Siapa bilang Orang Baduy tidak bisa berdagang. Kesan bahwa mereka
tidak bisa berdagang didasari pandangan yang kurang tepat dan bijak mengetahui
cara-cara Orang
Baduy dalam bermata pencaharian. Selama ini Orang Baduy dipersonifikasikan
sebagai sebuah komunitas masyarakat terbelakang yang belum mengenal sistem
perdagangan, bahkan dianggap belum sepenuhnya mengenal uang sebagai alat tukar.
Mereka dikesankan sebagai kelompok masyarakat yang masih mengandalkan sistem
barter, pertukaran antar barang,
belum berpengalaman
dalam berbisnis, karenanya belum layak diajak bekerjasama
dalam bisnis dengan orang luar.
Pandangan yang cenderung negatif
itu sesungguhnya agak sulit dibuktikan ketika melihat langsung dan memahami cara
pandang mereka dalam menjalankan sistem perdagangan yang
mereka anut. Mereka mengenal uang sebagai alat tukar
yang penting. Tetapi uang bukanlah segalanya dalam berdagang. Berdagang adalah
bagian dari mata pencaharian yang diwajibkan dalam ajaran dan kepercayaan
sebagai salah satu mata pencaharian, selain bercocok tanam di huma dan di
kebun. Berdagang dalam konsep Orang Baduy tentu agak berbeda dengan kebanyakan
orang yang tinggal di luar. Dasar pijakan Orang Baduy, berdagang adalah mencari
rezeki yang halal dengan cara berhubungan dengan orang lain, baik dengan Orang Baduy
sendiri maupun dengan orang dari luar. Berdagang juga sebagai bagian dari media
untuk membangun jaringan sosial di antara mereka dan masyarakat luar.
Mereka berdagang sebatas barang-barang yang mereka hasilkan dari
kreatifitas dan kerajinan diperoleh di alam lingkungan, seperti berbagai macam
hasil bumi: duren, kayu, pete, pisang madu, kain tenun, hasil kerajinan kayu
dan bambu, aneka buah-buahan. Sebagian barang-barang itu dibawa sendiri,
dijajakan kepada orang-orang yang mereka kenal, atau dititipkan di toko-toko
dan supermarket. Ada pula sebagian dari mereka yang menitipkan barang-barang
dagangan di restaurant bahkan hotel-hotel serta tempat-tempat lain yang dianggap
strategis. Barang dagangan mereka tersebar di kota-kota besar, Jakarta,
Bandung, Cirebon, Bekasi, Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Tangerang, dan
sekitarnya.
Dengan membawa berbagai hasil bumi, Orang Baduy (terutama Orang
Baduy Luar) menyebar ke penjuru daerah di wilayah Provinsi Banten dan Jawa
Barat menjajakan barang dagangan kepada orang-orang yang mereka kenal sambil
menjalin tali silaturahmi. Jadi, berdagang sesungguhnya lebih merupakan sebagai
cara dan alat mereka untuk membangun hubungan sosial lebih luas dengan orang
luar, selain untuk mencari tambahan penghasilan. Kebutuhan hidup mereka dan keluarga
bukan semata bergantung kepada hasil dagang, melainkan hampir sepenuhnya
mengandalkan kepada hasil bercocok tanam di huma dan di kebun.
Dalam sistem perdagangan, tidak mengenal kata bersaing atau saling
mengejar keuntungan yang berlebih diantara sesama sehingga memungkinkan diantara
mereka bisa menimbulkan persaingan untuk merebut pelanggan atau pembeli. Mereka
terbiasa saling menghargai dan menghormati satu sama lain. Saat ada seorang pelanggan
yang tiba-tiba berpindah kepada Orang Baduy lain, mereka tidak merasa
tersinggung atau marah. Saat dagangan tidak jadi dibeli, mereka juga tidak
memaksa dan tidak pula harus merayu. Tetapi, satu hal yang tidak boleh terjadi
dalam hubungan bisnis dengan mereka, yakni kebohongan atau ketidakjujuran.
Sekali mengetahui ada ketidakjujuran atau bohong, mereka tidak akan pernah mau
berhubungan bisnis lagi. Orang yang berbuat tidak jujur atau bohong adalah
orang yang tidak bisa diajak berteman, bersaudara dan bekerjasama yang justru
menjadi tujuan utama dalam berdagang.
Orang Baduy sangat memahami bila hubungan dagang ini sangat rentan dengan
konflik pribadi dan sosial diantara sesama manusia. Banyak orang saling bunuh
karena urusan dagang, hubungan keluarga pecah diantaranya karena urusan usaha, hubungan
silaturami antara kawan dan kelompok masyarakat terputus karena urusan dagang
yang tak jujur. Banyak juga orang menjadi miskin dan kelaparan karena menjadi
korban sistem perdagangan yang salah. Pedagang di pasar-pasar tradisional di
kota-kota kecil, misalnya, digusur dipaksa pindah, karena lokasi pasar hendak
dibangun gedung, supermarket atau pasar modern. Banyak warung-warung kecil yang
dimiliki orang kampung menjadi bangkrut karena minimarket-minimarket sudah
masuk ke desa-desa dan kampung-kampung. Dan banyak negara–negara kecil, negara
berkembang di dunia terancam bangkrut oleh krisis ekonomi berkepanjangan karena
dirugikan oleh aturan dan kebijakan perdagangan bebas yang dikendalikan oleh negara
maju di Eropa dan Amerika.
Dalam sistem perdagangan yang diterapkan di lingkungan perkampungan
Baduy, orang yang mau berdagang harus mau diatur sedemikian rupa agar tidak
menimbulkan kecemburuan dan persaingan yang berujung pada konflik pribadi dan
sosial diantara mereka. Keharmonisan hubungan pribadi, keluarga, dan sesama
adalah harga mati yang tidak bisa ditawar, dan itu merupakan bagian dari ajaran
Sunda Wiwitan yang wajib ditaati jika tidak ingin mendapat sanksi sosial dari
para tetua adat.
Siapa saja Orang Baduy bisa berdagang di kampung, seperti membuka
warung. Tetapi tidak bisa sembarangan membuka warung karena cara-cara membuka
warung di satu kampung Orang Baduy diatur oleh adat. Tiap orang boleh mempunyai
keinginan membuka warung, tetapi tokoh adatlah yang menentukan siapa yang
berhak atau memperoleh giliran. Dalam aturan adat, dalam satu kampung tidak
boleh ada dua atau tiga warung, melainkan harus satu warung yang ditentukan
berdasarkan rapat para tetua adat kampung.
Keharmonisan hubungan pribadi dan sosial diantara mereka jauh lebih
penting dari pada sekedar mengejar kepentingan dan keuntungan materi. Jika
dalam satu kampung ada dua atau tiga warung, dalam logika mereka, pasti akan
ada persaingan diantara pemilik warung. Jika ada persaingan, maka akan ada
perlombaan untuk menarik pembeli. Jika hal ini lama-kelamaan dibiarkan bukan
hanya hubungan pribadi antara pemilik warung yang akan terganggu, akan tetapi
juga hubungan sosial di masyarakat Baduy secara keseluruhan akan terganggu. Maka,
dalam satu kampung, hanya boleh ada satu warung agar keseimbangan hubungan
antara manusia tetap terjaga, sehingga alam pun tetap terjaga lestari.(UTEN SUTENDY) ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar