Jumat, 10 Januari 2014

MASYARAKAT TANPA KONFLIK

Gambaran kondisi Perkampungan Orang Baduy baik di dalam maupun di luar umumnya sama, tenang, 
damai, dan asri. Pohon-pohon besar dibiarkan tumbuh, air sungai jernih, dibiarkan mengalir begitu saja 
sampai jauh, menerjang batu hingga mengeluarkan suara gemericik di tiap sudut kampung. Aneka satwa, 
kumbang, jangkrik, kodok, daeng-daeng dan tune (binatang kecil sejenis belalang) berbunyi nyaring. 
Macam-macam jenis burung bebas bercengkrama, mengeluarkan kemerduan bunyi suara, satu sama lain 
saling bersahutan. Sesekali terdengar suara gonggongan anjing dari ujung kampung diantara suara alam yang 
dikeluarkan oleh gesekan batang-batang kayu dan dedaunan yang tertiup angin. Dalam keheningan, 
terdengar suara calintu dari atas bukit atau di atas gunung. Semakin kencang angin bertiup, suara itu makin 
kencang terdengar. Calintu adalah sebuah batang bambu sepanjang empat sampai lima meter yang diberi 
lubang seperti sebuah suling, lalu diikat dalam posisi berdiri menjulang ke langit di atas pohon yang tinggi. 
Ketika angin bertiup, bambu itu mengeluarkan suara khas, seperti suara biola yang digesek pelahan, 
memecahkan keheningan malam.

Tak ada suara mesin, musik, atau orang berteriak menghardik marah seperti yang biasa dijumpai di lingkungan masyarakat orang luar. Pagi hari, saat ayam jantan berkokok, kaum perempuan mulai sibuk menyalakan tungku api, memasak air dan menanak nasi. Kaum laki-laki pergi bergegas ke ladang, huma, kebun, atau hutan dan sungai. Sementara kaum perempuan dewasa dan remaja mulai bekerja menenun, membuat aneka kerajinan khas Baduy dengan alat tradisional yang diwariskan turun temurun sejak puluhan bahkan ratusan tahun. Menurut Samani, salah seorang warga Kampung Cipaler, tiap warga di kampung Baduy Luar memiliki alat tradisional untuk membuat tenunan khas Baduy. Dan tiap remaja puteri Baduy umumnya bisa menenun karena diajarkan para orang tua secara turun temurun.”Kabeh bikang di Baduy umumnya bisa nenun (semua perempuan di Baduy bisa menenun),” katanya. Wanita-wanita penenun bekerja terampil sambil duduk di teras rumah. Tangannya lincah bergerak memintal benang dengan alat tradisional. Bunyi tok tok tok keluar dari benturan kayu-kayu pada alat pemintal tradisional yang ada di tiap rumah, memecahkan keheningan, menambah suasana kampung terasa nyaman dan harmonis.
Hampir semua warga Baduy baik laki-laki maupun perempuan menurut Jaro Daenah tidak ada waktu untuk mengangur. Semua punya tugas, peran, dan tanggung jawab masing-masing yang secara mekanis berjalan efektif tanpa ada unsur paksaan. Tak ada alasan untuk menghamburkan kemarahan atau sikap-sikap negatif yang bisa mengganggu keharmonisan. Dimanapun dan kapan pun mereka dijumpai, di saung, huma, persimpangan jalan, yang terkesan adalah keramahan, kesederhanaan, dan keluguan. Mereka akan menyapa dan memberi senyuman pada siapapun yang dijumpai sekalipun orang itu belum dikenal.

Belum terdengar cerita yang menggambarkan ada konflik diantara sesama orang Baduy. Mereka hidup berdampingan, satu sama lain saling membantu dan menolong. Semangat gotong-royong dan kebersamaan tercermin dalam tiap aktivitas. Saat membangun rumah, membuka ladang, menanam dan memanen padi, membuat jembatan, membuat leuit dan saung, memetik buah durian, menangkap ikan di sungai, menebang pohon, dan lain-lain. Semua sudah diatur dengan rapi dalam sebuah sistem organisasi adat, agama, dan sosial kemasyarakatan secara turun-temurun sejak ratusan tahun silam, yang memungkinkan masyarakat Baduy terbentuk dan berkembang hingga kini tanpa konflik yang membahayakan dan mengancam keutuhan komunitas mereka.
  
                                                            ***

Sistem organisasi sosial yang mereka gunakan menganut sistem kokolotan yang berazaskan pada ajaran Sunda Wiwitan, suatu sistem organisasi sosial dan adat yang menghargai dan menghormati para kesepuhan atau kokolot dan karuhun atau nenek moyang. Roda organisasi kemasyarakatan mereka berpedoman pada ajaran Sunda Wiwitan, sebuah kepercayaan leluhur yang menekankan pada pelestarian alam dan keharmonisan dalam kehidupan manusia serta perwujudan keadilan, perdamaian dan keamanan serta ketertiban yang abadi.

Sedangkan dalam sistem pemerintahan adat, Suku Baduy memiliki sistem pemerintahan yang bersifat kapu’unan, pimpinan tertinggi dalam pemerintahan adat. Pu’un terdapat di tiga Kampung Baduy Dalam: Pu’un di Cibeo, Pu’un di Cikartawana dan Pu’un di Cikeusik. Dalam melaksanakan tugas sehari-hari Pu’un dibantu oleh seorang Jaro Tanggung Dua Belas, Jaro Pamarentah Adat dan Jaro Tujuh yang berasal dari Baduy Luar.

Pu’un juga dibantu oleh Baresan Salapan, berasal dari masing-masing kampung, berjumlah sembilan orang di setiap Kampung Baduy Dalam, serta tiga orang jaro adat di Kampung Baduy Dalam, Jaro Tujuh dari Kampung Baduy Luar yang berjumlah tujuh sampai dengan delapan orang, Girang Seurat dari Baduy Luar, dan Kokolot Lembur dari masing- masing kampung di desa Kenekes. Berikut uraian tugas pokok dan fungsi masing - masing pejabat adat sebagai berikut :

Pu’un adalah pimpinan tertinggi di dalam struktur pemerintahan adat masyarakat Baduy. Pu’un hanya ada di Kampung Cibeo, Cikartawana dan Cikeusik. Ketiga Pu’un  memiliki kuasa yang sama antara satu dengan yang lain dan wilayah kekuasaan yang sama pula, yakni seluruh kampung di Baduy Dalam dan Luar. Selain sebagai pimpinan tertinggi dalam struktur pemerintahan tradisional, Pu’un juga mengeluarkan  kebijakan dan aturan-aturan yang mendasar pada ajaran dan adat istiadat Sunda Wiwitan.

Pu’un diangkat oleh masyarakat Baduy berdasarkan azas musyawarah mufakat. Tata cara pemilihan dilakukan melalui mekanisme pemilihan calon Pu’un oleh Bares Kolot dengan cara musyawarah. Calon Pu’un terpilih kemudian dimusyawarahkan kembali dengan masyarakat Baduy. Cara penyampaian pendapat atas pilihan dilakukan oleh masyarakat di setiap kampung. Satu kampung  memilih satu calon yang disepakati oleh warga kampung, kemudian Kokolot Lembur dan Kokolatan serta tokoh masyarakat lain bermusyawarah untuk menentukan. Segala keputusan yang dihasilkan dalam musyawarah Kokolot dan tokoh mayarakat akan diterima oleh warga secara keseluruhan. Seorang Pu’un tidak akan diberhentikan selama masih mampu dan benar dalam mejalankan tugas yang diemban. Yang berbeda dengan pemilihan pimpinan di masyarakat luar Baduy, dalam pemilihan Pu’un, tidak satupun masyarakat Baduy yang mencalonkan diri, melainkan dicalonkan oleh Bares Kolot yang membawa aspirasi warga.

Selain sebagai pimpinan pemerintahan adat tertinggi, Pu’un juga sebagai pemimpin adat dan ajaran Sunda Wiwitan. Syarat untuk menjadi Pu’un diantaranya harus mampu memimpin, menguasai adat istiadat Baduy serta melaksanakan ajaran Sunda Wiwitan secara konsisten dalam kehidupan sehari-hari. Dalam menjalankan roda pemerintahan, Pu’un diawasi oleh Tangkesan sebagai penasehat yang disegani oleh ketiga Puun tersebut. Dan Tangkesan tidak dapat memberhentikan Pu’un.

Seurut atau Girang Seurat adalah pejabat yang membantu tugas kepu’unan khususnya dibidang kepengurusan huma serang (ladang Pu’un) dan sebagai penghubung antar Pu’un, Kokolot Lembur, Kokolotan, Jaro, dan pejabat lain. Girang Seurat diangkat dan diberhentikan oleh Pu’un. Selain itu, Girang seurat bertugas mewakili Pu’un dalam pertemuan-pertemuan tertentu dengan tamu-tamu yang datang dari pemerintahan apabila Pu’un berhalangan. Masa jabatan yang diemban oleh Girang Seurat tidak dapat ditentukan selama masih dianggap mampu. Seorang akan diberhentikan dari jabatan Girang Seurat dengan sendirinya  apabila dianggap tidak mampu lagi atau meninggal dunia.

Baresan Salapan adalah pembantu-pembantu pu’un yang dipilih dan diberhentikan oleh Pu’un. Tugas utamanya ialah bertanggung jawab terhadap keamanan dan ketertiban kampung di Baduy Dalam. Jumlah Baresan Salapan di setiap Kampung Baduy Dalam masing-masing berjumlah sembilan orang. Masa menjabat Baresan Salapan tidak ditentukan, akan diganti apabila mengundurkan diri atau meninggal dunia.

Jaro Adat, Jaro Warega dan Jaro Pamarentahan. Istilah jaro lazim digunakan untuk menyebut kepala desa atau lurah. Istilah ini sudah dipakai sejak lama di Baduy untuk menyebut kepala Desa Kenekes sebagai wilayah ulayat masyarakat Baduy. Terdapat lima orang jaro yang memiliki kewenangan dan tanggung jawab yang berbeda satu dengan yang lain. Satu orang Jaro Pamarentahan, kemudian satu orang Jaro Warega, dan tiga orang Jaro Adat atau disebut juga Jaro Tangtu. Tugas Jaro Pamarentahan hampir sama dengan jaro-jaro lain di desa-desa di luar Baduy, khususnya di Provinsi Banten dan di Indonesia pada umumnya, yakni mengurus pemerintahan di desa. Jaro Pamarentahan dipilih dan ditentukan oleh Pu’un berdasarkan hasil musyawarah Bares Kolot untuk kemudian disyahkan oleh Camat Leuwidamar. Jaro Pamarentahan bertugas sebagai penghubung kepentingan pemerintahan adat dengan pemerintahan formal yang lazim disebut dengan kepala desa. Jaro Pamarentahan adalah warga Baduy Luar yang memiliki kecakapan yang cukup dan dianggap mumpuni dalam mengurus urusan aturan-aturan formal yang tidak ada di dalam aturan adat Baduy.

Jaro Pamarentahan tidak seperti jaro-jaro atau kepala desa pada umumnya yang memiliki batas waktu menjabat. Jaro Pamarentahan diangkat dan diberhentikan oleh Pu’un dengan masa jabatan tidak ditentukan. Jaro Pamarentah akan diberhentikan oleh Pu’un apabila melanggar adat dan dianggap kurang bertanggung jawab terhadap warga, atau apabila meninggal dunia.

Jaro Adat bertugas menangani kepentingan sosial kemasyarakatan di wilayah Baduy Dalam saja berdasarkan hukum dan aturan adat dan kepercayaan Sunda Wiwitan. Sedangkan Jaro Warega memiliki tugas keagamaan yang menjalankan kewajiban masyarakat Baduy dan mewakilinya untuk mengontrol keadaan hutan adat dan hutan titipan lain di luar Baduy.

Jaro Adat dan Jaro Warega dipilih dan diberhentikan oleh Pu’un dan bertanggung jawab kepada Pu’un. Jaro adat dan Jaro warega hanya bertanggung jawab kepada Pu’un di tiga Kampung Baduy Dalam. Seperti pejabat pemerintah adat Baduy lain, seluruh masyarakat Baduy tidak satu pun yang mencalonkan diri, bahkan mereka merasa was-was apabila ditunjuk oleh pu’un untuk menjabat, karena beban amanat yang dipikul cukup berat. Mereka khawatir tidak bisa menjalankan tugas dengan baik dan benar.

Jaro Tujuh atau tujuh jaro (jumlahnya tujuh sampai delapan orang), tersebar di beberapa kampung: Kampung Cihulu, Kadu Ketug, Cisaban, Sorkokod, Jareng (Desa Kenekes) dan Kampung Nungkulan (Desa Cisimeut). Masing-masing kampung memiliki satu jaro tujuh, kecuali di Kampung Kadu Ketug yang berjumlah dua orang Jaro Tujuh, yakni di Kadu Ketug Tonggoh dan Kadu Ketug Babakan Jaro.

Kokolot Lembur adalah orang yang dianggap sesepuh kampung. Ia dipilih oleh masyarakat kampung karena dianggap memiliki disiplin adat yang kuat dalam kehidupan sehari-hari dan taat terhadap ajaran Sunda Wiwitan. Di setiap kampung di Baduy hanya ada satu Kokolot Lembur, Kokolot Lembur tidak dapat dipilih dan diberhentikan oleh Pu’un, namun masyarakat kampung itu sendiri yang memilih dan memberhentikan. Tugas Kokolot Lembur sebagai guru atau penasehat masyarakat akan ajaran Sunda Wiwitan. Dia bisa menguasai ilmu pengobatan alternatif dan pengobatan tradisional. Dengan kecakapan yang dimiliki, Kokolot Lembur senantiasa diminta bantuan oleh masyarakat setempat untuk mengobati yang sakit.

Kokolotan adalah orang yang dianggap paling patuh tehadap ajaran Sunda Wiwitan dalam kehidupan sehari-hari, dan pengetahuannya berada di atas rata-rata kokolot lembur lain. Kokolotan dipilih oleh Bares Kolot dan hanya ada dua dalam kokolotan di Baduy, tidak pernah lebih atau kurang. Kokolotan bertugas mengawasi dan menasehati Tangkesan, Tidak ada yang memberhentikan Kokolotan kecuali mengundurkan diri, karena ketidakmampuan, atau meninggal dunia. Kokolatan berasal dari Kampung Baduy Luar. Saat ini pemangku jabatan Kokolotan berasal dari Kampung Gazeboh dan Kampung Cihulu.

Selain Kokolotan, ada juga kokolotan lain yang tinggal di setiap kampung, namun tidak memiliki kewenangan seperti kedua kokolotan tadi. Kewenangannya sebatas sebutan karena faktor usia dan pengalaman. Seorang Tangkesan harus patuh kepada kokolotan bila diperintah dan dinasehati. Tidak satu pun yang berhak menasehati Tangkesan kecuali kokolotan.

Jaro Tanggungan Dua Belas atau biasa disebut dengan Jaro Tanggungan adalah salah satu warga Baduy Luar yang dipilih oleh Kokolot Lembur, Kokolotan, Tangkesan dan Pu’un berdasarkan hasil musyawarah mufakat. Jaro Tanggungan Dua Belas bertugas memberikan perlindungan hukum kepada seluruh masyarakat Baduy atas perilaku di luar batas wilayah Baduy maupun di wilayah Baduy yang dapat merugikan orang lain atau dirugikan oleh orang lain. Tugas lain dari Jaro Tanggungan adalah memberikan bimbingan kepada seluruh masyarakat Baduy untuk menjaga sikap dan perilaku yang sewajarnya dalam kehidupan sosial. Jaro Tanggungan berasal dari Kampung Kadu Keter (Baduy Luar). Jaro Tanggungan tidak bisa diberhentikan, kecuali mengundurkan diri, atau meninggal dunia. Tidak ada batas waktu yang ditentukan untuk masa waktu  menjabat sebagai Jaro Tanggungan. Jabatan itu akan diganti dengan yang baru bila yang bersangkutan meninggal dunia atau mengundurkan diri.

Tangkesan atau  Bapak Kolot adalah penasehat Pu’un yang berasal dari Baduy Luar dan biasanya dari Kampung Cicatang. Tangkesan dipilih oleh hasil musyawarah Kokolot dan Kokolotan. Jumlah Tangkesan hanya satu orang saja. Kewenangan Tangkesan menasehati dan mengawasi tugas para Pu’un apabila mereka melakukan kesalahan. Pu’un hanya akan menerima teguran atau nasehat dari Tangkesan saja. Kewenangan lain adalah berhak mengawinkan warga Baduy berdasarkan adat dan ajaran Sunda Wiwitan.

Kepala Pemuda adalah pemimpin pemuda kampung, dipilih oleh hasil musyawarah dan mufakat warga kampung. Di setiap kampung terdapat satu orang kepala pemuda, yang bertugas memimpin dan mengerahkan seluruh kegiatan pemuda di kampung: gotong royong pembuatan jembatan, kegiatan keagamaan serta kegiatan kebersamaan lain.

Kepala Kampung adalah pemimpin kampung, dipilih oleh hasil musyawarah dan mufakat warga kampung. Di setiap kampung terdapat satu orang kepala kampung. Tugas utamanya memimpin dan mengerahkan seluruh warganya dalam setiap kegiatan-kegiatan gotong royong pembuatan jembatan, jalan, rumah dan atau dalam kegiatan-kegiatan keagamaan. Lamanya jabatan kepala kampung tidak ditentukan kecuali ia mengundurkan diri atau meninggal dunia.


Palawari merupakan sebutan bagi penduduk yang membantu dalam penyelenggaraan kegitan-kegiatan seremonial, atau kegiatan gotong royong atau kegatan insidentil lain yang dilakukan di sekitar kampung. Palawari mirip seperti kepanitiaan yang sifatnya sementara. Misalnya dalam kegiatan peremajaan jembatan, atau “Nyieun Cukangan yang dilakukan tiap satu hingga dua tahun sekali, dibutuhkan kelompok panitia. Ada kelompok yang bertugas mengikat bambu tiang gantung di atas pohon, pembuat tali, pengirim bambu, pemotong bambu, pengikat bagian pijakan jembatan sampai dengan yang memasak nasi untuk yang bekerja. Jadi, tidak ada pembagian tugas berdasarkan perintah dari seorang pimpinan atau kepala kampung, namun lebih menekankan kesadaran masing-masing untuk bekerjasama sesuai kemampuan dan tugas masing-masing.Mereka yang menyadari dan menjalankan tugas sesuai kemampuan pribadi itulah yang disebut dengan Palawari. (UTEN SUTENDY)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar