Gambaran
kondisi Perkampungan
Orang Baduy baik di dalam maupun di luar umumnya sama, tenang,
damai, dan asri. Pohon-pohon
besar dibiarkan tumbuh, air sungai jernih, dibiarkan mengalir begitu saja
sampai jauh, menerjang
batu hingga mengeluarkan suara gemericik di tiap
sudut kampung. Aneka satwa,
kumbang, jangkrik, kodok, daeng-daeng dan tune
(binatang kecil sejenis belalang) berbunyi nyaring.
Macam-macam jenis burung bebas
bercengkrama, mengeluarkan kemerduan bunyi suara, satu sama lain
saling
bersahutan. Sesekali terdengar suara gonggongan anjing dari ujung kampung
diantara suara alam yang
dikeluarkan oleh gesekan batang-batang kayu dan dedaunan yang tertiup angin. Dalam
keheningan,
terdengar suara calintu dari
atas bukit atau di atas gunung. Semakin kencang angin bertiup, suara itu makin
kencang
terdengar. Calintu adalah sebuah
batang bambu sepanjang empat sampai lima meter yang diberi
lubang seperti
sebuah suling, lalu diikat dalam posisi berdiri menjulang ke langit di atas
pohon yang tinggi.
Ketika angin bertiup, bambu itu mengeluarkan suara khas,
seperti suara biola yang digesek pelahan,
memecahkan keheningan malam.
Tak
ada suara mesin, musik, atau orang berteriak menghardik marah seperti yang
biasa dijumpai di lingkungan masyarakat orang luar. Pagi hari, saat ayam jantan
berkokok, kaum perempuan mulai sibuk menyalakan tungku api, memasak air dan menanak
nasi. Kaum laki-laki pergi bergegas ke ladang, huma, kebun, atau hutan dan
sungai. Sementara kaum perempuan dewasa dan remaja mulai bekerja menenun,
membuat aneka kerajinan khas Baduy dengan alat tradisional yang diwariskan
turun temurun sejak puluhan bahkan ratusan tahun. Menurut Samani, salah seorang
warga Kampung Cipaler, tiap warga di kampung Baduy Luar memiliki alat
tradisional untuk membuat tenunan khas Baduy. Dan tiap remaja puteri Baduy
umumnya bisa menenun karena diajarkan
para orang tua secara turun temurun.”Kabeh
bikang di Baduy umumnya bisa nenun (semua perempuan di Baduy bisa
menenun),” katanya. Wanita-wanita penenun bekerja terampil sambil duduk di
teras rumah. Tangannya lincah bergerak memintal benang dengan alat tradisional.
Bunyi tok tok tok keluar dari
benturan kayu-kayu pada alat pemintal tradisional yang ada di tiap rumah,
memecahkan keheningan, menambah suasana kampung terasa nyaman dan harmonis.
Hampir
semua warga Baduy baik laki-laki maupun perempuan menurut Jaro Daenah tidak ada
waktu untuk mengangur. Semua punya tugas, peran, dan tanggung jawab
masing-masing yang secara mekanis berjalan efektif tanpa ada unsur paksaan. Tak
ada alasan untuk menghamburkan kemarahan atau sikap-sikap negatif yang bisa
mengganggu keharmonisan. Dimanapun dan kapan pun mereka dijumpai, di saung,
huma, persimpangan jalan, yang terkesan adalah keramahan, kesederhanaan, dan
keluguan. Mereka akan menyapa dan memberi senyuman pada siapapun yang dijumpai
sekalipun orang itu belum dikenal.
Belum
terdengar cerita yang
menggambarkan ada konflik diantara sesama orang Baduy. Mereka hidup
berdampingan, satu sama lain saling membantu dan menolong. Semangat gotong-royong dan kebersamaan tercermin dalam
tiap aktivitas. Saat membangun rumah, membuka ladang, menanam dan memanen padi,
membuat jembatan, membuat leuit dan
saung, memetik buah durian, menangkap ikan di sungai, menebang pohon, dan
lain-lain. Semua sudah diatur dengan rapi dalam sebuah sistem organisasi adat,
agama, dan sosial kemasyarakatan secara turun-temurun sejak ratusan tahun
silam, yang memungkinkan masyarakat Baduy terbentuk dan berkembang hingga kini
tanpa konflik yang membahayakan dan mengancam keutuhan komunitas mereka.
***
Sistem
organisasi sosial yang mereka gunakan menganut sistem kokolotan yang berazaskan pada ajaran Sunda Wiwitan, suatu sistem
organisasi sosial dan adat yang menghargai dan menghormati para kesepuhan atau
kokolot dan karuhun atau nenek moyang. Roda organisasi kemasyarakatan mereka
berpedoman pada ajaran Sunda Wiwitan, sebuah kepercayaan leluhur yang menekankan pada pelestarian alam
dan keharmonisan dalam kehidupan manusia serta perwujudan keadilan, perdamaian
dan keamanan serta ketertiban yang abadi.
Sedangkan
dalam sistem pemerintahan adat, Suku Baduy memiliki sistem pemerintahan yang
bersifat kapu’unan, pimpinan
tertinggi dalam pemerintahan adat. Pu’un terdapat di tiga Kampung Baduy Dalam: Pu’un
di Cibeo, Pu’un di Cikartawana dan Pu’un di Cikeusik. Dalam melaksanakan tugas
sehari-hari Pu’un dibantu oleh seorang Jaro
Tanggung Dua Belas, Jaro Pamarentah Adat dan Jaro Tujuh yang berasal dari Baduy Luar.
Pu’un
juga dibantu oleh Baresan Salapan, berasal dari masing-masing kampung,
berjumlah sembilan orang di setiap
Kampung Baduy Dalam, serta tiga orang jaro adat di Kampung Baduy Dalam, Jaro Tujuh dari Kampung Baduy Luar yang berjumlah tujuh sampai dengan delapan orang, Girang Seurat dari Baduy Luar, dan Kokolot Lembur dari
masing- masing kampung di desa Kenekes. Berikut uraian tugas pokok dan fungsi
masing - masing pejabat adat sebagai berikut :
Pu’un
adalah pimpinan tertinggi di dalam struktur pemerintahan adat masyarakat Baduy.
Pu’un hanya ada di Kampung Cibeo, Cikartawana dan Cikeusik. Ketiga Pu’un memiliki kuasa yang sama antara satu dengan
yang lain dan wilayah kekuasaan yang sama
pula, yakni seluruh kampung di Baduy Dalam dan Luar. Selain sebagai pimpinan
tertinggi dalam struktur pemerintahan tradisional, Pu’un juga mengeluarkan kebijakan dan aturan-aturan yang mendasar
pada ajaran dan adat istiadat Sunda Wiwitan.
Pu’un
diangkat oleh masyarakat Baduy berdasarkan azas musyawarah mufakat. Tata cara
pemilihan dilakukan melalui mekanisme pemilihan calon Pu’un oleh Bares Kolot
dengan cara musyawarah. Calon Pu’un terpilih kemudian dimusyawarahkan kembali
dengan masyarakat Baduy. Cara penyampaian pendapat atas pilihan dilakukan oleh
masyarakat di setiap kampung. Satu kampung
memilih satu calon yang disepakati oleh warga kampung, kemudian Kokolot Lembur
dan Kokolatan serta tokoh masyarakat lain
bermusyawarah untuk menentukan. Segala keputusan yang dihasilkan dalam
musyawarah Kokolot
dan tokoh mayarakat akan
diterima oleh warga secara keseluruhan. Seorang Pu’un tidak akan diberhentikan
selama masih mampu dan benar dalam mejalankan tugas yang diemban. Yang berbeda
dengan pemilihan pimpinan di masyarakat luar
Baduy, dalam pemilihan Pu’un, tidak satupun masyarakat Baduy yang mencalonkan
diri, melainkan dicalonkan oleh Bares Kolot yang membawa aspirasi warga.
Selain
sebagai pimpinan pemerintahan adat tertinggi, Pu’un juga sebagai pemimpin adat
dan ajaran Sunda Wiwitan. Syarat untuk menjadi Pu’un diantaranya harus mampu
memimpin, menguasai adat istiadat Baduy serta melaksanakan ajaran Sunda Wiwitan
secara konsisten dalam
kehidupan sehari-hari. Dalam menjalankan roda pemerintahan, Pu’un diawasi oleh
Tangkesan sebagai penasehat yang disegani oleh
ketiga Puun tersebut. Dan Tangkesan tidak dapat memberhentikan
Pu’un.
Seurut
atau Girang Seurat adalah pejabat
yang membantu tugas kepu’unan khususnya dibidang kepengurusan huma serang (ladang
Pu’un) dan sebagai penghubung antar Pu’un,
Kokolot Lembur,
Kokolotan, Jaro, dan pejabat lain.
Girang Seurat
diangkat dan diberhentikan oleh Pu’un.
Selain itu, Girang seurat bertugas mewakili
Pu’un
dalam pertemuan-pertemuan tertentu dengan tamu-tamu yang datang dari
pemerintahan apabila Pu’un
berhalangan. Masa jabatan
yang diemban oleh Girang Seurat
tidak dapat ditentukan selama masih
dianggap mampu. Seorang akan diberhentikan dari jabatan Girang Seurat dengan sendirinya apabila dianggap tidak
mampu lagi atau meninggal dunia.
Baresan Salapan
adalah pembantu-pembantu pu’un yang
dipilih dan diberhentikan oleh Pu’un.
Tugas utamanya ialah bertanggung jawab terhadap keamanan dan
ketertiban kampung di Baduy Dalam. Jumlah Baresan Salapan di
setiap Kampung
Baduy Dalam masing-masing berjumlah sembilan orang. Masa menjabat Baresan
Salapan tidak ditentukan, akan
diganti apabila mengundurkan diri atau meninggal
dunia.
Jaro Adat, Jaro Warega dan Jaro
Pamarentahan. Istilah jaro lazim digunakan untuk
menyebut kepala desa atau lurah. Istilah ini sudah dipakai sejak lama di Baduy
untuk menyebut kepala Desa
Kenekes sebagai wilayah ulayat
masyarakat Baduy. Terdapat lima orang jaro
yang memiliki kewenangan dan tanggung jawab yang berbeda satu dengan yang lain.
Satu orang Jaro Pamarentahan, kemudian satu orang Jaro Warega, dan tiga orang Jaro
Adat atau disebut juga Jaro Tangtu. Tugas Jaro Pamarentahan hampir sama dengan jaro-jaro
lain di desa-desa
di luar Baduy,
khususnya di Provinsi
Banten dan di Indonesia pada umumnya, yakni mengurus pemerintahan di desa. Jaro
Pamarentahan dipilih dan ditentukan oleh Pu’un
berdasarkan hasil musyawarah Bares Kolot
untuk kemudian disyahkan oleh Camat Leuwidamar. Jaro Pamarentahan bertugas
sebagai penghubung kepentingan pemerintahan adat dengan pemerintahan formal
yang lazim disebut dengan kepala desa. Jaro Pamarentahan adalah warga Baduy
Luar yang memiliki kecakapan yang cukup dan dianggap mumpuni dalam mengurus
urusan aturan-aturan formal yang tidak ada di dalam aturan adat Baduy.
Jaro
Pamarentahan tidak seperti jaro-jaro
atau kepala desa pada umumnya yang memiliki batas waktu menjabat. Jaro
Pamarentahan diangkat dan diberhentikan oleh Pu’un
dengan masa jabatan tidak
ditentukan. Jaro Pamarentah
akan diberhentikan oleh Pu’un
apabila melanggar adat dan dianggap kurang bertanggung jawab terhadap warga,
atau apabila meninggal dunia.
Jaro Adat
bertugas menangani kepentingan sosial kemasyarakatan di wilayah Baduy Dalam
saja berdasarkan hukum dan aturan adat dan kepercayaan Sunda Wiwitan. Sedangkan
Jaro Warega memiliki tugas keagamaan yang menjalankan kewajiban masyarakat
Baduy dan mewakilinya untuk mengontrol keadaan hutan adat dan hutan titipan
lain di luar Baduy.
Jaro
Adat dan Jaro Warega dipilih dan diberhentikan oleh Pu’un dan bertanggung jawab kepada Pu’un. Jaro adat dan Jaro warega hanya
bertanggung jawab kepada Pu’un di tiga Kampung Baduy Dalam. Seperti pejabat
pemerintah adat Baduy lain, seluruh masyarakat Baduy tidak satu pun yang
mencalonkan diri, bahkan mereka merasa was-was apabila ditunjuk oleh pu’un
untuk menjabat, karena beban amanat yang dipikul cukup berat. Mereka khawatir tidak
bisa menjalankan tugas dengan baik dan benar.
Jaro Tujuh
atau tujuh jaro (jumlahnya
tujuh sampai delapan orang),
tersebar di beberapa kampung: Kampung Cihulu, Kadu Ketug, Cisaban, Sorkokod, Jareng (Desa Kenekes) dan Kampung
Nungkulan (Desa Cisimeut). Masing-masing kampung memiliki satu jaro tujuh,
kecuali di Kampung Kadu Ketug yang berjumlah dua orang Jaro Tujuh,
yakni di Kadu Ketug Tonggoh dan Kadu Ketug Babakan Jaro.
Kokolot Lembur
adalah orang yang dianggap sesepuh kampung. Ia dipilih oleh masyarakat kampung karena dianggap memiliki
disiplin adat yang kuat dalam kehidupan sehari-hari dan taat terhadap ajaran Sunda Wiwitan.
Di setiap
kampung di Baduy hanya ada satu Kokolot
Lembur, Kokolot Lembur tidak dapat dipilih dan
diberhentikan oleh Pu’un,
namun masyarakat kampung itu sendiri yang memilih dan memberhentikan. Tugas Kokolot Lembur
sebagai guru atau penasehat masyarakat akan ajaran Sunda Wiwitan. Dia bisa
menguasai ilmu pengobatan alternatif dan pengobatan tradisional. Dengan
kecakapan yang dimiliki, Kokolot Lembur
senantiasa diminta bantuan oleh masyarakat setempat untuk mengobati yang sakit.
Kokolotan adalah
orang yang dianggap paling patuh tehadap ajaran Sunda Wiwitan dalam kehidupan
sehari-hari, dan pengetahuannya berada di
atas rata-rata kokolot lembur lain. Kokolotan dipilih oleh Bares Kolot
dan hanya ada dua dalam kokolotan di Baduy, tidak pernah lebih atau kurang.
Kokolotan bertugas mengawasi dan menasehati Tangkesan, Tidak ada yang
memberhentikan Kokolotan
kecuali mengundurkan diri, karena ketidakmampuan, atau meninggal dunia.
Kokolatan berasal dari Kampung
Baduy Luar. Saat
ini pemangku jabatan Kokolotan berasal
dari Kampung Gazeboh dan Kampung Cihulu.
Selain
Kokolotan, ada juga kokolotan lain yang
tinggal di setiap kampung, namun tidak memiliki kewenangan seperti kedua
kokolotan tadi. Kewenangannya sebatas sebutan karena faktor usia dan
pengalaman. Seorang
Tangkesan harus patuh kepada kokolotan
bila diperintah dan dinasehati. Tidak satu pun yang berhak menasehati Tangkesan kecuali kokolotan.
Jaro
Tanggungan Dua Belas atau biasa disebut dengan Jaro Tanggungan
adalah salah satu warga Baduy Luar
yang dipilih oleh Kokolot
Lembur, Kokolotan,
Tangkesan dan Pu’un berdasarkan hasil musyawarah
mufakat. Jaro Tanggungan
Dua Belas
bertugas memberikan perlindungan hukum kepada seluruh masyarakat Baduy atas perilaku
di luar batas wilayah Baduy maupun di wilayah Baduy yang dapat merugikan orang
lain atau dirugikan oleh orang lain. Tugas lain dari Jaro Tanggungan adalah memberikan bimbingan
kepada seluruh masyarakat Baduy untuk menjaga sikap dan perilaku yang
sewajarnya dalam kehidupan sosial. Jaro Tanggungan
berasal dari Kampung Kadu Keter (Baduy Luar). Jaro Tanggungan tidak bisa diberhentikan,
kecuali mengundurkan diri, atau meninggal dunia. Tidak ada batas waktu yang
ditentukan untuk masa waktu menjabat
sebagai Jaro Tanggungan.
Jabatan itu akan diganti dengan yang baru bila yang bersangkutan meninggal
dunia atau mengundurkan diri.
Tangkesan atau Bapak Kolot
adalah penasehat Pu’un
yang berasal dari Baduy Luar dan biasanya dari Kampung
Cicatang. Tangkesan dipilih oleh
hasil musyawarah Kokolot
dan Kokolotan. Jumlah Tangkesan hanya satu
orang saja. Kewenangan Tangkesan
menasehati dan mengawasi tugas para Pu’un
apabila mereka melakukan kesalahan. Pu’un hanya akan menerima teguran atau
nasehat dari Tangkesan
saja. Kewenangan lain adalah berhak mengawinkan warga Baduy berdasarkan adat
dan ajaran Sunda Wiwitan.
Kepala Pemuda
adalah pemimpin pemuda kampung,
dipilih oleh hasil musyawarah dan mufakat warga kampung.
Di setiap kampung terdapat satu orang kepala pemuda, yang bertugas memimpin dan
mengerahkan seluruh kegiatan pemuda di kampung: gotong royong
pembuatan jembatan, kegiatan keagamaan serta kegiatan kebersamaan lain.
Kepala Kampung adalah
pemimpin kampung, dipilih oleh hasil musyawarah dan
mufakat warga kampung.
Di setiap kampung terdapat satu orang kepala kampung. Tugas utamanya memimpin
dan mengerahkan seluruh warganya dalam setiap kegiatan-kegiatan gotong royong
pembuatan jembatan, jalan, rumah dan atau dalam kegiatan-kegiatan keagamaan. Lamanya jabatan kepala kampung tidak
ditentukan kecuali ia mengundurkan diri atau meninggal dunia.
Palawari merupakan sebutan bagi penduduk yang
membantu dalam penyelenggaraan kegitan-kegiatan seremonial, atau kegiatan
gotong royong atau kegatan insidentil lain yang
dilakukan di sekitar kampung.
Palawari mirip seperti kepanitiaan yang
sifatnya sementara. Misalnya dalam kegiatan peremajaan jembatan, atau “Nyieun Cukangan” yang
dilakukan tiap satu hingga dua tahun sekali, dibutuhkan kelompok panitia. Ada kelompok
yang bertugas mengikat bambu tiang gantung di atas pohon, pembuat tali,
pengirim bambu, pemotong bambu, pengikat bagian pijakan jembatan sampai dengan
yang memasak nasi untuk
yang bekerja. Jadi,
tidak ada pembagian tugas berdasarkan perintah dari seorang pimpinan atau
kepala kampung, namun lebih menekankan kesadaran masing-masing untuk
bekerjasama sesuai kemampuan dan tugas masing-masing.Mereka yang menyadari dan menjalankan tugas sesuai
kemampuan pribadi itulah yang disebut dengan Palawari. (UTEN SUTENDY)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar