Umumnya orang luar menilai Orang Baduy sebagai kelompok masyarakat
yang tidak mengenal sekolah, sengaja menghindar mengikuti pendidikan formal di
sekolah. Ada banyak upaya masyarakat luar untuk “mencerdaskan” masyarakat Baduy
dengan mengikutsertakan mereka dalam berbagai program kegiatan pendidikan
formal. Namun, sejauh ini tak pernah ada yang benar-benar berhasil. Pertanyaannya
apakah betul Orang Baduy itu tidak sekolah, tidak belajar sehingga harus di”sekolah”kan?”
Orang Baduy memang dilarang mengikuti pendidikan formal seperti belajar
di sekolah yang disedikan pemerintah di luar Baduy. Tetapi terlalu gegabah bila
menyebut orang Baduy tidak belajar dan tidak berpendidikan. Mereka adalah
orang- orang yang rajin belajar secara mandiri tentang banyak hal dan langsung
mempraktekkan ilmu serta pengalaman yang dimiliki dalam kehidupan sehari-hari.
Mereka belajar secara tekun tentang ajaran Sunda Wiwitan, cara
bercocok tanam, cara memasak, cara memilih kayu, cara pengobatan tradisional,
cara menenun, cara menganyam, mengenal jenis pohon, cara bertani yang benar,
memelihara dan melindungi hutan, berkesenian, dan lain-lain. Mereka
sesungguhnya orang-orang “pintar” dan bijak yang terus belajar. Kepintaran dan
kebijakan mereka tentu berbeda dengan orang luar yang pernah mengecap
pendidikan formal di sekolah. Orang Baduy adalah orang–orang yang pintar
membaca tanda-tanda alam, fungsi alam, cara mengolah tanah, mengenal fungsi dan
manfaat tiap pohon, perilaku hewan, cerdas menjaga dan memafaatkan air, menjaga
hutan, memelihara sungai, dan lain-lain.
Berkat kecerdasan mereka dalam memahami perilaku dan gejala alam, lingkungan
hutan di Baduy dengan segala jenis satwa di dalamnya hingga kini terjaga
lestari, berfungsi sebagai paru-paru bumi dan penjaga keseimbangan eko-sistem.
Air sungai mengalir deras apa adanya, bening dengan aneka jenis ikan yang hidup
bebas, menjadi penyedia sumber hayati dan sumber protein yang tetap terjaga.
Orang Baduy tumbuh menjadi orang yang bijak, dapat memahami dan
menjaga perasaan orang lain. Kata-kata dan kalimat yang mereka pakai dalam
bahasa bercakap-cakap adalah kata–kata dan kalimat yang penuh kesantunan dan
tatakrama. Satu sama lain saling menghargai dan menjaga perasaan, pandai
menjaga, mengolah perasaan dan pikiran agar bisa bertindak bijak, adil, dan
sebisa mungkin terhindar dari kemungkinan menyinggung perasaan orang lain,
sehingga diantara mereka terhindar dari konflik, pertengkaran antar tetangga,
pertengkaran antar anggota keluarga, ribut antar kampung dan lain-lain.
Ketika mereka dibilang tidak bersekolah dan tidak berpendidikan,
sebetulnya mereka bisa marah. Setiap hari tanpa mengenal hari libur, anak-anak
mereka tetap “sekolah” di ladang dan di tengah hutan belantara. Dari mulai
pukul enam pagi, anak-anak Baduy berumur enam sampai 10 tahun mulai berangkat ke
“sekolah.” Membawa sebilah golok, berjalan kaki hingga puluhan kilo meter,
mendaki gunung, membuka huma, menanam pohon, mengambil air untuk memasak,
mengambil ranting kering untuk bahan bakar, dan lain-lain. Itulah bagian dari
cara dan bentuk men”sekolah”kan dan mendidik anak-anak Baduy.
Sekolah atau pendidikan bagi orang Baduy berarti mempelajari perilaku
dan gejala alam, mengetahui fungsi alam, manfaat dan jenis pohon, cara bercocok
tanam, memahami musim, dan jenis-jenis tanaman serta cara menanam yang tidak
merusak alam. Pendidikan tersebut diberikan sejak usia dini secara bertahap
kepada semua anak-anak Baduy, sehingga rata-rata dari mereka mampu melakukan
dan nyaris tidak ada yang tidak mampu bercocok tanam. Dalam memberikan
pendidikan, dipisahkan antara pendidikan untuk kaum laki-laki dan untuk kaum
perempuan, sesuai dengan kodrat dan kemampuan. Seperti pendidikan menenun hanya
diberikan kepada kaum perempuan. Sedangkan pendidikan menganyam diberikan
kepada kaum laki-laki. Dengan demikan, tidak ada kaum pria yang menenun atau
sebaliknya, tidak diperkenankan kaum perempuan untuk bisa menganyam.
Selain itu, orang Baduy juga rajin menggali ilmu pengetahuan yang
diperlukan. Mereka akan senantiasa bertanya kepada masyarakat luar yang
berkunjung atau dikunjunginya. Pengetahuan yang diperoleh lalu langsung
dimanfaatkan untuk kehidupan sehari-hari. Namun tak semua pengetahuan yang
diperoleh dapat diterapkan di kampungnya, terutama jika bertentangan dengan
adat dan ajaran yang dianut. Pengetahuan dan informasi yang diperoleh di luar,
biasanya dipilih dan disaring, mana yang sesuai dan mana yang tidak sesuai,
atau mana yang dibolehkan dan mana yang tidak dibolehkan. Dengan begitu,
anak-anak dan generasi muda Baduy dapat meneruskan tugas dan tanggung jawab orang
tua dan leluhur, menjaga keutuhan akan adat istiadat, yang terfokus pada upaya melestarikan
dan menjaga keseimbangan alam.
Sekolah sebagaimana dalam pengertian secara umum belajar membaca dan
menulis di ruang kelas sebagaimana orang luar, adalah sesuatu yang tidak perlu, bahkan dilarang
dan haram hukumnya. “Urang Baduy mah teu
menang sakola, kusabab mun sakola engkena jadi pintar, mun geus pintar osok
meminteureun batur, siga orang kota,” kata
Jaro Nalim (orang
Baduy tidak boleh sekolah, sebab kalau sekolah nantinya jadi pintar dan kalau
sudah pintar biasanya suka minterin orang lain).
Mengikuti sekolah seperti orang kota, menurut keyakinan Orang Baduy sebagaimana
diungkapkan Ayah Ijom (warga Kampung Gazeboh), bisa membuat mereka lupa terhadap
perannya sebagai manusia penjaga, pelindung dan pelestari lingkungan, serta penjaga
keseimbangan hubungan antara alam dan manusia. Belajar di bangku sekolah untuk belajar
membaca, menulis, dan lain-lain, akan menimbulkan dampak yang kurang baik bagi
orang Baduy sebagai penjaga dan pelestari keseimbangan hubungan manusia dan
alam serta hubungan
yang harmonis antara manusia dengan manusia lain.
Karena belajar di lembaga sekolah formal, menurut Ayah Ijom, akan
membuat orang-orang menjadi pintar segala macam. Kalau sudah pintar mereka
khawatir orang tersebut bisa melakukan berbagai cara untuk mempraktekkan
kepintaran demi keuntungan pribadi. Bisa menipu, membohongi, mensiasati, merekayasa,
membuat strategi demi meraih keuntungan, kemenangan, pribadi dan kelompok. Dan kalau
orang sudah terlalu pintar, menurut mereka, maka akan makin sulit mengendalikan
kepintaran. Orang bisa membuat berbagai macam hasil temuan ilmiah untuk
mengusai manusia lain dan mengusai alam. Segala yang ada di muka bumi, di dalam
perut bumi, di dalam dasar laut, dapat dikeruk, disedot, dieksploitasi oleh
orang-orang yang terlalu pintar, demi kepentingan kekuasaan dan kepuasan nafsu
manusia.
Akibatnya, alam menjadi kering, sungai dan laut menjadi kotor, hutan
jadi gundul, dan lain-lain. Orang yang pintar yang dilahirkan dari produk
sekolah formal dan modern dari waktu ke waktu makin sulit mengendalikan
kepintaran. Kalau sudah begini, kata Orang Baduy, maka kehancuran dan kemarahan
alam tinggal menunggu waktu.
Dilihat dari perspektif tersebut, siapa sesungguhnya yang lebih
pintar, cerdas dan bijak? Orang Baduy yang bertahan dengan prinsip tidak
sekolah dan orang-orang luar yang menganggap sekolah sebagai sarana modernitas,
sepertinya sedang berjalan ke sisi dua arah yang bertolak belakang. Orang Baduy
sedang berjalan di tempat untuk menjaga
alam dari kerusakan yang diakibatkan oleh ulah orang-orang pintar. Dan orang
luar dengan segala kepintaran dan kemampuan ilmu dan teknologi sedang berjalan
kencang mengejar keuntungan ekonomi, hampir tanpa kendali, berlomba menguasai
dan mengeksploitasi serta merusak alam. Mana yang lebih bijak dan pintar? (UTEN SUTENDY) **
Tidak ada komentar:
Posting Komentar