Minggu, 12 Januari 2014

MEMAHAMI BADUY (exotica nilai-nilai luhur orang Baduy)

Kehidupan Orang Baduy sering diceritakan banyak orang sebagai kelompok masyarakat miskin dan terbelakang. Mereka tinggal terpencil dibalik bukit yang sulit dijangkau oleh orang luar, tidak menggunakan listrik, radio, televisi dan barang-barang modern dari kota untuk keperluan sehari-hari, bahkan tidak boleh menaiki kendaraan saat bepergian jauh ke luar wilayah Baduy hingga ke kota-kota besar di Pulau jawa. Orang Baduy tidak bersekolah, bahkan sebagian dari mereka dianggap belum mengenal mata uang sebagai alat tukar yang berharga dan penting. Dan masih banyak cerita lain yang menggambarkan tentang profil kehidupan Orang Baduy yang berbeda dengan umumnya kehidupan masyarakat di luar Baduy.

Cerita kehidupan Orang Baduy selama ini ternyata menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat luar, : peneliti, mahasiswa, pelajar, wartawan, ilmuwan, dan masyarakat biasa dari berbagai daerah di tanah air, serta dari manca negara. Mereka datang mengunjungi Perkampungan Baduy dengan latarbelakang dan tujuan masing-masing. Ada yang melakukan penelitian, mencari bahan untuk menulis skripsi atau desertasi, karya tulis ilmiah, menulis buku, mengambil gambar untuk karya fotografi, ada juga yang semata-mata bertujuan ingin menikmati panorama hutan alam dan suasana kehidupan sosial keagamaan di Perkampungan Baduy yang harmonis. Mereka harus berjalan kaki menembus hutan, menaiki bukit, lembah dan gunung lewat jalan setapak yang licin dan terjal agar sampai ke pedalaman Desa Kanekes, Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, dimana komunitas Orang Baduy tinggal.

Seperti para pengunjung lain, saya banyak mengalami kesulitan saat menaiki dan menuruni lembah serta gunung, memasuki hutan belantara, menyeberangi banyak anak sungai, melewati jalan-jalan berliku, licin, becek dan terjal, masuk ke perkampungan-perkampungan Baduy untuk mengumpulkan bahan bagi penulisan buku ini. Sudah lebih dari enam kali dalam dua tahun terakhir perjalanan serupa saya tempuh, menuju ke tempat-tempat yang berbeda dan tinggal di sana selama beberapa hari. Berbaur bersama warga di Perkampungan Baduy Luar Cicakal Girang, Cipaler, Gazeboh, Batara, Kadu Ketug, serta di Baduy Dalam Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik. Selama tinggal, saya bergumul, menyatu, dan membiarkan diri hanyut dalam irama kehidupan Orang Baduy. Merasakan kegembiraan, kegetiran, suka duka hidup, dan memahami kehidupan mereka. Tidur di saung[1] di tengah-tengah huma[2] dalam gigitan udara dingin, ditemani suara jangkrik, kodok, dan lolongan anjing. Sesekali terdengar nyanyian calintu[3] di tengah kesunyian hutan, mirip suara biola yang digesek perlahan dan lembut.

Pagi hari menyaksikan dan merasakan sentuhan sinar matahari yang muncul perlahan di balik bukit, menyelinap dan sejenak hilang masuk ke sela-sela ranting-ranting pohon durian, terhalang dedaunan dan batang pohon aren, lalu muncul kembali menerangi alam dengan sinarnya yang masih berwarna kuning tembaga. Kehidupan pagi itu dimulai dengan siduru[4], menghangatkan tubuh yang menggigil kedinginan di depan tungku api, sambil memasak air. Menikmati kopi panas yang disajikan dalam cangkir terbuat dari batang bambu (Orang Baduy menyebutnya somong), sambil membakar pisang mentah di tengah bara tungku api. Sementara Orang Baduy, tua muda, laki-laki dan perempuan, mulai ke luar rumah, berjalan bergegas menuju ke huma, kebun, hutan, dan sungai. Ada yang memanggul potongan kayu berukuran besar, memikul keranjang berisi buah durian, pete, pinang, dan lain-lain, untuk dibawa ke Pasar Ciboleger dan Pasar Pasir Nangka atau pasar terdekat yang ada di luar Desa Kenekes. Saya ikut bergegas pergi menuju sungai, kemudian menceburkan diri dan merendamkan tubuh ke dalam air sungai yang bening. Badan yang sudah beberapa hari belum terkena air terasa segar tatkala air sungai yang mengalir deras nan dingin menerjang-nerjang tubuh yang terlentang bebas tanpa busana di balik batu batu besar diantara anak-anak muda Baduy yang tampak malu-malu ikut mandi bersama.

Saat matahari mulai naik melewati puncak bukit, saya ikut membaur dengan berbagai aktivitas Orang Baduy, untuk bisa merasakan getaran pikiran dan perasaan hati mereka, melihat dari dekat cara mereka bercocok tanam, menanak nasi, ikut masuk ke dalam hutan mencari kayu dan makan buah durian yang jatuh dari pohon di tengah hutan rimba, menyusuri jalan-jalan setapak untuk mengunjungi beberapa perkampungan. Sesekali mengajak beberapa anak muda Baduy pergi ke lokasi dekat hulu sungai Ciujung, memancing dan menjala ikan. Masak nasi liwet dengan beras huma asli Baduy yang wangi dan legit. Membuat tungku api di pinggir sungai di antara hamparan batu-batu besar. Makan bersama dengan alas sehelai daun pisang utuh di atas gundukan batu paling besar di bawah pohon yang akar-akarnya dibiarkan jatuh terurai menyentuh air sungai dan batu-batuan. Makan bareng Orang Baduy dengan nasi liwet dan pepes ikan tawes, udang, ikan paray, ditambah ikan asin peda merah yang dibakar, sambal hijau, dan petai muda yang baru dipetik, kenikmatannya sungguh tak ada yang menandingi. Kadang saya mengulangi hal serupa pada tengah malam. Menjala dan memancing ikan di tengah kegelapan malam Sungai Ciujung. Makan bersama-sama di dalam saung yang sunyi di balik bukit. Dalam suasana riang di tengah remang-remang lampu teplok dan sayup-sayup terdengar suara gesekan batang-batang pohon yang diterpa angin, serta gemericik air yang tiada henti, sebuah kenangan indah yang sulit dilupakan.

Saya mengunjungi rumah tokoh-tokoh masyarakat Baduy Luar dan Baduy Dalam. Berdiskusi hingga sampai jauh larut malam, diantaranya dengan Jaro[5] Nalim, wakil Puun dari Kampung Baduy Dalam Cikartawana. Berbincang-bincang selama berjam-jam dengan Kepala Desa Jaro Daenah di Kadu Ketug (Baduy Luar), serta tokoh masyarakat lain. Kami sering melakukan pembicaraan hangat dan mengasyikan dengan tokoh masyarakat Baduy di dalam saung di tengah huma sambil menemani mereka membuat atap rumah dari daun kiray. Sesekali waktu kami berdiskusi sambil menjaring ikan di Sungai Ciujung. Atau di teras rumah pada sore hari menjelang maghrib sambil menikmati secangkir kopi dan menghisap tembakau yang dilinting dengan daun kaung, daun dari pohon aren kering. Dalam diskusi ini saya harus lebih aktif dan banyak bicara agar mengetahui lebih dalam tentang seluk beluk kehidupan orang Baduy. Pada umumnya Orang Baduy tidak terlalu terbuka dalam hal berbicara. Mereka hanya mau berbicara sebatas menjawab yang ditanya.

Dalam setiap pembicaraan, banyak yang harus ditanyakan termasuk menyangkut hal-hal yang dianggap tabu bagi Orang Baduy. Soal kenapa tidak boleh sekolah, kenapa barang-barang produk modern seperti televisi dan radio tak diperkenankan masuk, mengapa mereka hanya diperbolehkan memakai baju warna putih dan biru tua saja, serta kenapa tidak diperkenankan memelihara binatang ternak yang berkaki empat seperti kambing, kerbau, domba, dan lain-lain. Dan kenapa pula tidak boleh menaiki kendaraan bila bepergian, dan masih banyak lagi pertanyaan lain. Saya juga menyerap berbagai informasi dan pengetahuan mengenai segala aspek kehidupan: agama, filsafat, seni, politik, sistem perdagangan, kebudayaan. Tentang bagaimana sikap para tokoh masyarakat itu terhadap perkembangan terkini dan hingar-bingar kehidupan modern, tentang berbagai konflik politik dan ekonomi yang terjadi di tengah-tengah kehidupan masyarakat di luar Baduy. Yang paling banyak menyita waktu tiap kali berdiskusi, adalah masalah keselamatan dan masa depan lingkungan hutan Baduy yang menjadi pusat perhatian sekaligus sumber kegelisahan Orang Baduy.

Di balik keluguan, kesederhanaan, dan “keterbelakangan”nya secara fisik yang nyata terlihat oleh msyarakat luar, sesungguhnya Orang Baduy adalah orang-orang yang hidup dengan konsistensi, menjalankan sistem sosial kemasyarakatan dan nilai-nilai adat serta keyakinan yang membuat hidup mereka tampak sehat, tenteram, damai dan sejahtera. Mereka tinggal dalam suasana perkampungan yang sangat asri, hijau, rindang, riyuh dan harmonis. Rumah-rumah dan leuit[6] milik mereka ditata rapih, tersembunyi di bawah dan di balik pohon-pohon besar nan rindang, seperti pohon bambu, pohon aren, pohon durian, pohon sukun, pohon buah limus, pohon kiara, kianggir, kokosan, areuy kawao, rotan, dan lain-lain yang sengaja dibiarkan tumbuh liar seperti apa adanya, mengelilingi wilayah perkampungan. Di sekeliling kampung ada banyak mata air, mengalirkan air jernih, yang sengaja ditampung dalam kolam-kolam kecil. Sebagian airnya disalurkan ke rumah warga melalui saluran yang terbuat dari sambungan batang-batang bambu. Saking bersih dan jernihnya, air itu bisa langsung diminum. Anak-anak sungai yang memisahkan antara satu kampung dengan kampung lain, tak pernah istirahat mengalirkan air yang jernih bagai kaca menerjang batu-batu besar yang terhampar di sepanjang sungai, mengeluarkan suara gemuruh dan gemericik air, sebuah harmoni kehidupan alam.

Seperti harmoni alam, Orang Baduy menjalani kehidupan sosial-ekonomi dengan harmonis, satu sama lain saling membantu, menghormati dan saling menolong. Menyatu bersama alam, melindungi dan menjaga alam, bersikap ramah pada siapapun yang datang, dan memiliki kekayaan hasil bumi berlimpah yang bisa menjamin masa depan anak cucu mereka untuk hidup damai sejahtera tanpa perlu khawatir akan kekurangan pangan. Pantaskah kemudian mereka disebut sebagai kelompok masyarakat “terbelakang“ dan “miskin” seperti yang dilontarkan oleh banyak orang luar yang merasa dan mengaku lebih modern?

Dari segi penampilan fisik orang Baduy memang sangat berbeda dengan mereka yang hidup di luar dan di kota. Jika kemodernan dan kemajuan suatu kelompok masyarakat hanya dilihat dari sisi penampilan fisik dan gaya hidup, boleh jadi Orang Baduy dikatakan “terbelakang” dan “miskin”. Orang luar jika bepergian jarak jauh naik kendaraan, sedangkan orang Baduy hanya berjalan dengan kaki telanjang. Orang luar mengenakan baju dari aneka bahan berkualitas dengan banyak motif dan berwarna-warni, sedangkan orang Baduy hanya memakai baju dari bahan kain belacu warna putih atau hitam. Kalau orang luar di kota-kota terbiasa menikmati makan enak di restoran dengan macam-macam jenis lauk-pauk yang mengandung gizi tinggi, orang Baduy terbiasa makan nasi putih dengan lauk-pauk seadanya, seperti ikan asin dan lalab. Jika orang luar di kota mempunyai rumah yang bagus, mewah, besar, dan megah, rumah orang Baduy hanya terbuat dari bambu dan kayu tanpa paku. Semua rumah orang Baduy mempunyai bentuk, ukuran dan bahan yang sama. Kalau orang luar di kota mempunyai uang banyak yang disimpan dalam bentuk tabungan uang tunai dan surat berharga, orang Baduy mempunyai leuyit, lumbung padi, tempat menyimpan gabah[7] hasil panen. Dengan leuyit ini gabah hasil panen mereka bisa bertahan hingga puluhan tahun, bahkan ratusan tahun.

Dengan perbandingan itu, apakah kemudian orang luar yang tinggal di kota dengan ciri-ciri fisik tadi bisa dianggap sebagai kelompok masyarakat yang sah menyandang gelar “manusia modern”? Apakah sesungguhnya yang menjadi ukuran seseorang bisa disebut modern atau tidak modern, penampilan fisikkah atau kualitas berfikir dan bersikap terhadap dunia dan masa depan?

Mengklaim atau menyudutkan sebuah komunitas masyarakat dari segi penampilan fisik terasa agak kurang bijaksana. Sementara dibalik penampilan fisik yang sederhana, apa adanya, dan jauh dari symbol-symbol yang disebut modern oleh masyarakat perkotaan, tersimpan nilai-nilai luhur yang patut dipelajari, berguna untuk keselamatan dan keutuhan masa depan umat manusia dan lingkungannya. Komunitas orang Baduy mungkin salah satu dari sedikit komunitas yang masih ada di dunia yang menyimpan dan memelihara dengan baik nilai-nilai dan kearifan lokal untuk menyelamatkan masa depan umat manusia dari ancaman kerapuhan hubungan sosial-ekonomi dan pribadi antar manusia serta kerusakan lingkungan akibat kerakusan dan kekuasaan. Beberapa catatan di bawah ini mungkin bisa menjadi bahan pemikiran dan referensi, bagaimana kita mensikapi kehidupan tradisional Baduy dan cara memandang masa depan dunia.

Ketika “orang modern” di seluruh dunia merasa panik dan cemas karena ancaman kelaparan dan kemiskinan yang melanda beberapa belahan dunia akibat kekeringan dan kebijakan sistem ekonomi yang salah, atau karena akibat krisis ekonomi global, orang Baduy bisa duduk dengan tenang, menghisap rokok kretek di sore hari sambil menikmati secangkir kopi hangat tanpa harus memikirkan besok harus makan apa. Mereka sudah memiliki konsep dan strategi ketahanan pangan yang memungkinkan anggota keluarga terhindar dari ancaman kemiskinan dan kelaparan. Rata-rata dari mereka yang sudah berkeluarga mememiliki simpanan padi (pangan) dalam leuyit. Simpanan padi hasil panen yang bisa menopang hidup mereka hingga beberapa tahun bahkan puluhan tahun ke depan.

Tatkala orang modern makin gelisah dan ketakutan dengan merebaknya aneka jenis penyakit ganas dan baru bermunculan mengancam tiap nyawa manusia modern, seperti flu burung, flu babi, tumor ganas, liver, gagal jantug, stroke, types, parkinson, dan lain-lain, Orang Baduy malah menikmati hidup sehat tanpa banyak mengenal penyakit ganas, kecuali penyakit kulit ringan. Mereka memiliki model pengobatan tradisional terhadap tiap penyakit yang datang, menyerahkan pada apa yang telah disediakan oleh alam, diantaranya dengan ramuan obat alami dari dedauan dan akar berbagai jenis tumbuhan berkhasiat, tanpa harus berurusan dengan banyak dokter dan birokrasi rumah sakit yang menawarkan aneka jenis obat dan sistem pengobatan dengan biaya sangat mahal. “Urang kami hirup sarehat karena hati jeung pikiran dijaga supaya sehat (orang kami hidup sehat karena menjaga hati dan pikiran agar tetap sehat)” kata Jaro Nalim, tokoh masyarakat Baduy Dalam Cikartawana.

Saat orang modern sibuk memikirkan keselamatan lingkungan dunia yang makin kritis, sering dilanda bencana banjir, gempa bumi, pemanasan global (global warming), gejala rumah kaca, ancaman tsunami, dan lain-lain akibat pencemaran udara oleh gas emisi, pencemaran air oleh aneka limbah industri, penggundulan hutan dan lain-lain yang semakin tak terkendali, Orang Baduy justru menjalani hidup damai, menyatu dengan alam. Seluruh nilai-nilai hidup, keyakinan, dan ajaran agama yang mendasari keseluruhan sikap hidup mereka dalam memandang dunia dan masa depan, semata-mata berorientasi pada upaya menjaga keseimbangan ekosistem, melestarikan dan melindungi alam dari kerusakan. Mereka memiliki keyakinan dan kepercayaan, bahwa keberadaan orang Baduy di dunia mempunyai tugas dan tanggung jawab mulia dan penting, yakni menjaga alam. Mereka tinggal di sebuah tempat yang disebut panjer bumi[8].

Tatkala orang modern terus mengupayakan perundingan antar negara, antara benua, untuk mencari solusi bagaimana membangun sistem perekonomian, bentuk tatanan dunia baru yang damai, menghindari berbagai konflik politik di belahan dunia, diantaranya melalui konsep perdagangan bebas dan demokratisasi (sistem ini hingga kini belum bisa menyelesaikan konflik bisnis dan politik di banyak negara dan kelompok masyarakat), orang Baduy justru sudah menjalankan bisnis dagang dan mengatur masyarakat tanpa konflik. Aturan dagang dan pemerintahan dibuat dalam sebuah sistem yang berorientasi pada upaya menjaga keseimbangan dan harmonisasi hubungan antar manusia. Misalnya, agar tidak terjadi persaingan kurang sehat, hanya ada satu warung yang boleh buka di dalam satu kampung. Kritik dan aspirasi warga disampaikan dalam sebuah mekanisme rapat adat dengan mengedepankan tatakrama serta kemuliaan akhlak dan moral.

Gambaran keberadaan komunitas Baduy di atas dengan kondisi lingkungan dan sistem nilai yang dianut, seperti sebuah potret masyarakat yang sudah given, sudah jadi, dimana mereka tak lagi memerlukan proses pencaharian tentang bentuk tatanan dunia baru yang ideal sebagaimana yang sedang terus dicari dan diupayakan oleh “manusia modern.” Dalam masayarakat Baduy keseimbangan hubungan antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan Tuhan, yang merupakan dasar dari semua ajaran agama di muka bumi, masih terjaga dan terpelihara dengan sangat konsisten.

Dengan realitas hidup dan kondisi lingkungan serta sistem nilai yang dianut, Baduy boleh jadi merupakan sebuah perwujudan “simpanan” atau “tabungan” Tuhan yang masih tersisa, atau sengaja disisakan Tuhan dari sekian banyak kekayaan dan ciptaan Tuhan yang lain (termasuk agama) di muka bumi yang kini sudah berubah dan mulai rusak dan rapuh. Tabungan itu sengaja dipertahankan sebagai modal dan bekal sekaligus cermin bagi perbaikan masa depan dunia.

Kehidupan di sana memang kelihatan seperti tidak bergerak, tak berubah. Jarum jam seolah-olah berputar lambat, bahkan seperti tidak berputar. Namun dengan “diam” nya, Orang Baduy, tanpa banyak disadari oleh orang modern, mereka sedang bekerja keras menjaga keutuhan alam dari kehancuran. Dan orang kota yang merasa modern dengan pergerakannya yang begitu cepat, didukung oleh temuan berbagai teknologi tingkat tinggi, yang memudahkan mereka bisa melakukan apa saja, termasuk menghasilkan banyak cerobong asap, memproduksi emisi lewat knalpot mobil, hingga mampu mengotori bulan dan planet mars, seolah-olah mau membangun masyarakat dan menyelamatkan bumi. Padahal tanpa menyadarinya, sesungguhnya mereka sedang berjalan cepat dan tergesa-gesa menuju proses kehancuran bumi.

Cara pandang orang luar yang mengaku manusia modern dalam melihat masa depan harus direinterpretasikan lagi. Gaya hidup dan sistem nilai yang selama ini dianggap sebagai konsep ideal bagi pembangunan tatanan dunia baru tampaknya perlu ditinjau ulang. Masih pantas dan patutkah kemudian cara pandang yang kita anut selama ini disebut sebagai cara pandang manusia modern. Dan sebaliknya menyudutkan cara pandang dan penampilan fisik orang Baduy sebagai cara hidup kelompok manusia terbelakang?

Lepas dari penafsiran dan pengertian tentang modernitas dan keterbelakangan, keberadaan komunitas Baduy yang tinggal di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, merupakan bagian dari asset dunia yang saat ini –seperti kebanyakan komunitas lokal lainnya di dunia--sedang menghadapi ancaman serius dari bahaya modernisasi dan kapitalisasi. Oleh karena itu, keberadaan Baduy dan lingkungannya patut dilindungi dan dilestarikan hingga kelak anak cucu masih mengenal bahwa di tengah-tengah arus perubahan modernisasi dan kapitalisasi, masih ada sekelompok orang yang sangat konsisten mempertahankan prinsip dan nilai-nilai adat serta ajaran agama, demi menjaga dan menyelamatkan masa depan manusia dan lingkungan dari kehancuran.

Tulisan-tulisan yang ada di dalam buku ini menampilkan sisi kehidupan masyarakat Baduy secara utuh. Mulai dari kondisi geografis, perilaku kehidupan sehari-hari, keyakinan, cara berpakaian, cara bertani, sistem sosial dan adat serta dasar-dasar nilai dan filosofi yang melatarbelakangi sikap hidup, cara pandang mereka tentang dunia dan masa depan. Dengan harapan buku ini bisa menjadi cermin bagi masyarakat untuk belajar lebih bijak melihat kehidupan orang Baduy, dan lebih kritis, bijak, serta santun memandang masa depan dunia. Semoga buku ini bisa menjadi referensi untuk penataan kembali konsep hidup manusia modern dan pembangunan tatanan lingkungan dunia baru. Penulis sepenuhnya menyerahkan kepada pembaca untuk memberikan interpretasi dan penilaian secara obyektif maupun subyektif atas apa yang diketahui dan dipahami tentang Orang Baduy. Selamat membaca. (UTEN SUTENDY)***



[1] Saung          : gubuk, terbuat dari bambu dan atap alang-alang di tengah-tengah sawah
[2] Huma          : lahan padi yang kering dan tidak ada pematangnya
[3] Calintu        : suara yang di hasilkan oleh gesekan pohon bambu yang tertiup angin
[4] Sinduru        : kegiatan menghangatkan tubuh di depan tungku sambil memasak, dilakukan dipagi hari
[5] Jaro : Gelar untuk kepala suku atau kepala adat Baduy yang duduk di lembaga pemerintahan Baduy
[6] Leunyit: lumbung padi
[7] Gabah : padi yang sudah dipanen
[8] Panjer Bumi : inti dari jagat raya

APA DAN SIAPA ORANG BADUY



Diantara Pintu Depan dan Belakang

  
Provinsi Banten adalah salah satu provinsi termuda di Indonesia, terletak di bagian Barat Pulau Jawa. Lahir pada tanggal 4 Oktober tahun 2000 sebagai Provinsi ke-30. Sebelumnya, Banten merupakan bagian dari wilayah Provinsi Jawa Barat. Secara topografi wilayah ini dibagi dua bagian besar antara wilayah dataran rendah dan daerah perbukitan. Dataran rendah terltak di sebelah barat, timur dan utara.  Di sebelah barat ada Kota Cilegon, sebelah timur Kota dan Kabupaten Tangerang, di sebelah utara merupakan daerah Kabupaten dan Kota Serang. Sedangkan di sebelah selatan merupakan wilayah perbukitan, mulai dari wilayah Gunung Honje di Kabupaten Pandeglang sampai dengan Gunung Halimun di Kabupaten Lebak.

Kabupaten Lebak adalah salah satu kabupaten di Provisi Banten yang wilayahnya paling luas kurang lebih 3.237,12 m2. Kabupaten ini kaya akan potensi sumber daya alam, khususnya barang tambang dan hasil pertanian. Wilayah ini dibatasi oleh Kabupaten Serang di sebelah utara, Kabupaten Pandeglang di sebelah barat, Samudera Indonesia di sebelah selatan dan berbatasan dengan Provinsi Jawa Barat di sebelah timur. Di daerah inilah tersimpan misteri kehidupan suku pedalaman, Suku Baduy (Orang Baduy). Sebuah komunitas masyarakat tradisional yang selalu menjadi daya tarik orang luar dan tak pernah berhenti menjadi bahan diskusi sebagian besar para ahli arkeologi, sejarawan, budayawan, mahasiswa, pelajar, dan wisatawan yang ingin tahu tentang kehidupan mereka yang sesungguhnya.

Komunitas Suku Baduy menetap di areal tanah warisan nenek moyang, terletak di Desa Kenekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak. Leuwidamar adalah salah satu dari 19 kecamatan yang ada di Kabupaten Lebak. Sedangkan Desa Kenekes adalah satu dari 295 desa dan 5 kelurahan di Kabupaten Lebak. Letak geografis desa ini berbatasan dengan Desa Parakan, Desa Kebon Cau, dan Desa Karang Nunggal, Kecamatan Bojong Manik di sebelah barat. Sedangkan di sebelah timur berbatasan dengan Desa Karang Combong dan Desa Cilebang. Sementara di sebelah Selatan dibatasi oleh wilayah Desa Cikadu Kecamatan Cijaku. Dan di sebelah utara berbatasan langsung dengan Desa Cisimeut, Desa Bojong Menteng dan Desa Nagayati, Kecamatan Leuwidamar.

Untuk sampai ke lokasi Perkampungan Orang Baduy dapat ditempuh dengan kendaraan roda empat selama kurang lebih empat-lima jam perjalanan dari Jakarta dengan jarak tempuh 173 km atau sekitar 37 km dari Kota Rangkasbitung. Dari Jakarta menuju Kota Rangkasbitung, ibu kota Kabupaten Lebak, dapat melalui dua jalur: jalur jalan bebas hambatan Jakarta-Merak keluar di pintu Tol Balaraja Timur langsung menuju ke Kecamatan Cikande, Kabupaten Serang. Dari sini bisa langsung ke Kota Rangkasbitung dengan jarak tempuh sekitar 30 km selama kurang lebih 1,5 jam. Atau, bisa juga melalui jalur bebas hambatan Jakarta-Merak kemudian keluar di pintu Tol Serang Timur, menuju ke arah Rangkasbitung melalui Kecamatan Petir, Kabupaten Serang, selama satu jam sepanjang 40 km. Perjalanan dilanjutkan ke arah Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak.

Banyak orang mengira kalau pintu masuk ke Perkampungan Orang Baduy seolah-olah hanya bisa melalui Kampung Ciboleger, Desa Bojong Menteng, Kecamatan Leuwidamar. Jalur ini memang menjadi pintu utama untuk masuk  ke Perkampungan Baduy, karenanya jalur ini paling padat dan ramai dilalui wisatawan yang ingin masuk ke Perkampungan Baduy. Padahal saat pengunjung datang dari arah Rangkasbitung sampai di sebuah pertigaan Kota Kecamatan Leuwidamar, ada dua jalur yang bisa ditempuh : melalui jalur Kampung Ciboleger atau jalur Desa Pasir Nangka dan Desa Nangerang. Sebagian orang menyebut jalur Ciboleger merupakan jalur pintu depan atau jalur wisata. Sedangkan jalur Pasir Nangka dan Desa Nangerang, sering disebut orang sebagai jalur pintu belakang, atau pintu dapur.

Melalui jalur Ciboleger ibarat memasuki rumah orang lewat halaman dan pintu depan. Sebagai pintu atau wajah depan Perkampungan Baduy, Ciboleger ditata sedemikian rupa untuk memenuhi kebutuhan para wisatawan yang hendak berkunjung ke perkampungan Baduy. Di sini ada pintu gerbang dengan tulisan “welcome to Baduy”. Terdapat terminal bus, tempat penitipan kendaraan, warung-warung yang menyediakan aneka makanan dan souvenir khas Baduy, serta guide dan tukang pikul dengan tarif yang sudah ditentukan. Begitu tiba di Terminal Ciboleger, pengunjung disambut oleh penduduk yang menawarkan aneka jasa untuk berkunjung mengelilingi perkampungan Baduy.

Batas antara Ciboleger dengan perkampungan adat Baduy ditandai dengan sebuah tugu yang terbuat dari tembok bata dengan lambang beberapa batang pohon bambu. Tugu ini berdiri tegak di ujung jalan, tepat di pintu gerbang masuk ke Perkampungan Orang Baduy yang paling depan atau yang terluar yaitu Kampung Kadu Ketug (Baduy Luar). Di antara dinding tugu dan pintu gerbang terdapat tulisan berisi peringatan dan pemberitahuan kepada para pengunjung tentang ketentuan-ketentuan adat Baduy yang harus dipatuhi oleh tiap pengunjung. Misalnya, dilarang membawa senapan, obat-obat terlarang, mandi menggunakan sabun di sungai, membuang sampah sembarangan, memotong, memetik, atau mengambil buah-buah dan pohon-pohon yang tumbuh, memotret orang dan lokasi Baduy Dalam, orang asing (warga negara dari negara lain) tidak diperkenankan masuk ke Baduy Dalam, dan lain-lain.

Begitu melangkah masuk melewati pintu dan tugu pembatas, pengunjung menyaksikan pemandangan Kampung Baduy Luar Kaduketug seperti sebuah pasar yang cukup sibuk. Para perempuan Baduy asyik membuat tenunan kain dengan alat tradisional di teras rumah masing-masing. Sementara emperan rumah-rumah adat Baduy yang berjejer rapih dimanfaatkan oleh pedagang, umumnya berasal dari luar Baduy, sebagai tempat berjualan berbagai barang khas kerajinan Baduy: selendang, pakaian, hasil tenunan, aneka souvenir hasil kerajinan dari kayu dan bambu khas Baduy, dan lain-lain. Para pedagang itu tak henti-henti menawarkan barang dagangan kepada tiap pengunjung yang datang.

Sekitar setengah jam berjalan kaki dari Kampung Kaduketug, menaiki bukit, pengunjung akan menjumpai sebuah perkampungan Baduy Luar yang lain, Kampung Gazeboh. Sebuah perkampungan di sebuah lembah yang subur dan rindang, persis berada di pinggir Sungai Ciujung. Jalur jalan di tengah kampung ini merupakan jalur utama yang menjadi tempat lalulalang para pengunjung dan orang Baduy yang keluar-masuk ke dan dari Ciboleger.

Gazeboh adalah sebuah kampung Baduy yang terbuka dan tampak lebih “modern” di bandingkan kampung-kampung Baduy luar lain. Anak-anak muda pria warga kampung sudah mengenal cara berpakaian orang kota. Mengenakan kalung dan gelang tangan dari bahan logam, baju dengan banyak motif, potongan rambut berjambul, dan cara bicara yang relatif lebih berani dan terbuka. Di sini tersedia warung, menyediakan barang-barang cukup beragam. Rumah-rumah warga tertata rapih yang sebagian besar menjadi  tempat transit, tempat menginap sementara, bagi para pengunjung yang datang dan akan melanjutkan perjalanan ke tempat-tempat lain di wilayah Baduy. Sedangkan para laki-laki dewasa sudah piawai melayani pengunjung, berperan sebagai guide. Mereka  umumnya memiliki jaringan “pasar” sendiri-sendiri.

Masuk melalui jalur Ciboleger dan transit di Kampung Gazeboh sangat ideal untuk menjadi pilihan. Dari sini perjalanan bisa dilanjutkan ke perkampungan lain dengan relatif lebih mudah. Jalur jalan menuju ke perkampungan-perkampungan Baduy tertata dengan baik dan ruas jalan cukup lebar, walau agak jauh dan tetap saja harus menaiki banyak bukit serta menuruni lembah curam, melintasi  jalan-jalan terjal bebatuan dan sangat licin bila hujan turun. Harus menyeberangi beberapa anak sungai dan menaiki sebuah jalan tanjakan tembayang, jalan setapak dengan kemiringan hampir 90 derajat sepanjang kurang lebih 500 meter. Inilah sebuah tanjakan yang paling ditakuti oleh pengunjung dari luar yang datang. Tetapi tidak usah khawatir, selama dalam perjalanan menuju Baduy Dalam, pengunjung disuguhi pemandangan alam yang menakjubkan. Hutan masih asri dan perawan, sungai-sungai yang airnya amat jernih dengan batu-batu besar berserakan, pancuran air dan mata air ada di setiap sudut kampung, serta hamparan huma tanaman padi darat menghiasi bukit dan gunung-gunung.

Ada tiga perkampungan Baduy Dalam yang sering menjadi obsesi bagi tiap pengunjung yang datang ke Baduy, Cibeo, Cikeusik, dan Cikartawana. Para pengunjung merasa seperti belum sah dan belum merasa puas bila belum berhasil mengunjungi perkampungan Baduy Dalam. Tetapi kenyataannya sedikit yang bisa berhasil sampai ke tiga wilayah Perkampungan Baduy Dalam, kecuali  ke Cibeo yang relatif mudah dijangkau. Menuju ke Kampung Cibeo dapat ditempuh dengan jalan kaki selama kurang lebih tiga jam (menurut ukuran jalan kaki orang luar) dari Kampung Gazeboh. Cibeo lebih terbuka untuk umum (kecuali untuk orang asing), karena itu menjadi kampung Baduy Dalam yang paling ramai dan sering dikunjungi para wisatawan. Penduduk asli Cibeo sudah terbiasa menerima tamu dari berbagai suku dan daerah. Mereka menyediakan rumahnya untuk tempat istirahat para tamu, atau menawarkan jasa guide selain dapat memberikan informasi secara lebih terbuka kepada para pendatang tentang segala hal menyangkut  kehidupan orang Baduy.

Berbeda dengan jalur Ciboleger atau Gazeboh, melalui jalur Desa Pasir Nangka dan Desa Nangerang atau jalur “pintu belakang,” pengunjung bisa mencapai Perkampungan Baduy Dalam dengan relatif mudah. Ibarat masuk ke rumah orang melalui pintu belakang, bisa langsung masuk dan melihat “dapur” nya Baduy, yakni Kampung Baduy Dalam Cikartawana, Cibeo dan Cikeusik. Menuju ke lokasi tersebut tidak serepot dan sejauh lewat jalur pintu depan. Dari Desa Pasir Nangka perjalanan dapat dilanjutkan ke Baduy Dalam melalui jalan dua arah. Pertama, melewati Kampung Cicakal Girang (Kampung Suku Baduy Islam) yang bisa dilalui dengan berjalan kaki selama kurang lebih dua jam, atau menaiki kendaraan roda dua (motor ojeg) sepanjang lima kilometer selama 30 menit melewati ruas jalan cukup lebar tetapi penuh dengan tanjakan dan bebatuan yang belum bisa dilalui oleh kendaraan roda empat. Dari Kampung Cicakal Girang, pengunjung langsung masuk ke Perkampugan Baduy Dalam Cikartawana, melewati beberapa Kampung Baduy Luar, diantaranya Kampung Cipaler, selama kurang lebih dua jam berjalan kaki, menyusuri jalan setapak, menaiki beberapa gunung, dan lembah sebelum sampai ke Cikartawana dan Cikeusik.

Jalur kedua melalui Desa Nangerang. Dari Desa Pasir Nangka ke Desa Nangerang, ditempuh menggunakan kendaraan roda empat atau roda dua sampai batas kampung Nangerang. Kendaraan bisa dititipkan dan diparkir di depan halaman rumah penduduk. Lalu perjalanan dilanjutkan dengan jalan kaki, melalui jalur setapak menembus bukit-bukit kecil, menyeberangi sungai, menerobos semak belukar untuk bisa langsung menuju ke Perkampungan Wilayah Baduy Dalam Cikartawana, tanpa melewati Perkampungan Baduy Luar. Lama perjalanan kurang lebih dua jam.

Seluruh wilayah perkampungan Baduy berada di kawasan hutan lindung, dikelilingi hutan-hutan lebat, gunung dan bukit, dilintasi oleh beberapa anak sungai. Untuk mencapai perkampungan Baduy Dalam sebenarnya tidak ada jalur atau jalan yang tetap, apalagi jalur tetap untuk kendaraan jenis apapun. Jalur jalan yang biasa dilalui oleh Orang Baduy relatif banyak dan dari waktu ke waktu bisa berganti. Ada jalur yang pendek dengan melewati hutan dan menaiki bukit terjal, atau menyeberangi arus deras air sungai, dan ada jalur yang tidak melalui bukit terjal atau menyeberangi sungai deras, jalannya datar, tidak melalui hutan, namun jaraknya lebih jauh. Jika pengunjung salah memilih jalan, bisa-bisa terjebak masuk ke dalam hutan, atau menemui jalan yang berbukit tinggi dan terjal, berliku-liku. Tetapi, orang Baduy selalu punya banyak jalan alternatif, untuk menghindari jalan-jalan terjal dan berbukit tinggi, melingkar-lingkar hingga terlalu jauh. Karena itu, diperlukan guide (penunjuk jalan) bagi mereka yang pertama kali berkunjung ke Baduy.  (UTEN SUTENDY)***

AIR MENGALIR SAMPAI JAUH


Desa Kenekes dipimpin oleh seorang kepala desa yang biasa disebut Jaro Pemerintahan, bernama Jaro Daenah (Ayah Daenah). Sebagai seorang kepala desa, Jaro Daenah sangat dihormati dan disegani oleh warga desa. Laki-laki asli Baduy yang tinggal di Kampung Kaduketug (Baduy Luar) ini memiliki postur tubuh tinggi besar, kekar dan tampak gagah dengan kumis tebal menempel di atas bibir. “Mangga calik,” (silahkan duduk),” katanya kepada penulis saat jumpa di rumahnya yang tampak lebih rapih, bersih dan besar dari umumnya rumah orang Baduy di Kampung Kaduketug. Siang itu, Jaro dengan fasih memberikan penjelasan tentang kondisi lingkungan desa dan kehidupan orang Baduy, sambil duduk bersila di teras rumah, ditemani dua gelas kopi hangat.  

Desa Kenekes dengan luas 5.100,36 ha, adalah sebuah wilayah pegunungan dan perbukitan dengan kondisi hutan yang masih asri. Dialiri oleh puluhan anak sungai, airnya jernih dan tak pernah kering sepanjang tahun. Desa ini penuh dengan pesona keindahan hutan yang masih perawan serta kaya dengan aneka jenis flora-fauna. Di sekitar pegunungan dan perbukitan Hutan Lindung Desa Kenekes terdapat sekurangnya 200 spesies tumbuhan. Sebagian diantaranya hanya ada di Baduy dan tidak ditemukan di daerah atau di hutan-hutan di wilayah Indonesia atau belahan dunia lain. Pohon-pohon dibiarkan tumbuh berkembang secara alami sejak puluhan hingga ratusan tahun silam. Pengunjung bisa melihat pohon durian yang batangnya berdiameter lebih dari dua-tiga meter dengan tinggi batang menjulang ke langit lebih dari 30-40 meter dan masih tetap menghasilkan buah durian berkualitas. Diantara jenis pohon yang dibiarkan tumbuh bebas di wilayah Baduy ialah pohon bayur atau cayur (Pterosperum javanicum), burahol atau turalak (Stechocarpus burahol hook), caringin atau beringin (Ficus benyamin lnn), kiara (Ficus indika), kilanggir atau kianggir (Otopora spectabilis), kokosan atau pisitan (Lansium domesticum), jeunjing (Albizzia fakata backer), rotan (Korthalisia laciosa), tubaleluer atau aruey kawao        (Milletia servicea), kedoya (Dysoxylum caulostachym miq), bambu apus (Gigantochloa apus kurz), bambu betung (Dendrocalamus asper), bamboo hitam atau awi hideung, dan lain-lain.

“Orang Baduy menjaga hutan, sungai, flora dan fauna seperti mereka menjaga diri dan keluarga,” kata Jaro Daenah. Siapa saja yang datang ke wilayah Baduy harus ikut menjaga kelestarian alam lingkungan. Tidak boleh menebang pohon sembarangan, membuang sampah sembarangan agar tidak menganggu kehidupan flora fauna. Masyarakat di Baduy Luar, seperti halnya di kampung Kadu Ketug, Cipaler, Gazeboh, dan termasuk di Kampung Baduy Dalam Cibeo, sudah terbiasa untuk tidak membuang sampah sembarangan. Seorang pedagang atau pendatang yang kedapatan membuang sampah sembaranagn akan mendapat teguran. Tiap-tiap rumah menyediakan tempat pembuangan sampah berupa karung plastik yang disimpan di samping teras rumah.

Menurut Jaro Daenah, ada ajaran yang tidak tertulis tetapi secara turun menurun menjadi pijakan dan pegangan kuat orang Baduy dalam menjaga dan melestarikan hutan dengan segala isinya agar tetap bersih, utuh, dan lestari seperti apa adanya. Ajaran tersebut hingga kini dipegang teguh masyarakat dari semua lapisan dan usia: gunung teu menang dilebur, lebak teu menang dirusak. Pondok teu meunang disambung, panjang teu meunang dipotong. Nu lain di lain keun, nu enya dienyakeun (gunung tidak boleh dilebur, lembah tidak boleh dirusak. Yang pendek tidak boleh disambung dan yang panjng tidak boleh dipotong. Yang lain di lain kan, yang iya diiyakan). Dengan ajaran itu orang Baduy berkeyakinan, menjaga dan melestarikan hutan dengan segala isinya merupakan ritual sehari-hari dalam mengekspresikan kehidupan spritualnya.

Seluruh komunitas Orang Baduy tinggal di lembah dan lereng bukit dan pegunungan yang diapit oleh Hutan Larangan dan Hutan Titipan. Hutan larangan berada di wilayah Gunung Kendeng (masuk dalam Kawasan Taman Nasional Halimun yang terletak diantara daerah Kabupaten Lebak, Provinsi Banten dan Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat). Daerah ini dikenal oleh masyarakat Banten dan orang Baduy pada umumnya sebagai Punggung Bumi (Sanghyang Pundak). Hutan Larangan adalah hutan yang sangat luas, ditumbuhi oleh berbagai tumbuhan tanpa campur tangan manusia, namun hidup dan berkembang secara alami. Di dalam hutan hidup secara alami berbagai jenis hewan. Manusia tidak diperkenankan untuk mengambil sebagian atau seluruh hasil dari hutan kecuali mengambil madu dan tanaman obat secukupnya. Ciri dari hutan larangan yang paling mudah dikenal ialah tidak adanya jalan untuk dilalui. Di dalamnya terdapat keanekaragaman tumbuhan yang usianya relatif tua, besar, dan tinggi dengan diameter batang pohon mencapai dua sampai tiga meter.

Sedangkan Hutan Titipan ialah hutan di luar hutan larangan yang berdasarkan keyakinan masyarakat adat Baduy hutan tersebut telah dititipkan oleh nenek moyang mereka secara turun temurun untuk tetap dijaga keutuhan dan kelestariannya, karena sangat menentukan bagi  stabilitas eko-sistem. Hutan titipan tumbuh dan berkembang secara alamiah. Larangan-larangan masyarakat pada hutan titipan diantaranya adalah tidak diperkenankan siapapun yang masuk ke dalam hutan membawa atau mengambil tumbuhan maupun hewan, serta potensi sumber daya alam yang ada di dalamnya, lebih-lebih mengeksploitasi untuk alasan apapun.

Di kawasan hutan titipan dimana komunitas Orang Baduy tinggal, terdapat berbagai jenis fauna yang hidup bebas. Setidaknya ada 90 jenis burung yang hidup berkembang di hutan-hutan Baduy : burung elang, gagak, jalak, kacer, cangkurileung, bincarung, dan lain-lain. Dan tidak kurang dari 10 jenis binatang melata, diantaranya jenis ular berbisa : ular cobra, ular tanah, dan lain-lain. Hutan titipan  di kawasan hutan lindung Baduy merupakan tempat yang ideal bagi berkembang biaknya hewan-hewan jenis monyet, jenis kucing (kucing hutan dan macan tutul).

Selain diapit oleh hutan titipan dan hutan larangan, perkampungan Baduy juga diapit oleh dua sungai besar: Sungai Ciujung dan Sungai Cisimeut. Kedua sungai mempunyai banyak anak sungai yang melintasi perkampungan dan hutan-hutan. Antar satu kampung dengan kampung lain umumnya dipisah oleh anak sungai dari kedua sungai besar tersebut. Airnya terus mengalir jernih tidak pernah mengering. Sungai-sungai besar maupun kecil menjadi pembatas yang membedakan wilayah Perkampungan Baduy Luar dan Baduy Dalam. Antara Kampung Baduy Luar dan Baduy Dalam dihubungkan oleh jembatan yang terbuat dari bambu yang diikat oleh tali dari kulit kayu diantara pohon-pohon besar yang tumbuh di seberang sebelah kiri dan kanan sungai tanpa menggunakan paku. Jembatan banyak dibangun dengan segala ukuran, menghubungkan antara kampung satu dengan kampung lain. Di Desa Barata, Kampung Baduy Luar, misalnya, terdapat jembatan akar, sebuah jembatan yang terbuat secara alami dari akar-akar pohon yang tumbuh di seberang sebelah kiri dan kanan sungai selama puluhan bahkan ratusan tahun. Akar–akar itu disambungkan dengan cara saling menyeberangi sungai dan saling melilit, memperkuat ikatan hingga membentuk sebuah jembatan penyeberangan yang kuat dan unik..

Aneka ragam fauna yang hidup di sungai-sungai Baduy hingga kini terjaga dan terpelihara dengan baik berkat banyak larangan dan pantangan untuk menjaga kelestarian air sungai dan biota yang hidup di dalamnya. Tidak boleh mandi di sungai dengan sabun mandi (Baduy Dalam), membuang sampah sembarangan terutama dari bahan plastik, atau menangkap ikan dengan cara disetrum menggunakan kekuatan aliran listrik. Di Baduy Dalam, orang boleh mengambil ikan dengan cara memancing, menjala, dan lain-lain, asal sudah mendapat ijin dari jaro (ketua kampung). Sekurangnya terdapat 20 jenis ikan yang hidup di sungai Baduy: udang, ikan lele, tawes, keuting, lundu, caung, belut, mujair, dan lain-lain.


Orang Baduy tidak menggantungkan hidup dengan air seperti mencari ikan dan beternak ikan. Sungai-sungai yang ada dibiarkan apa adanya, tanpa ada bendungan atau pengalihan aliran air sungai untuk peternakan ikan. Mereka lebih menyukai hidup dan bergantung pada sumber makanan dari darat, menanam padi dan tumbuh- tumbuhan lain yang bisa berbuah. Dalam pandangan mereka, memanfaatkan sungai untuk keperluan memenuhi kebutuhan makanan sehari-hari sama halnya dengan merusak kelestarian alam. Dari sungailah dimulai semua kehidupan di darat, karena itu sungai tidak boleh dikotori, biarkan airnya mengalir sampai jauh seperti apa adanya.(UTEN SUTENDY) **



Sabtu, 11 Januari 2014

TITISAN NABI ADAM

Darimana sesungguhnya asal Orang Baduy, dan apa arti kata “baduy”? Dari beberapa literatur yang ada
menjelaskan, istilah atau kata “baduy” diasumsikan dengan “badwi” dalam bahasa Arab. Ada juga yang 
bilang berasal dari bahasa Sunda, dari sebutan “Cibaduy” (sebuah aliran sungai di Desa Kenekes) atau 
berasal dari nama sebuah Gunung Baduy. Menurut Ayah Artim, tokoh masyarakat Baduy Luar 
(Kokolotan), kata “baduy” merupakan sebutan yang sudah ada sejak lama untuk menyebut warga 
pedalaman di Desa Kenekes yang memeluk ajaran Sunda Wiwitan.

Sedangkan asal usul orang Baduy hingga kini masih dalam perdebatan sehingga menimbulkan banyak versi yang berbeda satu dengan yang lain. Tetapi, menurut sesepuh Baduy Dalam, diantaranya Jaro Nalim (Wakil Puun Kampung Cikartawana) dan para kokolotan di Baduy Luar, orang Baduy bukanlah pelarian dari wilayah kekuasaan Kerajaan Padjadjaran dan bukan pula keturunan dari Prabu Siliwangi sebagaimana selama ini ditafsirkan oleh banyak orang luar. Menurut Jaro Nalim,  orang Baduy adalah keturunan dari Nabi Adam (Batara Tunggal), yakni manusia pertama di muka bumi. Atas kepercayaan ini mereka mempertahankan ajaran dan adat istiadat untuk senantiasa bertanggungjawab menjaga keutuhan dan kelestarian alam sebagai ciptaan Tuhan yang telah memberikan kemakmuran bagi umat manusia di muka bumi. Ajaran yang mereka anut itu disebut Sunda Wiwitan. Orang Baduy meyakini ajaran Sunda Wiwitan  sudah ada lebih dulu dibandingkan dengan ajaran Hindu, Budha dan Islam yang tersebar di wilayah Banten dan Indonesia.

Sunda Wiwitan merupakan salah satu kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa atau mereka menyebutnya dengan Gusti Allah. Ajaran ini menekankan kepada tanggung jawab manusia terhadap pemeliharaan dan pelestarian alam dan lingkungan. Dalam kepercayaan orang Baduy, Sunda Wiwitan adalah ajaran yang dibawa oleh Nabi Adam sebagai manusia pertama yang diturunkan ke muka bumi untuk menikmati segala isinya dan menjaga serta memelihara dengan baik, dengan tidak merusak bagian bumi dan segala isinya. Sebagai umat Nabi Adam mereka berkeyakinan, orang Baduy adalah komunitas yang  paling tua di dunia, sehingga umat nabi-nabi lain, seperti umat Muhammad adalah saudara muda yang harus mereka nasehati dan hargai.

Dalam ajaran Sunda Wiwitan tidak mengenal perintah untuk sembahyang seperti layaknya dalam ajaran agama-agama lain. Ajaran ini tidak termasuk dalam kitab manapun, bahkan Sunda Wiwitan sendiri tidak memiliki kitab suci seperti Al-qur’an, Injil, Taurat, dan lain-lain. Ajaran-ajarannya dituturkan dan diajarkan secara turun temurun kepada generasi berikut dari masa ke masa.

Dalam prakteknya, ajaran ini bersatu dengan adat istiadat yang diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga nyaris tidak dapat dibedakan, mana ajaran Sunda Wiwitan dan mana yang merupakan kebiasaan atau adat istiadat. Ajaran ini menerangkan adanya malaikat dan para nabi, serta disebutkan pula ada tiga alam yang akan dilalui oleh setiap manusia: terdiri dari Buana Panca Tengah atau alam dunia, Buana Nyuncung atau alam kubur dan Buana Larang atau alam akherat, serta percaya kepada alam baka yang abadi yang mereka sebut dengan Panjang Tujung Sampurna. Mereka juga meyakini adanya surga dan neraka.
                                                            ****

Sunda Wiwitan merupakan ajaran yang ditinggalkan oleh nenek moyang sejak ratusan tahun silam yang terus dipelihara hingga saat ini. Kepercayaan ini diturunkan oleh Nabi Adam sebagai orang pertama yang diciptakan oleh Tuhan Gusti Allah untuk mengurus bumi dan segala isinya. Berdasarkan keyakinan itu, orang Baduy adalah umat Nabi Adam yang masih setia menjalankan ajaran dan kepercayaan yang diturunkan Gusti Allah kepada Adam.

Mereka mengakui adanya nabi Muhammad sebagai nabi terakhir yang diturunkan oleh Tuhan dan mengakui umat Nabi Muhammad adalah saudara muda mereka. Sesuai dengan ajaran yang dianut oleh nenek moyang sejak dulu, maka tugas mereka adalah mengurus alam agar tetap lestari.
             
Berbeda dengan ajaran agama dan kepercayaan lain di Indonesia, Sunda Wiwitan tidak memiliki kitab suci. Ajarannya sejak dulu disampaikan melalui cara bertutur pitutur yang dilakukan secara turun temurun. Keberadaan ajaran ini sudah ada jauh sebelum manusia mengenal tulisan, agama, rumpun bahasa yang terstruktur serta berada pada masa kebudayaan purba. Ini terlihat dari adat istiadat dan kebiasaan mereka sehari-hari yang mengisyaratkan adanya nilai-nilai kehidupan manusia pada masa purba yang sudah memiliki norma-norma luhur sebagai makhluk sosial yang terorganisir dan saling memerlukan diantara satu dengan yang lain, baik di dalam maupun di luar komunitas Baduy.

Begitu pula halnya dengan bahasa yang mereka pergunakan, Sunda Buhun, adalah bahasa Sunda paling kasar diantara bahasa Sunda lain. Bahasa Sunda Buhun tidak berstruktur yang menunjukkan keberadaan mereka lebih tua, serta kebudayaan mereka jauh berbeda dengan kebudayaan pada masa Hindu dan Budha atau Islam. Oleh karena itu, pendapat yang mengatakan bahwa Baduy adalah keturunan atau berasal dari Padjadjaran yang melarikan diri ketika diserbu oleh kerajaan Islam, adalah informasi yang sulit dibenarkan, karena mereka sudah ada jauh sebelum agama Hindu, Budha dan Islam ada di muka bumi. Mereka adalah pengikut Nabi Adam yang kini masih tersisa di muka bumi dan konsisten menjalankan ajaran Nabi Adam sebagai nenek moyang. Namun para pakar dan peneliti belum mengetahui secara pasti kapan dan di mana pertama kali mereka berada.

Sunda Wiwitan tidak mengenal perintah untuk mensyiarkan ajaran kepada orang lain selain untuk Orang Baduy sendiri, hanya diperuntukkan bagi mereka dan tidak untuk orang lain atau tidak di daerah lain, hanya untuk di daerah Baduy sendiri. Orang Baduy senantiasa mengindahkan ajaran tersebut dengan mendengar dan mengikuti amanat dan nasihat dari karuhun atau nenek moyang atau juga petuah-petuah yang disampaikan oleh Bares Kolot yang dianggap mengetahui segala ikhwal tentang ajaran Sunda Wiwitan.

Menyebarkan ajaran Sunda Wiwitan kepada orang lain di luar Baduy adalah hal yang ditabukan atau dilarang oleh adat dan kepercayaan. Ajaran Sunda Wiwitan hanya dapat dilaksanakan dan berlaku di tanah Baduy saja, tidak di daerah luar Baduy. Alasannya rasional, mereka yang menganut ajaran Sunda Wiwitan, khususnya bagi masyarakat di luar Baduy adalah suatu hal yang sangat sulit, karena harus pindah dan tinggal di tanah Baduy, segala hidup dan berpakaian serta pekerjaan yang dilakukan harus diubah mengikuti adat istiadat serta ajaran yang sesuai dengan ajaran Sunda Wiwitan.

Ajaraan Sunda Wiwitan ditanamkan sejak bayi hingga dewasa dan tua renta. Untuk menjaga keutuhan ajaran, bagi warga yang hendak mengarungi kehidupan dan kebiasaan yang berbeda dengan di lingkungan Baduy, mereka diperkenankan pindah ke luar dari perkampungan dan dianggap sebagai bukan orang Baduy lagi, tapi sudah termasuk masyarakat luar Baduy. Itulah bentuk hukuman atau sanksi bagi mereka yang melanggar, harus dikenakan hukuman dan sanksi yang setimpal menurut hukum adat dan ajaran. Bentuk hukuman yang berlaku diantaranya hukuman pengasingan dan dikeluarkan dari wilayah Baduy. Tindakan itu diperlukan agar syiar ajaran Sunda Wiwitan tetap abadi di tanah adat dalam kelompok kehidupan orang Baduy.

Syiar ini dilakukan oleh dan kepada sesama mereka dari zaman ke zaman dengan cara bertutur dan tanpa kitab suci sehingga keyakinan mereka tetap rahasia dan tidak dapat disimpangsiurkan oleh siapapun, kecuali ingatan dan hati serta pikiran mereka sendiri. Dengan demikian syiar ajaran Sunda Wiwitan tetap murni dan abadi menjadi pedoman hidup adat Baduy.(UTEN SUTENDY)


YANG LUAR MENJAGA YANG DALAM

Di Cikartawana kami bertemu dengan Jaro Nalim, seorang wakil Puun Kampung Baduy Dalam Cikartawana. Laki-laki berumur sekitar 50 tahun itu tampak sehat bugar, dan gagah. Kulit wajahnya putih bersih kemerahan dengan bibir merah oleh warna getah pinang yang biasa ia makan dicampur dengan daun sirih. Rambutnya panjang disanggul seperti yang dilakukan seorang perempuan. Pria ini memiliki tubuh yang sehat, tegap, padat berisi, dan kekar dengan dada bidang yang selalu dibiarkan terbuka. “Kumaha Abah sehat? (bagaimana Abah sehat)” saya menyapa lebih dahulu saat bertemu di sebuah saung miliknya di tengah huma yang jauh dari kampung. Setelah memperhatikan siapa saja yang datang, pria itu menjawab sapaan ku dengan suara kalem, tenang, menggunakan logat bahasa sunda khas Baduy. “ Seeeehat nu sehaaat mah (sehat yang sehat mah),” jawabnya singkat sambil merapihkan baju warna putih khas Baduy Dalam yang ia kenakan. Kami hanyut dalam obrolan panjang dan serius, membicarakan soal penduduk dan kehidupan Orang Baduy Luar dan Baduy Dalam.

Jaro menjelaskan, dari total jumlah penduduk Baduy yang berjumlah 11 ribu jiwa, komunitas Baduy dibagi ke dalam dua bagian: masyarakat Baduy Dalam dan Masyarakat Baduy Luar. Masyarakat Baduy Dalam tinggal terpisah dengan Baduy Luar. Mengambil posisi sentral, berada di tengah-tengah Desa Kenekes. Total Masyarakat Baduy Dalam 1.050 jiwa, dibagi ke dalam tiga kelompok kampung, Kampung Cibeo (507 jiwa), Kampung Cikeusik (388 jiwa) dan Kampung Cikartawana (158 jiwa).

Meskipun Baduy Dalam dan Baduy Luar dipisahkan oleh sedikit cara mereka hidup, tetapi dalam keyakinan dan adat, menurut Jaro Nalim, tetap masyarakat Baduy Dalam lah sebagai sumber keyakinan, kepercayaan dan adat bagi seluruh masyarakat Baduy. Seorang Puun (orang yang dituakan dan yang dipercaya sebagai pemimpin) hanya ada di Baduy Dalam (Cibeo, Cikeusik dan Cikartawana). Ketiga Puun menjadi tempat bertanya, berlindung dan penentu keputusan adat, sekaligus sebagai guru spiritual yang dihormati dan disegani bagi seluruh warga Baduy Dalam maupun Baduy Luar.

Ketiga Pu’un mempunyai fungsi dan peran yang berbeda-beda. Menurut Jaro Nalim, Puun Kampung Cikeusik mempunyai tugas dan fungsi sebagai penanggung jawab dalam hal spiritual keagamaan. Karena itu, Kampung Cikeusik tidak terbuka untuk umum dan letaknya agak jauh, berada di sebuah lokasi yang sulit dijangkau oleh pengunjung dari luar. Sedangkan Puun dari Kampung Cibeo bertugas sebagai penanggungjawab dalam hal memelihara dan menjaga serta melaksanakan pelayanan  untuk warga. Itu sebabnya Kampung Cibeo mudah dijangkau oleh pengunjung yang datang dari luar. Adapun Puun dari Kampung Cikartawana bertanggung jawab dalam hal perlindungan kawasan hutan Baduy. Baduy Dalam adalah masyarakat Baduy asli yang masih menjaga keutuhan nilai-nilai kebudayaan secara sungguh-sungguh. Penampilan dan tata cara mereka hidup agak berbeda dengan masyarakat Baduy Luar.
Posisi Kampung Baduy Luar menyebar dan melingkari keberadaan tiga Kampung Baduy Dalam. Kampung Baduy Luar terbagi ke dalam 52 kampung. Diantaranya Kampung Kaduketug Tonggoh, Babakan Cipondok, Kaduketug Landeu, Kadujangkung, Cihulu, Karahkal, Cigula, Kaduketer, Ciwaringin, Sorkokod, Gerendeng, dan lain-lain. Satu kampung lain yang dihuni oleh orang luar Baduy ialah Kampung Cicakal Girang.

Jumlah kampung di Baduy Dalam tidak mengalami perubahan dari masa ke masa, sedangkan jumlah Kampung Baduy Luar mengalami penambahan seiring dengan pertambahan penduduk di sekitar Desa Kenekes. Kampung-Kampung Baduy Luar mempunyai tugas menjaga dan melindungi keberadaan kampung Baduy Dalam. Ini dimaksudkan agar keutuhan nilai-nilai ke-Baduy-an tetap utuh dan lestari hingga akhir zaman. Orang Baduy meyakini, para orang tua di Baduy Dalam adalah “orang suci” yang sedang bertapa, menjaga pancer bumi dan secara intensif melakukan komunikasi bathin dengan Tuhan dan alam. Banyak orang dari luar yang datang ke Baduy Dalam untuk menyampaikan permintaan atau belajar ilmu kebathinan, karena menganggap Orang Baduy Dalam sebagai orang suci, bersih. Kesucian dan kebersihan jiwa mereka dianggap bisa langsung berhubungan dengan Tuhan dan bisa merasakan getaran alam, serta mampu membaca tanda-tanda zaman.

Karena lokasi Baduy Dalam ada di tengah-tengah, untuk sampai ke sana, harus melewati Perkampungan Baduy Luar yang berfungsi semacam saringan atau penjaga bagi orang luar yang hendak masuk ke Baduy Dalam. Karena itu, ada kelompok-kelompok orang yang tidak diperkenankan masuk ke dalam perkampungan Baduy Dalam, cukup sampai perkampungan Baduy Luar bila ingin mengetahui atau mengenal tentang Baduy.(UTEN SUTENDY)***

DI ANTARA RUMAH DAN SAUNG


Setelah melewati jalan setapak penuh liku, becek dan licin, menyeberangi banyak anak sungai dan menerobos semak-semak belukar, akhirnya saya sampai juga di Cikartawana, salah satu kampung di Baduy Dalam. Beberapa rumah di kampung ini tertata baik, berkumpul dalam satu lokasi  di bawah lembah. Di kelilingi oleh banyak pohon durian, aneka jenis pohon bambu, pohon turalak, dan banyak jenis pohon lain yang menambah suasana rimbun, asri dan alami. Tidak jauh dari rumah penduduk terdapat anak sungai Ciujung, airnya mengalir deras dan jernih. Di sebalah kiri-kanan sungai tumbuh pohon kiara yang akarnya dibiarkan merambat pepohonan lain, pohon kilanggir dan banyak jenis tumbuhan lain yang dibiarkan berkembang liar di pinggiran sungai.

Suasana kampung Cikartawana siang hari tampak sepi. Tak ada tanda-tanda kehidupan. Rumah-rumah yang semuanya dibangun dari bahan kayu, bambu, atap kiray dan tanpa paku itu seperti tak berpenghuni, sepi sunyi. Kecuali ada satu dua orang anak kecil berpakaian khas Baduy sedang bermain di belakang rumah. Mereka langsung lari bersembunyi ke balik dapur saat melihat kami datang. “Upami siang orang Baduy Dalam biasanya jarang cicing di imah, tapi cicing di saung (kalau siang, orang Baduy biasanya jarang diam di rumah, tapi di saung),” kata Samani, salah seorang warga Kampung Cipaler (Baduy Luar) yang menjadi petunjuk jalan. Tak banyak yang bisa dilakukan, kecuali duduk-duduk istirahat. Walaupun pemandangan alam cukup bagus untuk dijadikan obyek pemotretan, tidak ada yang berani melakukannya, karena hal itu bagian dari yang dilarang.

Sambil merebahkan tubuh yang kelelahan di sebuah bale rumah kosong yang ditinggal oleh penghuni, Samani, laki-laki berusia setengah baya yang juga cukup paham tentang adat istiadat Baduy Dalam, menuturkan, orang Baduy dewasa, laki-laki maupun perempuan, pada siang sampai petang hari jarang berada di rumah. Biasanya mereka bekerja keras di tengah huma, kebun, hutan atau di saung (sebagian orang Baduy menyebutnya rumah kedua), tempat tinggal selama menjaga dan menunggu padi dan kala tanaman padi mereka tumbuh, kecuali saat musim panen tiba. Mereka pulang ke rumah.

Selama tinggal di saung, keluarga Baduy saling bahu membahu bekerja. Suami dan isteri sama-sama turun ke ladang, membersihkan lahan, menanam padi, dan menjaga tanaman dari gangguan hama. Tugas pokok si isteri menjaga saung, mengasuh anak dan memasak nasi. Sedang, suami bekerja di ladang dan hutan yang sekali-kali dibantu sang isteri dan anak. Mereka bisa tinggal di saung selama berhari-hari, satu minggu bahkan bisa satu bulan sambil sesekali pulang menengok rumah mereka di kampung.

Semua Orang Baduy yang berkeluarga rata-rata memiliki saung, atau rumah kedua. Berbeda dengan rumah mereka yang dibangun di sebuah perkampungan, saung  dibangun di tengah-tengah ladang dan lokasinya berjauhan dari perkampungan. Seperti umumnya rumah mereka, bangunan saung terbuat dari bahan kayu dan bambu. Ukuran dan bentuknya hampir sama dengan rumah yang mereka tempati. Perabotan dan perlengkapan yang ada di saung biasanya jauh lebih banyak dan komplit daripada yang ada di rumah. Ada ruang tamu, kamar, ruang keluarga dan tungku api di dapur. Di depan saung bara apinya hampir tak pernah padam sepanjang hari dan malam. Tungku api berfungsi sebagai bahan penerang di malam hari karena tidak ada listrik dan lampu, sekaligus sebagai penghangat tubuh di malam hari (udara di hutan Baduy cukup dingin).

Ciri khas lain dari lingkungan saung ialah selalu ada seekor anjing sebagai teman keluarga. Rata-rata orang Baduy memelihara seekor anjing di saung selain memelihara ayam. Anjing berfungsi menjaga anak-isteri ketika suami pergi ke hutan atau huma yang jaraknya agak berjauhan. Anjing bisa memberi tahu sang majikan bila ada seseorang yang datang, atau ada hal yang dianggap menganggu keamanan.

Sewaktu-waktu saung bisa dipindahkan ke tempat lain sesuai dengan lokasi huma yang sedang digarap. Jika lokasi huma mereka harus pindah ke tempat lain yang lebih jauh, saung pun harus dibongkar atau dipindahkan dengan segala isinya. Lokasi huma dan saung yang sebelumnya mereka tempati sesuai aturan adat akan ditempati oleh orang lain, atau dibiarkan agar menjadi hutan kembali. Rentang waktu kepindahan saung tidak menentu. Kadang bisa satu tahun, dua tahun, bisa juga sampai lima atau tujuh tahun. “Tergantung kekayaan bathin jeung adat anu ngatur” (tergantung suasana batin dan adat yang mengatur), kata Jarsih, anggota masyarakat Baduy Dalam Cikartawana yang ikut bersama menemani sepanjang perjalanan. Kenapa Orang Baduy tidak mengenal sistem kepemilikan lahan secara permanen. Semua ladang dan huma adalah milik bersama yang sistem penggarapan dibagi berdasarkan kesepakatan dan aturan adat. Jadi, tak ada yang memiliki lahan pribadi, kecuali lokasi lahan berada di luar hutan lindung Baduy.

Jika musim panen padi tiba dan gabah hasil panen sudah disimpan di dalam leuit-leuit, sehingga tak ada lagi yang harus dijaga dan dikerjakan di tengah huma, mereka pun pulang ke rumah, ke kampung masing-masing. Satu warga dengan yang lain bisa berkumpul, saling bercengkrama. Sang isteri menenun kain di rumah, atau menumbuk padi dalam sebuah lesung sambil bersenda gurau dengan sesama perempuan se-kampung. Sedang suami, biasanya pergi mengembara ke daerah-daerah dan kota di luar perkampungan Baduy, bersilaturahmi dengan teman-teman dan kenalan sambil menambah pengetahuan dan wawasan baru, serta mencari penghasilan tambahan. Mereka pergi ke kota dan ke berbagi tempat lain di luar sambil berjualan madu, barang-barang souvenir khas Baduy dan hasil bumi.

Imah atau rumah dan kampung halaman buat orang Baduy semacam tempat singgah dan istirahat kala mereka lelah dan kecapaian bekerja keras di ladang. Rumah menjadi sangat penting, tempat pertemuan antara suami-isteri dan sanak keluarga, tempat berlindung bagi anak-anak. Rumah-rumah di perkampungan Baduy ditata sedemikian rupa tertib, satu rumah dengan rumah lain berjejer rapat dan rapih saling berhadapan, dipisahkan oleh jalan gang, tempat lalu-lalang orang yang melintasi kampung.

Di tengah-tengah kampung ada pekarangan luas, tempat bermain anak-anak, atau tempat warga melaksanakan aktivitas bersama: pergelaran acara pesta, upacara adat, dan lain-lain. Di seberang ujung lapangan terbuka, berdiri rumah seorang kepala adat (Puun) dan rumah seorang Jaro, keduanya berendengan pada tempat yang sama, menghadap alun-alun (lapangan terbuka). Sedang di seberang lapangan berdiri bangunan yang bentuknya agak berbeda dengan rumah warga, bangunan ini tanpa beranda depan. Itulah yang disebut dengan gedung atau ruang pertemuan, tempat dimana para sesepuh kampung dan sesepuh adat bermusyawarah memecahkan berbagai persoalan.

Di samping perkampungan, dekat pintu masuk ke perkampungan, terdapat lokasi untuk kumpulan leuit. Sedang di sebelah sudut kampung terdapat bangunan terbuka, di dalamnya ada lesung panjang tempat untuk menumbuk padi yang disebut dengan saung lisung. Di tiap kampung hanya ada satu buah saung lisung, sebuah gubuk lebar dua meter dan panjangnya empat sampai enam meter, mempunyai empat atau enam tiang tanpa dinding dan bagian atasnya ditutup atap. Di dalamnya terdapt satu buah lisung panjang berukuran sekitar tiga sampai lima meter yang digunakan khusus untuk menumbuk padi. Selain itu, ada beberapa hulu atau alu, terbuat dari kayu bulat panjang yang digunakan sebagai penumbuk padi.

Bentuk dan ukuran rumah dari warga biasa, rumah seorang jaro, rumah seorang puun maupun rumah seorang yang kaya, bentuk dan ukurannya tetap sama. Yang membedakan antara rumah milik warga biasa dengan rumah milik puun atau jaro (wakil puun) ialah lokasi dan bentuk kepundan rumah. Lokasi rumah seorang puun dan jaro terletak di tengah-tengah barisan rumah yang langsung menghadap lapangan terbuka. Dan di atas kepundan rumah ada bentuk lingkaran atau menyerupai gambar tertentu, sebuah symbol ketokohan atau kehormatan sang pemilik rumah.

Semua rumah Baduy berbentuk panggung, terbuat dari bahan bambu, kayu, bilik bambu, atap rumbia, tanpa menggunakan paku dan pondasi seperti layaknya rumah orang luar. Pondasi rumah dari kayu besar hanya ditancapkan ke dalam tanah atau diletakkan begitu saja. Konstruksi untuk menghubungkan antara kayu-kayu dan bambu-bambu sebagai bahan rancang bangunan rumah, diperkuat oleh ikatan tali dari bahan rotan atau dari kulit kayu serta kulit bambu.

Pola konstruksi seperti itu, walau terkesan sederhana, sangat efektif  untuk menahan goncangan tanah akibat gempa bumi. Selama bertahun-tahun kekuatan dan kelenturan konstruksi rumah adat Baduy sudah teruji, tahan bahkan anti gempa. Warga Baduy memahami benar kalau lokasi yang mereka tinggali sekarang memiliki potensi gempa. Seluruh wilayah perkampungan Baduy merupakan daerah pegunungan yang berpotensi gempa. Berbagai getaran gempa bumi yang pernah terjadi di Jawa Barat sangat terasa getarannya di pegunungan Baduy, tetapi tidak berpengaruh pada kondisi perkampungan, rumah mereka tetap kokoh.

Tidak ada bahan bangunan lain dari rumah orang Baduy Dalam kecuali dari bahan kayu, bambu dan tali. Termasuk lantai rumah, hanya terbuat dari batangan bambu yang dibelah kemudian diremukkan, membentuk sebuah lempengan. Tiap lempengan batang bambu disambung-sambung hingga menjadi sebuah “lantai” untuk kamar dan ruang tamu. Jangan membayangkan kamar dengan tempat tidur, kasur dan bantal, suatu hal yang sulit ditemukan di Baduy Dalam. Kamar rumah mereka berupa bale, tikar dari bahan kulit daun pandan dan bantal yang terbuat dari sabuk kelapa, dibungkus kain belacu warna putih.  

Semua rumah orang Baduy memiliki beranda, berupa bale-bale, terbuat dari lempengan batang bambu. Bale-bale berfungsi ganda. Di sanalah biasanya mereka menerima para tamu, dan tempat duduk-duduk sambil menghisap rokok kretek di sore hari menjelang malam tiba. Bale-bale menjadi “ruang” pertemuan untuk saling tukar informasi dan pengalaman setelah pulang dari pengembaraan ke luar kampung, sambil menghangatkan badan di depan tungku api.

Sedangkan ruang dapur rumah dibiarkan begitu saja, dari lantai tanah. Di sana terdapat tungku api dan segala perabotan masak yang terbuat dari kayu. Soal perabotan memasak, jangan harap pengunjung bisa menikmati sajian makan di atas piring lebar dari logam dan pualam. Atau gelas dari bahan beling, kristal. Orang Baduy terbiasa menggunakan pelengkapan makan seperti apa adanya yang disediakan alam. Kecuali beberapa jenis perabotan saja yang mereka beli di toko di luar: kastrol[1] dan seeng[2]. Di luar itu, mereka menggunakan perabotan yang terbuat dari bambu dan kayu. Gelas dibuat dari somong (potongan bambu), kele (tempat mengambil air juga terbuat dari bambu). Sedangkan alas tempat makan terbuat dari daun pisang atau batok  buah kelapa tua, sendok terbuat dari  bambu, hihid (kipas) dari bambu; tomo (gentong kecil terbuat dari tanah yang digunakan untuk tempat beras, dan lain lain).

Sketsa imah atau rumah Baduy Luar dan Baduy Dalam terdiri dari Dapur, ruangan tempat masak, biasanya bersebelahan dengan ruang tidur; pendeng, kamar tidur utama; sosoro, teras bagian depan; tepas, ruang tamu, biasanya berukuran lebih besar dari pendeng dan dapur; golodog, tangga untuk menaiki rumah; ateup, bagian atap rumah; lolongok atau erang, lubang angin pada bagian dinding rumah atau lazimnya  disebut dengan jendela.

Perbedaan bentuk rumah di Perkampungan Baduy Luar dan Baduy Dalam adalah sebagai berikut: Bangunan di Baduy Luar sudah diperbolehkan menggunakan paku dan kayu yang sudah diperhalus, sedangkan di Baduy Dalam sebaliknya, hal itu merupakan larangan adat. Teras rumah di Kampung Baduy Luar lebih besar, sekitar 1,5 meter dan panjang sekitar empat sampai dengan enam meter dengan bambu yang sudah dibelah kecil-kecil. Sedangkan di perkampungan Baduy Dalam pada umumnya teras depan memiliki lebar yang lebih kecil, satu meter dan panjang sekitar dua meter, menggunakan bambu gelondongan atau bambu yang utuh.

Rumah-rumah di Perkampungan Baduy Luar memiliki satu atau lebih pintu keluar-masuk, satu buah pintu di depan, satu buah pintu di belakang dengan daun pintu dari kayu yang sudah diperhalus. Sedangkan di Kampung Baduy Dalam hanya terdapat satu buah pintu masuk-keluar di bagian depan dengan daun pintu dari bambu yang dianyam. Rumah-rumah di perkampungan Baduy Luar diperbolehkan memiliki daun jendela, sedangkan di perkampungan Baduy Dalam tidak diperbolehkan kecuali lubang-lubang kecil. Bahan bangunan seperti paku, gembok, dan tali produk luar, tidak diperbolehkan di perkampungan Baduy Dalam, kecuali di Baduy Luar. Struktur tanah untuk bangunan rumah, khusus untuk di perkampungan Baduy Luar, diratakan terlebih dahulu, sehingga tinggi umpak bangunan sama, sekitar 30-60 cm. Sedangkan di perkampungan Baduy Dalam struktur tanah untuk bangunan rumah tidak boleh diratakan terlebih dahulu, melainkan umpak rumah harus mengikuti kontur dan struktur tanah yang ada.

Penataan kampung Baduy Luar dan Baduy Dalam pada umumnya memiliki banyak persamaan. Rumah-rumah dibangun berhadap-hadapan dan terselang jalan untuk melintas; di setiap kampung perumahan dibangun di satu kompleks dan umumnya berlokasi di lembah dekat aliran sungai; tiap kampung memiliki satu komplek untuk lumbung padi yang berada di sebelah halaman kampung; terdapat satu buah lisung di setiap sudut kampung; bangunan tiap rumah di Baduy Dalam maupun Baduy Luar antara satu rumah dengan yang lainnya bersebelahan, saling berhadapan, rata-rata berjarak dua sampai empat meter secara terpisah. Diyakini konsep penataan rumah-rumah dan perkampungan di Baduy menjadi salah satu konsep dasar pembangunan perumahan di kota-kota besar di Indonesia. (UTEN SUTENDY) **




[1] Kastrol : tempat memasak nasi dan air.
[2] Seeng : tempat memasak nasi yang terbuat dari seng atau tembaga, atau disebut juga dangdang; kenceng,        tempat menggoreng ikan atau lauk lauk lainnya