Kejujuran adalah segalanya. Begitulah prinsip hidup Orang Baduy
seperti diuraikan Jaro Daenah dan Jaro Nalim. Kejujuran menyampaikan kebenaran
secara apa adanya, tanpa ditutupi, ditambahkan, dilebihkan atau dikurangi.
Mereka selalu mengatakan sesuatu apa adanya seperti mereka melihat, memikirkan,
dan merasakan sesuai kenyataan, tanpa berusaha melebih-lebihkan atau mengurangi.
Seringkali sikap ini disalahartikan sebagai sikap yang lugu, polos, atau bahkan
bodoh.
Mereka tidak pernah meminta apapun saat mengunjungi teman atau bertamu
ke rumah teman dan kerabat di luar lingkungan Baduy, walau mereka tempuh dengan
berjalan kaki menyusuri jalan ratusan kilometer selama beberapa hari, kecuali
meminta segelas air. Dan jika mereka menerima bayaran dari para tamu pengunjung
yang datang ke lingkungan Baduy, mereka juga tidak meminta bayaran yang lebih
atas jasa yang diberikan. Menjadi penunjuk jalan (guide), tukang panggul dalam perjalanan ke hutan belantara Baduy. Mereka
selalu setia melayani, mendampingi, menemani tamu, menjaga dan memelihara tiap
barang yang dititipkan, selama masih dibutuhkan. Tetapi jangan sekali-kali dibohongi,
dicurangi, atau mengakali, mereka akan melawan, karena hal itu melanggar nilai-nilai
dan kode etik kejujuran yang dijunjung tinggi serta dianggap sebagai harga mati.
Kejujuran adalah pijakan dasar moralitas dan komitmen sosial Orang Baduy sebagai
makhluk Tuhan.
Sekali mereka berbuat bohong, berarti sudah keluar dari komitmen
moral dan nilai-nilai luhur yang mereka anut
dari masa ke masa. Kejujuran itu menjadi ruh dan semangat kerja keras yang
diperlihatkan dalam perilaku kehidupan sehari-hari. Dalam aturan adat, hutan
tidak boleh dirusak, sungai tidak boleh dikotori, dan hati manusia tidak boleh
disakiti. Berkat kejujuran dan kesetiaan pada hukum adat, lingkungan hutan di
Baduy terlindungi dan terpelihara dengan baik. Air sungai yang mengalir sangat
jernih, hubungan antar manusia terpelihara dengan baik (tidak ada konflik yang
dipicu oleh rasa saling iri, dengki, dan cemburu). Semua aktivitas kehidupan
diatur dengan semangat kejujuran menerima dan menyatu dengan alam secara apa
adanya.
Kejujuran juga mereka bawa saat bepergian ke luar kampung, merantau
ke kota. Dalam aturan adat, Orang Baduy Dalam tidak boleh menaiki kendaraan
bila sedang berkunjung ke kota, harus berjalan kaki, sejauh manapun perjalanan
yang ditempuh: mengembara ke kota-kota besar, Jakarta, Bogor, Bandung, dan
lain-lain, dengan jalan kaki, walau harus menempuh ribuan kilometer di tengah
hujan deras dan dalam terik panas sinar matahari. Kalau menaiki kendaraan
sebetulnya bisa saja, dan tidak ada yang menyampaikan atau mengadukan hal itu kepada
tetua adat di Baduy Dalam. Tetapi, hal itu tidak mereka lakukan. Kalau pun mereka melakukannya
berarti sudah melanggar kejujuran hati nurani. Tiap Orang Baduy yang melanggar
kejujuran dianggap bukan lagi Orang Baduy yang setia, karenanya harus menerima
sangsi moral dan sosial. Mereka yang melanggar aturan (naik kendaraan, merusak
hutan, dll) harus keluar dan dikeluarkan dari komunitas Baduy Dalam.
Itu sebabnya segala perbuatan dan perkataan Orang Baduy selalu
mencerminkan kejujuran yang sejati. Pilihan kata dan kalimat yang mereka pilih
jika sedang bercakap-cakap selalu berada di jalur tengah, menunjukkan bahwa apa
yang mereka katakan sebagai sesuatu
yang “tidak selalu benar dan tidak juga selalu salah.” Untuk hal-hal yang belum
pasti benar diketahui, mereka selalu memilih kata dan kalimat yang “berada di
tengah-tengah” tidak selalu benar dan tidak juga selalu salah, tidak “ya” dan
tidak juga “tidak”.
Bila Orang Baduy ditanya “apak kabar, atau sehat Pak?” Mereka akan selalu menjawab: “baik yang baik mah,
atau sehat yang sehat mah” (yang baik ya baik, yang sehat ya sehat). Demikian
juga bila mereka ditanya tentang sesuatu yang sesungguhnya sangat mudah dijawab
dengan kata “ya” atau “tidak”. Orang Baduy tidak mengatakan “ya” dan “tidak”, tetapi
selalu berada diantara keduanya. Saat ditanya, “Pak itu buah durian manis gak?”
mereka akan menjawab “manis yang manis mah” (manis kalau yang manis).
Suatu kali ada seseorang sedang memancing di Sungai Ciujung dan
berharap mendapat ikan, karena airnya bagus dan tidak banyak orang mencari ikan
di tempat tersebut. Tetapi sudah beberapa jam tak satu ekor ikan pun yang menarik
kail. Orang itu bertanya kepada Orang Baduy yang sedang lewat di seberang
sungai “Pak ada ikannya gak di sungai ini?” dengan sepontan dan rada cuek, Orang
Baduy itu menjawab sambil berjalan tanpa menengok sedikit pun pada orang itu: “duka atuh, abdi mah di darat, lauk mah di
cai ”(tidak tahu, saya kan di darat, sementara ikan di dalam air). Saking
kesal, orang itu menggulung tali pancing dan langsung berhenti memancing.
Selain berada di “jalur tengah” yang membuat cara berbicara orang
baduy terlihat berbeda dan menarik ialah dialek bahasa yang mereka sampaikan juga berbeda
dengan umumnya cara bicara orang Sunda. Misalnya dalam penyebutan kata ulah yang artinya jangan. Kata itu mereka
ucapkan dengan intonasi ull….lah.
Jika ada dua kata dalam satu kalimat, misalnya, kamari iyeu (kemarin ini), maka yang mendapat tekanan ialah kalimat terakhir, yakni
diungkapan seperti ini: kamari iyyy…yeu. Dan
bila terdapat tiga kata atau lebih dalam satu kalimat, maka yang mendapat
tekanan adalah kata yang ada di tengah dan akhir kalimat. Misalnya kamari mah can puguh, maka diungkapkan
seperti kamari mmmah can pug….guh..
dan seterusnya. Dalam percakapan sehari-hari, mereka seakan-akan sedang
mengobrol sambil berjalan kaki naik-turun bukit, sehingga bahasa mereka turun
naik dan tertekan seperti terengah-engah.
Ungkapan kalimat dan kata di atas merupakan refleksi dari sikap
mental-budaya dan gaya bahasa Sunda Buhun yang dipergunakan orang Baduy
sehari-hari yang nyaris berbeda dengan bahasa sunda umumnya yang ada di
Provinsi Banten dan Jawa Barat. Sunda Buhun merupakan bahasa sunda kuno yang
termasuk ke dalam rumpun bahasa sunda paling kasar dan paling tua di Indonesia.
Bahasa Sunda Buhun yang masih asli terdapat dalam jampe-jampe yang
mereka bacakan pada saat-saat tertentu. Bahasa tersebut nyaris tidak dimengerti
oleh kebanyakan orang sunda pada umumnya. Bahasa Sunda Buhun dalam jampe-jampe
jauh lebih rumit dimengerti dibandingkan dengan bahasa Sunda Buhun yang mereka
pergunakan sehari-hari. Namun demikian, bahasa Sunda Buhun yang dipakai
sehari-hari pun masih agak sulit dimengerti untuk orang-orang luar Banten pada
umumnya.(UTEN SUTENDY)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar