Mata pencaharian pokok Orang Baduy adalah bercocok tanam. Jangan membayangkan mereka
bisa menanam pohon dengan cara yang biasa dilakukan oleh orang luar, menggunakan
berbagai macam teknologi untuk mendapatkan hasil panen yang melimpah melebihi
kapasitas lahan dan kebutuhan. Tidak demikian dengan yang dilakukan oleh Orang Baduy.
Mereka menanam padi tanpa menggunakan teknologi mesin dan obat-obatan untuk
mempercepat pertumbuhan tanaman, kecuali melakukannya secara alamiah, mengikuti
eko-sistem alam yang berlaku untuk memperoleh hasil panen yang melimpah tetapi kesuburan
lahan tetap terjaga sepanjang masa.
Orang Baduy tidak menggunakan teknologi modern, bahkan alat paling
sederhana saja yang bisa digunakan petani paling tradisional sekalipun di
masyarakat luar seperti cangkul, tidak boleh digunakan. Apalagi menggunakan
alat pembajak tanah dengan tenaga kerbau, sapi atau kuda yang biasa dilakukan
orang luar. Alat yang mereka pakai hanya bedog
(golok), arit, kored, (cangkul
kecil), etem (sejenis ani-ani), dan
pisau, serta alat-alat lain dari kayu dan bambu yang tersedia di alam. Alat-alat
pertanian tersebut biasa dipakai untuk menebang pohon dan membersihkan semak
belukar saat membuka lahan, atau membersihkan rerumputan yang tumbuh di sekitar
huma.
Berdasarkan aturan adat, Orang Baduy tidak diperkenankan menggunakan
peralatan pertanian modern yang bermesin. Bukan karena ketidakmampuan mereka
untuk membeli, namun didasarkan pada pertimbangan adat dan pelestarian alam
sekitar, serta mempertimbangkan pada pemeliharaan kesuburan unsur hara tanah
dan bentuk perlakuan manusia secara baik terhadap mahluk hidup lain yang ada di
dalam tanah, atau di permukaan tanah. Karenanya, mereka juga melarang
menggunakan pupuk buatan yang dianggapnya akan bisa merusak unsur hara tanah
dan kesehatan manusia.
Selain menanam padi, orang Baduy banyak menanam buah-buahan yang
dapat dijual di pasar: buah durian, pete, pisang, dukuh, kokosan, pisitan,
mangga, asem kuranji, dan lain-lain yang mereka jual ke pasar-pasar di kota-kota
Provinsi Banten atau di luar Banten, Jakarta, Bogor, Bandung, dan lain-lain.
Filosofi orang Baduy dalam bercocok tanam cukup sederhana, boleh
mengambil apa saja yang tersedia di alam untuk diolah, ditanam dan dimakan,
tetapi tidak boleh sampai merusak lingkungan. Alam yang tersedia dibiarkan
seperti apa adanya, jangan sampai diubah, apalagi dirusak saat bercocok tanam.
Maka, di wilayah pertanian Baduy tidak ditemukan hamparan petakan sawah, atau
pembatas (pematang) yang membedakan ini lahan pertanian padi dan itu lahan
pertanian non padi. Yang ada adalah lahan hutan yang ditumbuhi oleh aneka macam
tanaman. Hamparan tanaman padi tumbuh subur becampur dengan pohon–pohon lain,
pohon duren, pohon petai, dan pohon besar lain yang biasa diambil kayunya.
Kenapa demikian, karena mereka tidak mengenal konsep pertanian model
sawah, sebuah model yang dianggap menyalahi konsep pelestarian lingkungan.
Sistem sawah mengharuskan ada pembuatan pematang, pembagian air, dan keharusan
ketersediaan sumber air. Harus ada lahan yang dirusak dan ada sungai yang
airnya dialihkan, dialirkan ke tempat lain. Itu berarti ada pengurangan kapasitas
air sungai, selain harus ada pembagian air secara adil diantara sesama mereka untuk
mengairi areal sawah.
Keharusan ada pembagian air bagi Orang Baduy mengandung resiko dan
rentan terhadap gangguan keseimbangan hubungan manusia dengan alam dan manusia
antar manusia. Bila harus ada pembagian air untuk areal sawah, itu harus
dilakukan seadil-adilnya. Siapa yang bisa menjamin bahwa hal itu bisa dilakukan
secara adil dan benar?. Karena itu, buat mereka konsep pertanian sawah selain
berpotensi merusak alam, juga sangat rentan bisa mengganggu keharmonisan
hubungan antar manusia. Tidak ada yang bisa menjamin air dapat dibagi secara
adil, dan bila ketidakadilan itu terjadi, maka konflik antar manusia yang
diakibatkan oleh air bakal terjadi. Itu sebabnya, mereka tidak menghendaki ada sistem
pertanian model sawah. Dengan alasan yang hampir sama, Orang Baduy juga
melarang pembuatan kolam (empang) untuk ternak ikan.
Bagaimana dengan ternak hewan?. Orang Baduy tidak memelihara ternak
hewan selain ayam. Dalam kehidupan mereka dikenal kalimat begini : Urang Baduy mah paeh jeung hayam, hirup
jeung hayam (orang Baduy hidup dengan ayam dan mati dengan ayam). Tiap
upacara kelahiran, cukuran, kawinan, sunatan, sampai upacara kematian,
senantiasa menyembelih ayam. Ayam dianggap sebagai titipan Tuhan yang harus
dipelihara dan diperlakukan dengan sebaik-baiknya dan tidak boleh disiksa atau
ditelantarkan bila tidak ingin mendapat hukuman dan kutukan Tuhan (Bandingkan
dengan cara orang kota memperlakukan hewan unggas ayam saat memberantas dan
mengantisipasi wabah flu burung. Ayam dalam keadaan hidup-hidup dibakar). Tiap
keluarga di Baduy memelihara ayam untuk memenuhi kewajiban sekaligus untuk
memenuhi kebutuhan protein dari daging ayam.
Ternak kambing, kerbau, sapi, dan lain-lain yang biasa dipelihara orang
luar, tidak diperkenankan, dilarang. Ajaran agama mereka melarang beternak
seluruh hewan yang berkaki empat, kambing, kerbau, sapi, menjangan, dan lain-lain.
Alasannya hampir sama dengan larangan pada sistem sawah dan pembuatan empang.
Hewan ternak seperti sapi, kerbau, dan kambing adalah makhluk yang perlu
dikasihani dan diberikan makan setiap saat. Jika hewan-hewan tersebut dikurung
dalam tempat tertentu (diberi kandang), selain sebuah penyiksaan terhadap
hewan, juga beresiko menambah pekerjaan baru bagi orang Baduy. Mereka harus
mencari bahan makanan ternak, rumput dan dedaunan lain sebagai bahan pakan
ternak. Padahal waktu dan tenaga mereka terbatas untuk mengarap lahan huma dan
kebun untuk memenuhi kebutuhan hidup anggota keluarga sehari-hari dan menjaga alam
dari kerusakan.
Kalau begitu, hewan-hewan tersebut kenapa tidak dilepas saja seperti
yang banyak dilakukan oleh orang luar. Melepas hewan secara bebas juga beresiko,
akan menjadi hama yang akan merusak pohon dan tanaman orang lain sehingga akan
megganggu keharmonisan hubungan antar manusia. Dalam kalimat sederhana mereka:
jika hewan-hewan peliharaan itu dilepas bisa menimbulkan fitnah yang berujung
pada kemungkinan konflik antar manusia. Oleh karena itu, mereka tidak memperkenankan
memelihara hewan ternak yang berpotensi merusak tanaman dan keharmonisan
hubungan manusia, kecuali hewan anjing sebagai teman dan penjaga, serta ayam
dan bebek.
Bandingkan dengan kebanyakan orang luar yang selalu ingin mengambil
lebih dari apa yang sudah disediakan oleh alam. Manusia tidak pernah mengenal kata
berhenti untuk mengeksploitasi sumber daya alam demi memenuhi keperluan
sehari-hari melebihi dari yang dibutuhkan. Karena itu, kerusakan hutan, gunung,
sungai dan laut tak terelakkan. Sementara Orang Baduy hanya mengambil yang
diperlukan untuk hidup mereka, karena alam harus tetap utuh untuk menyediakan
sumber daya hayati dan nabati yang diperlukan oleh manusia dari generasi ke
generasi. Sebuah visi hidup yang jauh ke depan. Siapakah diantara kita yang
terbelakang dan berjalan mundur (UTEN SUTENDY)?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar