Jumat, 10 Januari 2014

MENGAMBIL TANPA MERUSAK


Mata pencaharian pokok Orang Baduy adalah bercocok tanam. Jangan membayangkan mereka bisa menanam pohon dengan cara yang biasa dilakukan oleh orang luar, menggunakan berbagai macam teknologi untuk mendapatkan hasil panen yang melimpah melebihi kapasitas lahan dan kebutuhan. Tidak demikian dengan yang dilakukan oleh Orang Baduy. Mereka menanam padi tanpa menggunakan teknologi mesin dan obat-obatan untuk mempercepat pertumbuhan tanaman, kecuali melakukannya secara alamiah, mengikuti eko-sistem alam yang berlaku untuk memperoleh hasil panen yang melimpah tetapi kesuburan lahan tetap terjaga sepanjang masa.

Orang Baduy tidak menggunakan teknologi modern, bahkan alat paling sederhana saja yang bisa digunakan petani paling tradisional sekalipun di masyarakat luar seperti cangkul, tidak boleh digunakan. Apalagi menggunakan alat pembajak tanah dengan tenaga kerbau, sapi atau kuda yang biasa dilakukan orang luar. Alat yang mereka pakai hanya bedog (golok), arit, kored, (cangkul kecil), etem (sejenis ani-ani), dan pisau, serta alat-alat lain dari kayu dan bambu yang tersedia di alam. Alat-alat pertanian tersebut biasa dipakai untuk menebang pohon dan membersihkan semak belukar saat membuka lahan, atau membersihkan rerumputan yang tumbuh di sekitar huma.

Berdasarkan aturan adat, Orang Baduy tidak diperkenankan menggunakan peralatan pertanian modern yang bermesin. Bukan karena ketidakmampuan mereka untuk membeli, namun didasarkan pada pertimbangan adat dan pelestarian alam sekitar, serta mempertimbangkan pada pemeliharaan kesuburan unsur hara tanah dan bentuk perlakuan manusia secara baik terhadap mahluk hidup lain yang ada di dalam tanah, atau di permukaan tanah. Karenanya, mereka juga melarang menggunakan pupuk buatan yang dianggapnya akan bisa merusak unsur hara tanah dan kesehatan manusia.

Selain menanam padi, orang Baduy banyak menanam buah-buahan yang dapat dijual di pasar: buah durian, pete, pisang, dukuh, kokosan, pisitan, mangga, asem kuranji, dan lain-lain yang mereka jual ke pasar-pasar di kota-kota Provinsi Banten atau di luar Banten, Jakarta, Bogor, Bandung, dan lain-lain.

Filosofi orang Baduy dalam bercocok tanam cukup sederhana, boleh mengambil apa saja yang tersedia di alam untuk diolah, ditanam dan dimakan, tetapi tidak boleh sampai merusak lingkungan. Alam yang tersedia dibiarkan seperti apa adanya, jangan sampai diubah, apalagi dirusak saat bercocok tanam. Maka, di wilayah pertanian Baduy tidak ditemukan hamparan petakan sawah, atau pembatas (pematang) yang membedakan ini lahan pertanian padi dan itu lahan pertanian non padi. Yang ada adalah lahan hutan yang ditumbuhi oleh aneka macam tanaman. Hamparan tanaman padi tumbuh subur becampur dengan pohon–pohon lain, pohon duren, pohon petai, dan pohon besar lain yang biasa diambil kayunya.

Kenapa demikian, karena mereka tidak mengenal konsep pertanian model sawah, sebuah model yang dianggap menyalahi konsep pelestarian lingkungan. Sistem sawah mengharuskan ada pembuatan pematang, pembagian air, dan keharusan ketersediaan sumber air. Harus ada lahan yang dirusak dan ada sungai yang airnya dialihkan, dialirkan ke tempat lain. Itu berarti ada pengurangan kapasitas air sungai, selain harus ada pembagian air secara adil diantara sesama mereka untuk mengairi areal sawah.

Keharusan ada pembagian air bagi Orang Baduy mengandung resiko dan rentan terhadap gangguan keseimbangan hubungan manusia dengan alam dan manusia antar manusia. Bila harus ada pembagian air untuk areal sawah, itu harus dilakukan seadil-adilnya. Siapa yang bisa menjamin bahwa hal itu bisa dilakukan secara adil dan benar?. Karena itu, buat mereka konsep pertanian sawah selain berpotensi merusak alam, juga sangat rentan bisa mengganggu keharmonisan hubungan antar manusia. Tidak ada yang bisa menjamin air dapat dibagi secara adil, dan bila ketidakadilan itu terjadi, maka konflik antar manusia yang diakibatkan oleh air bakal terjadi. Itu sebabnya, mereka tidak menghendaki ada sistem pertanian model sawah. Dengan alasan yang hampir sama, Orang Baduy juga melarang pembuatan kolam (empang) untuk ternak ikan.

Bagaimana dengan ternak hewan?. Orang Baduy tidak memelihara ternak hewan selain ayam. Dalam kehidupan mereka dikenal kalimat begini : Urang Baduy mah paeh jeung hayam, hirup jeung hayam (orang Baduy hidup dengan ayam dan mati dengan ayam). Tiap upacara kelahiran, cukuran, kawinan, sunatan, sampai upacara kematian, senantiasa menyembelih ayam. Ayam dianggap sebagai titipan Tuhan yang harus dipelihara dan diperlakukan dengan sebaik-baiknya dan tidak boleh disiksa atau ditelantarkan bila tidak ingin mendapat hukuman dan kutukan Tuhan (Bandingkan dengan cara orang kota memperlakukan hewan unggas ayam saat memberantas dan mengantisipasi wabah flu burung. Ayam dalam keadaan hidup-hidup dibakar). Tiap keluarga di Baduy memelihara ayam untuk memenuhi kewajiban sekaligus untuk memenuhi kebutuhan protein dari daging ayam.

Ternak kambing, kerbau, sapi, dan lain-lain yang biasa dipelihara orang luar, tidak diperkenankan, dilarang. Ajaran agama mereka melarang beternak seluruh hewan yang berkaki empat, kambing, kerbau, sapi, menjangan, dan lain-lain. Alasannya hampir sama dengan larangan pada sistem sawah dan pembuatan empang. Hewan ternak seperti sapi, kerbau, dan kambing adalah makhluk yang perlu dikasihani dan diberikan makan setiap saat. Jika hewan-hewan tersebut dikurung dalam tempat tertentu (diberi kandang), selain sebuah penyiksaan terhadap hewan, juga beresiko menambah pekerjaan baru bagi orang Baduy. Mereka harus mencari bahan makanan ternak, rumput dan dedaunan lain sebagai bahan pakan ternak. Padahal waktu dan tenaga mereka terbatas untuk mengarap lahan huma dan kebun untuk memenuhi kebutuhan hidup anggota keluarga sehari-hari dan menjaga alam dari kerusakan.

Kalau begitu, hewan-hewan tersebut kenapa tidak dilepas saja seperti yang banyak dilakukan oleh orang luar. Melepas hewan secara bebas juga beresiko, akan menjadi hama yang akan merusak pohon dan tanaman orang lain sehingga akan megganggu keharmonisan hubungan antar manusia. Dalam kalimat sederhana mereka: jika hewan-hewan peliharaan itu dilepas bisa menimbulkan fitnah yang berujung pada kemungkinan konflik antar manusia. Oleh karena itu, mereka tidak memperkenankan memelihara hewan ternak yang berpotensi merusak tanaman dan keharmonisan hubungan manusia, kecuali hewan anjing sebagai teman dan penjaga, serta ayam dan bebek.


Bandingkan dengan kebanyakan orang luar yang selalu ingin mengambil lebih dari apa yang sudah disediakan oleh alam. Manusia tidak pernah mengenal kata berhenti untuk mengeksploitasi sumber daya alam demi memenuhi keperluan sehari-hari melebihi dari yang dibutuhkan. Karena itu, kerusakan hutan, gunung, sungai dan laut tak terelakkan. Sementara Orang Baduy hanya mengambil yang diperlukan untuk hidup mereka, karena alam harus tetap utuh untuk menyediakan sumber daya hayati dan nabati yang diperlukan oleh manusia dari generasi ke generasi. Sebuah visi hidup yang jauh ke depan. Siapakah diantara kita yang terbelakang dan berjalan mundur (UTEN SUTENDY)?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar