang duduk di
lembaga pemerintahan Baduy
[6] Leunyit: lumbung padi
[7] Gabah : padi yang sudah dipanen
[8] Panjer Bumi : inti dari jagat raya