Desa Kenekes dipimpin oleh seorang kepala desa yang biasa disebut Jaro
Pemerintahan, bernama Jaro Daenah (Ayah Daenah). Sebagai seorang kepala desa, Jaro Daenah sangat
dihormati dan disegani oleh warga desa. Laki-laki asli Baduy yang tinggal di Kampung
Kaduketug (Baduy Luar) ini memiliki postur tubuh tinggi besar, kekar dan tampak
gagah dengan kumis tebal menempel di atas bibir. “Mangga calik,” (silahkan duduk),” katanya kepada penulis saat jumpa
di rumahnya yang tampak lebih rapih, bersih dan besar dari umumnya rumah orang
Baduy di Kampung Kaduketug. Siang itu, Jaro dengan fasih memberikan penjelasan tentang
kondisi lingkungan desa dan kehidupan orang Baduy, sambil duduk bersila di
teras rumah, ditemani dua gelas kopi hangat.
Desa Kenekes dengan luas 5.100,36 ha, adalah sebuah wilayah pegunungan dan perbukitan dengan kondisi
hutan yang masih asri. Dialiri oleh puluhan anak sungai, airnya jernih dan tak
pernah kering sepanjang tahun. Desa ini penuh dengan pesona keindahan hutan yang
masih perawan serta kaya dengan aneka jenis flora-fauna. Di sekitar pegunungan
dan perbukitan Hutan Lindung Desa Kenekes terdapat sekurangnya 200 spesies
tumbuhan. Sebagian diantaranya hanya ada di Baduy dan tidak ditemukan di daerah
atau di hutan-hutan di wilayah Indonesia atau belahan dunia lain. Pohon-pohon
dibiarkan tumbuh berkembang secara alami sejak puluhan hingga ratusan tahun silam.
Pengunjung bisa melihat pohon durian yang batangnya berdiameter lebih dari
dua-tiga meter dengan tinggi batang menjulang ke langit lebih dari 30-40 meter
dan masih tetap menghasilkan buah durian berkualitas. Diantara jenis pohon yang
dibiarkan tumbuh bebas di wilayah Baduy ialah pohon bayur atau cayur (Pterosperum javanicum), burahol atau
turalak (Stechocarpus burahol hook), caringin
atau beringin (Ficus benyamin lnn),
kiara (Ficus indika), kilanggir atau
kianggir (Otopora spectabilis),
kokosan atau pisitan (Lansium domesticum),
jeunjing (Albizzia fakata backer),
rotan (Korthalisia laciosa),
tubaleluer atau aruey kawao (Milletia servicea), kedoya (Dysoxylum caulostachym miq), bambu apus
(Gigantochloa apus kurz), bambu
betung (Dendrocalamus asper), bamboo hitam
atau awi hideung, dan lain-lain.
“Orang Baduy menjaga hutan, sungai, flora dan fauna seperti mereka
menjaga diri dan keluarga,” kata Jaro Daenah. Siapa saja yang datang ke wilayah
Baduy harus ikut menjaga kelestarian alam lingkungan. Tidak boleh menebang
pohon sembarangan, membuang sampah sembarangan agar tidak menganggu kehidupan
flora fauna. Masyarakat di Baduy Luar, seperti halnya di kampung Kadu Ketug,
Cipaler, Gazeboh, dan termasuk di Kampung Baduy Dalam Cibeo, sudah terbiasa
untuk tidak membuang sampah sembarangan. Seorang pedagang atau pendatang yang
kedapatan membuang sampah sembaranagn akan mendapat teguran. Tiap-tiap rumah
menyediakan tempat pembuangan sampah berupa karung plastik yang disimpan di
samping teras rumah.
Menurut Jaro Daenah, ada ajaran yang tidak tertulis tetapi secara
turun menurun menjadi pijakan dan pegangan kuat orang Baduy dalam menjaga dan
melestarikan hutan dengan segala isinya agar tetap bersih, utuh, dan lestari
seperti apa adanya. Ajaran tersebut hingga kini dipegang teguh masyarakat dari
semua lapisan dan usia: gunung teu menang
dilebur, lebak teu menang dirusak. Pondok teu meunang
disambung, panjang teu meunang dipotong. Nu lain di lain keun, nu enya
dienyakeun (gunung tidak boleh dilebur, lembah tidak boleh dirusak. Yang
pendek tidak boleh disambung dan yang panjng tidak boleh dipotong. Yang lain di
lain kan, yang iya diiyakan). Dengan ajaran itu orang Baduy berkeyakinan,
menjaga dan melestarikan hutan dengan segala isinya merupakan ritual
sehari-hari dalam mengekspresikan kehidupan spritualnya.
Seluruh komunitas Orang Baduy tinggal di lembah dan lereng bukit dan
pegunungan yang diapit oleh Hutan Larangan dan Hutan Titipan. Hutan larangan berada
di wilayah Gunung Kendeng (masuk dalam Kawasan Taman Nasional Halimun yang
terletak diantara daerah Kabupaten Lebak, Provinsi Banten dan Kabupaten Bogor
Provinsi Jawa Barat). Daerah ini dikenal oleh masyarakat Banten dan orang Baduy
pada umumnya sebagai Punggung Bumi (Sanghyang Pundak). Hutan Larangan adalah
hutan yang sangat luas, ditumbuhi oleh berbagai tumbuhan tanpa campur tangan
manusia, namun hidup dan berkembang secara alami. Di dalam hutan hidup secara
alami berbagai jenis hewan. Manusia tidak diperkenankan untuk mengambil
sebagian atau seluruh hasil dari hutan kecuali mengambil madu dan tanaman obat
secukupnya. Ciri dari hutan larangan yang paling mudah dikenal ialah tidak
adanya jalan untuk dilalui. Di dalamnya terdapat keanekaragaman tumbuhan yang
usianya relatif tua, besar, dan tinggi dengan diameter batang pohon mencapai dua sampai tiga
meter.
Sedangkan Hutan Titipan ialah hutan di luar hutan larangan yang
berdasarkan keyakinan masyarakat adat Baduy hutan tersebut telah dititipkan oleh nenek moyang
mereka secara turun temurun untuk tetap dijaga keutuhan dan kelestariannya,
karena sangat menentukan bagi stabilitas
eko-sistem. Hutan titipan tumbuh dan berkembang secara alamiah.
Larangan-larangan masyarakat pada hutan titipan diantaranya adalah tidak
diperkenankan siapapun yang masuk ke dalam hutan membawa atau mengambil
tumbuhan maupun hewan, serta potensi sumber daya alam yang ada di dalamnya,
lebih-lebih mengeksploitasi untuk alasan apapun.
Di kawasan hutan titipan dimana komunitas Orang Baduy tinggal,
terdapat berbagai jenis fauna yang hidup bebas. Setidaknya ada 90 jenis burung
yang hidup berkembang di hutan-hutan Baduy : burung elang, gagak, jalak, kacer,
cangkurileung, bincarung, dan lain-lain. Dan tidak kurang dari 10 jenis binatang
melata, diantaranya jenis ular berbisa : ular cobra, ular tanah, dan lain-lain.
Hutan titipan di kawasan hutan lindung
Baduy merupakan tempat yang ideal bagi berkembang biaknya hewan-hewan jenis
monyet, jenis kucing (kucing hutan dan macan tutul).
Selain diapit oleh hutan titipan dan hutan larangan, perkampungan
Baduy juga diapit oleh dua sungai besar: Sungai Ciujung dan Sungai Cisimeut.
Kedua sungai mempunyai banyak anak sungai yang melintasi perkampungan dan
hutan-hutan. Antar satu kampung dengan kampung lain umumnya dipisah oleh anak sungai
dari kedua sungai besar tersebut. Airnya terus mengalir jernih tidak pernah mengering.
Sungai-sungai besar maupun kecil menjadi pembatas yang membedakan wilayah
Perkampungan Baduy Luar dan Baduy Dalam. Antara Kampung Baduy Luar dan Baduy
Dalam dihubungkan oleh jembatan yang terbuat dari bambu yang diikat oleh tali
dari kulit kayu diantara pohon-pohon besar yang tumbuh di seberang sebelah kiri
dan kanan sungai tanpa menggunakan paku. Jembatan banyak dibangun dengan segala
ukuran, menghubungkan antara kampung satu dengan kampung lain. Di Desa Barata,
Kampung Baduy Luar, misalnya, terdapat jembatan akar, sebuah jembatan yang
terbuat secara alami dari akar-akar pohon yang tumbuh di seberang sebelah kiri
dan kanan sungai selama puluhan bahkan ratusan tahun. Akar–akar itu disambungkan
dengan cara saling menyeberangi sungai dan saling melilit, memperkuat ikatan hingga membentuk sebuah jembatan penyeberangan
yang kuat dan unik..
Aneka ragam fauna yang hidup di sungai-sungai Baduy hingga kini terjaga
dan terpelihara dengan baik berkat banyak larangan dan pantangan untuk menjaga
kelestarian air sungai dan biota yang hidup di dalamnya. Tidak boleh mandi di
sungai dengan sabun mandi (Baduy Dalam), membuang sampah sembarangan terutama
dari bahan plastik, atau menangkap ikan dengan cara disetrum menggunakan kekuatan
aliran listrik. Di Baduy Dalam, orang boleh mengambil ikan dengan cara
memancing, menjala, dan lain-lain, asal sudah mendapat ijin dari jaro (ketua
kampung). Sekurangnya terdapat 20 jenis ikan yang hidup di sungai Baduy: udang,
ikan lele, tawes, keuting, lundu, caung, belut, mujair, dan lain-lain.
Orang Baduy tidak menggantungkan hidup dengan air seperti mencari
ikan dan beternak ikan. Sungai-sungai yang ada dibiarkan apa adanya, tanpa ada
bendungan atau pengalihan aliran air sungai untuk peternakan ikan. Mereka lebih
menyukai hidup dan bergantung pada sumber makanan dari darat, menanam padi dan
tumbuh- tumbuhan lain yang bisa berbuah. Dalam pandangan mereka, memanfaatkan
sungai untuk keperluan memenuhi kebutuhan makanan sehari-hari sama halnya dengan
merusak kelestarian alam. Dari sungailah dimulai semua kehidupan di darat,
karena itu sungai tidak boleh dikotori, biarkan airnya mengalir sampai jauh seperti
apa adanya.(UTEN SUTENDY) **
Tidak ada komentar:
Posting Komentar