Setelah melewati jalan setapak penuh liku, becek dan licin, menyeberangi
banyak anak sungai dan menerobos semak-semak belukar, akhirnya saya sampai juga
di Cikartawana, salah satu kampung di Baduy Dalam. Beberapa rumah di kampung ini
tertata baik, berkumpul dalam satu lokasi di bawah lembah. Di kelilingi oleh banyak
pohon durian, aneka jenis pohon bambu, pohon turalak, dan banyak jenis pohon lain yang
menambah suasana rimbun, asri dan alami. Tidak jauh dari rumah penduduk
terdapat anak sungai Ciujung, airnya mengalir deras dan jernih. Di sebalah kiri-kanan
sungai tumbuh pohon kiara yang akarnya dibiarkan merambat pepohonan lain, pohon
kilanggir dan banyak jenis tumbuhan lain yang
dibiarkan berkembang liar di pinggiran sungai.
Suasana kampung Cikartawana siang hari tampak sepi. Tak ada tanda-tanda
kehidupan. Rumah-rumah yang semuanya dibangun dari bahan kayu, bambu, atap
kiray dan tanpa paku itu seperti tak berpenghuni, sepi sunyi. Kecuali ada satu
dua orang anak kecil berpakaian khas Baduy sedang bermain di belakang rumah.
Mereka langsung lari bersembunyi ke balik dapur saat melihat kami datang. “Upami siang orang Baduy Dalam biasanya
jarang cicing di imah, tapi cicing di saung (kalau siang, orang Baduy
biasanya jarang diam di rumah, tapi di saung),” kata Samani, salah seorang
warga Kampung Cipaler (Baduy Luar) yang menjadi petunjuk jalan. Tak banyak yang
bisa dilakukan, kecuali duduk-duduk istirahat. Walaupun pemandangan alam cukup bagus
untuk dijadikan obyek pemotretan, tidak ada yang berani melakukannya, karena
hal itu bagian dari yang dilarang.
Sambil merebahkan tubuh yang kelelahan di sebuah bale rumah kosong
yang ditinggal oleh penghuni, Samani, laki-laki berusia setengah baya yang juga
cukup paham tentang adat istiadat Baduy Dalam, menuturkan, orang Baduy dewasa, laki-laki maupun
perempuan, pada siang sampai petang hari jarang berada di rumah. Biasanya
mereka bekerja keras di tengah huma, kebun, hutan atau di saung (sebagian orang
Baduy menyebutnya rumah kedua), tempat tinggal selama menjaga dan menunggu padi
dan kala tanaman padi mereka tumbuh, kecuali saat musim panen tiba. Mereka
pulang ke rumah.
Selama tinggal di saung, keluarga Baduy saling bahu membahu bekerja.
Suami dan isteri sama-sama turun ke ladang, membersihkan lahan, menanam padi,
dan menjaga tanaman dari gangguan hama. Tugas pokok si isteri menjaga saung,
mengasuh anak dan memasak nasi. Sedang, suami bekerja di ladang dan hutan yang
sekali-kali dibantu sang isteri dan anak. Mereka bisa tinggal di saung selama
berhari-hari, satu minggu bahkan bisa satu bulan sambil sesekali pulang
menengok rumah mereka di kampung.
Semua Orang Baduy yang berkeluarga rata-rata memiliki saung, atau rumah
kedua. Berbeda dengan rumah mereka yang dibangun di sebuah perkampungan,
saung dibangun di tengah-tengah ladang dan
lokasinya berjauhan dari perkampungan. Seperti umumnya rumah mereka, bangunan saung
terbuat dari bahan kayu dan bambu. Ukuran dan bentuknya hampir sama dengan
rumah yang mereka tempati. Perabotan dan perlengkapan yang ada di saung
biasanya jauh lebih banyak dan komplit daripada yang ada di rumah. Ada ruang
tamu, kamar, ruang keluarga dan tungku api di dapur. Di depan saung bara apinya
hampir tak pernah padam sepanjang hari dan malam. Tungku api berfungsi sebagai
bahan penerang di malam hari karena tidak ada listrik dan lampu, sekaligus sebagai
penghangat tubuh di malam hari (udara di hutan Baduy cukup dingin).
Ciri khas lain dari lingkungan saung ialah selalu ada seekor anjing
sebagai teman keluarga. Rata-rata orang Baduy memelihara seekor anjing di saung
selain memelihara ayam. Anjing berfungsi menjaga anak-isteri ketika suami pergi
ke hutan atau huma yang jaraknya agak berjauhan. Anjing bisa memberi tahu sang
majikan bila ada seseorang yang datang, atau ada hal yang dianggap menganggu
keamanan.
Sewaktu-waktu saung bisa dipindahkan ke tempat lain sesuai dengan
lokasi huma yang sedang digarap. Jika lokasi huma mereka harus pindah ke tempat
lain yang lebih jauh, saung pun harus dibongkar atau dipindahkan dengan segala
isinya. Lokasi huma dan saung yang sebelumnya mereka tempati sesuai aturan adat
akan ditempati oleh orang lain, atau dibiarkan agar menjadi hutan kembali. Rentang waktu
kepindahan saung tidak menentu. Kadang bisa satu tahun, dua tahun, bisa juga sampai
lima atau tujuh tahun. “Tergantung kekayaan
bathin jeung adat anu ngatur” (tergantung suasana batin dan adat yang
mengatur), kata Jarsih, anggota masyarakat Baduy Dalam Cikartawana yang ikut
bersama menemani sepanjang perjalanan. Kenapa Orang Baduy tidak mengenal sistem
kepemilikan lahan secara permanen. Semua ladang dan huma adalah milik bersama
yang sistem penggarapan dibagi berdasarkan kesepakatan dan aturan adat. Jadi,
tak ada yang memiliki lahan pribadi, kecuali lokasi lahan berada di luar hutan
lindung Baduy.
Jika musim panen padi tiba dan gabah hasil panen sudah disimpan di dalam
leuit-leuit, sehingga tak ada lagi
yang harus dijaga dan dikerjakan di tengah huma, mereka pun pulang ke rumah, ke
kampung masing-masing. Satu warga dengan yang lain bisa berkumpul, saling
bercengkrama. Sang isteri menenun kain di rumah, atau menumbuk padi dalam
sebuah lesung sambil bersenda gurau dengan sesama perempuan se-kampung. Sedang
suami, biasanya pergi mengembara ke daerah-daerah dan kota di luar perkampungan
Baduy, bersilaturahmi dengan teman-teman dan kenalan sambil menambah
pengetahuan dan wawasan baru, serta mencari penghasilan tambahan. Mereka pergi
ke kota dan ke berbagi tempat lain di luar sambil berjualan madu, barang-barang souvenir khas Baduy dan hasil
bumi.
Imah atau rumah dan kampung halaman buat orang Baduy semacam tempat singgah
dan istirahat kala mereka lelah dan kecapaian bekerja keras di ladang. Rumah
menjadi sangat penting, tempat pertemuan antara suami-isteri dan sanak keluarga,
tempat berlindung bagi anak-anak. Rumah-rumah di perkampungan Baduy ditata sedemikian
rupa tertib, satu rumah dengan rumah lain berjejer rapat dan rapih saling
berhadapan, dipisahkan oleh jalan gang, tempat lalu-lalang orang yang melintasi
kampung.
Di tengah-tengah kampung ada pekarangan luas, tempat bermain anak-anak,
atau tempat warga melaksanakan aktivitas bersama: pergelaran acara pesta, upacara
adat, dan lain-lain. Di seberang ujung lapangan terbuka, berdiri rumah seorang
kepala adat (Puun) dan rumah seorang Jaro, keduanya berendengan pada tempat
yang sama, menghadap alun-alun (lapangan terbuka). Sedang di seberang lapangan
berdiri bangunan yang bentuknya agak berbeda dengan rumah warga, bangunan ini
tanpa beranda depan. Itulah yang disebut dengan gedung atau ruang pertemuan,
tempat dimana para sesepuh kampung dan sesepuh adat bermusyawarah memecahkan
berbagai persoalan.
Di samping perkampungan, dekat pintu masuk ke perkampungan, terdapat
lokasi untuk kumpulan leuit. Sedang
di sebelah sudut kampung terdapat bangunan terbuka, di dalamnya ada lesung
panjang tempat untuk menumbuk padi yang disebut dengan saung lisung. Di tiap kampung hanya ada satu buah saung lisung,
sebuah gubuk lebar dua meter dan panjangnya empat sampai enam meter, mempunyai empat
atau enam tiang tanpa dinding dan bagian atasnya ditutup atap. Di dalamnya terdapt
satu buah lisung panjang berukuran sekitar tiga sampai lima meter yang
digunakan khusus untuk menumbuk padi. Selain itu, ada beberapa hulu atau alu, terbuat dari kayu bulat panjang yang digunakan sebagai
penumbuk padi.
Bentuk dan ukuran rumah dari warga biasa, rumah seorang jaro, rumah seorang
puun maupun rumah seorang yang kaya, bentuk dan ukurannya tetap sama. Yang
membedakan antara rumah milik warga biasa dengan rumah milik puun atau jaro
(wakil puun) ialah lokasi dan bentuk kepundan rumah. Lokasi rumah seorang puun dan
jaro terletak di tengah-tengah barisan rumah yang langsung menghadap lapangan
terbuka. Dan di atas kepundan rumah ada bentuk lingkaran atau menyerupai gambar
tertentu, sebuah symbol ketokohan atau kehormatan sang pemilik rumah.
Semua rumah Baduy berbentuk panggung, terbuat dari bahan bambu,
kayu, bilik bambu, atap rumbia, tanpa menggunakan paku dan pondasi seperti layaknya
rumah orang luar. Pondasi rumah dari kayu besar hanya ditancapkan ke dalam
tanah atau diletakkan begitu saja. Konstruksi untuk menghubungkan antara kayu-kayu
dan bambu-bambu sebagai bahan rancang bangunan rumah, diperkuat oleh ikatan
tali dari bahan rotan atau dari kulit kayu serta kulit bambu.
Pola konstruksi seperti itu, walau terkesan sederhana, sangat
efektif untuk menahan goncangan tanah akibat
gempa bumi. Selama bertahun-tahun kekuatan dan kelenturan konstruksi rumah adat
Baduy sudah teruji, tahan bahkan anti gempa. Warga Baduy memahami benar kalau
lokasi yang mereka tinggali sekarang memiliki potensi gempa. Seluruh wilayah perkampungan
Baduy merupakan daerah pegunungan yang berpotensi gempa. Berbagai getaran gempa
bumi yang pernah terjadi di Jawa Barat sangat terasa getarannya di pegunungan
Baduy, tetapi tidak berpengaruh pada kondisi perkampungan, rumah mereka tetap
kokoh.
Tidak ada bahan bangunan lain dari rumah orang Baduy Dalam kecuali
dari bahan kayu, bambu dan tali. Termasuk lantai rumah, hanya terbuat dari
batangan bambu yang dibelah kemudian diremukkan, membentuk sebuah lempengan. Tiap
lempengan batang bambu disambung-sambung hingga menjadi sebuah “lantai” untuk
kamar dan ruang tamu. Jangan membayangkan kamar dengan tempat tidur, kasur dan
bantal, suatu hal yang sulit ditemukan di Baduy Dalam. Kamar rumah mereka berupa
bale, tikar dari bahan kulit daun pandan dan bantal yang terbuat dari sabuk
kelapa, dibungkus kain belacu warna putih.
Semua rumah orang Baduy memiliki beranda, berupa bale-bale, terbuat
dari lempengan batang bambu. Bale-bale berfungsi ganda. Di sanalah biasanya
mereka menerima para tamu, dan tempat duduk-duduk sambil menghisap rokok kretek
di sore hari menjelang malam tiba. Bale-bale menjadi “ruang” pertemuan untuk
saling tukar informasi dan pengalaman setelah pulang dari pengembaraan ke luar
kampung, sambil menghangatkan badan di depan tungku api.
Sedangkan ruang dapur rumah dibiarkan begitu saja, dari lantai
tanah. Di sana terdapat tungku api dan segala perabotan masak yang terbuat dari
kayu. Soal perabotan memasak, jangan harap pengunjung bisa menikmati sajian
makan di atas piring lebar dari logam dan pualam. Atau gelas dari bahan beling,
kristal. Orang Baduy terbiasa menggunakan pelengkapan makan seperti apa adanya yang
disediakan alam. Kecuali beberapa jenis perabotan saja yang mereka beli di toko
di luar: kastrol[1]
dan seeng[2].
Di luar itu, mereka menggunakan perabotan yang terbuat dari bambu dan kayu.
Gelas dibuat dari somong (potongan bambu), kele (tempat mengambil
air juga terbuat dari bambu). Sedangkan alas tempat makan terbuat dari daun
pisang atau batok buah kelapa tua,
sendok terbuat dari bambu, hihid (kipas) dari bambu; tomo (gentong kecil terbuat dari tanah
yang digunakan untuk tempat beras, dan lain lain).
Sketsa imah atau rumah
Baduy Luar dan Baduy Dalam terdiri dari Dapur,
ruangan tempat masak, biasanya bersebelahan dengan ruang tidur; pendeng, kamar tidur utama; sosoro, teras bagian depan; tepas, ruang
tamu, biasanya berukuran lebih besar dari pendeng dan dapur; golodog, tangga untuk menaiki rumah; ateup, bagian atap rumah; lolongok atau erang, lubang angin pada
bagian dinding rumah atau lazimnya
disebut dengan jendela.
Perbedaan bentuk rumah di Perkampungan Baduy Luar dan Baduy Dalam
adalah sebagai berikut: Bangunan di Baduy Luar sudah diperbolehkan menggunakan
paku dan kayu yang sudah diperhalus, sedangkan di Baduy Dalam sebaliknya, hal
itu merupakan larangan adat. Teras rumah di Kampung Baduy Luar lebih besar,
sekitar 1,5 meter dan panjang sekitar empat sampai dengan enam meter dengan
bambu yang sudah dibelah kecil-kecil. Sedangkan di perkampungan Baduy Dalam
pada umumnya teras depan memiliki lebar yang lebih kecil, satu meter dan
panjang sekitar dua meter, menggunakan bambu gelondongan atau bambu yang utuh.
Rumah-rumah di Perkampungan Baduy Luar memiliki satu atau lebih
pintu keluar-masuk, satu buah pintu di depan, satu buah pintu di belakang
dengan daun pintu dari kayu yang sudah diperhalus. Sedangkan di Kampung Baduy
Dalam hanya terdapat satu buah pintu masuk-keluar di bagian depan dengan daun
pintu dari bambu yang dianyam. Rumah-rumah di perkampungan Baduy Luar
diperbolehkan memiliki daun jendela, sedangkan di perkampungan Baduy Dalam tidak
diperbolehkan kecuali lubang-lubang kecil. Bahan bangunan seperti paku, gembok,
dan tali produk luar, tidak diperbolehkan di perkampungan Baduy Dalam, kecuali
di Baduy Luar. Struktur tanah untuk bangunan rumah, khusus untuk di
perkampungan Baduy Luar, diratakan terlebih dahulu, sehingga tinggi umpak
bangunan sama, sekitar 30-60 cm. Sedangkan di perkampungan Baduy Dalam struktur
tanah untuk bangunan rumah tidak boleh diratakan terlebih dahulu, melainkan
umpak rumah harus mengikuti kontur dan struktur tanah yang ada.
Penataan kampung Baduy Luar dan Baduy Dalam pada umumnya memiliki
banyak persamaan. Rumah-rumah dibangun berhadap-hadapan dan terselang jalan
untuk melintas; di setiap kampung perumahan dibangun di satu kompleks dan
umumnya berlokasi di lembah dekat aliran sungai; tiap kampung memiliki satu
komplek untuk lumbung padi yang berada di sebelah halaman kampung; terdapat satu buah lisung di
setiap sudut kampung;
bangunan tiap rumah di Baduy Dalam maupun Baduy Luar antara satu rumah dengan yang lainnya bersebelahan, saling berhadapan,
rata-rata berjarak dua sampai empat meter secara terpisah. Diyakini konsep
penataan rumah-rumah dan perkampungan di Baduy menjadi salah satu konsep dasar
pembangunan perumahan di kota-kota besar di Indonesia. (UTEN SUTENDY) **
Tidak ada komentar:
Posting Komentar