Sabtu, 11 Januari 2014

DI ANTARA RUMAH DAN SAUNG


Setelah melewati jalan setapak penuh liku, becek dan licin, menyeberangi banyak anak sungai dan menerobos semak-semak belukar, akhirnya saya sampai juga di Cikartawana, salah satu kampung di Baduy Dalam. Beberapa rumah di kampung ini tertata baik, berkumpul dalam satu lokasi  di bawah lembah. Di kelilingi oleh banyak pohon durian, aneka jenis pohon bambu, pohon turalak, dan banyak jenis pohon lain yang menambah suasana rimbun, asri dan alami. Tidak jauh dari rumah penduduk terdapat anak sungai Ciujung, airnya mengalir deras dan jernih. Di sebalah kiri-kanan sungai tumbuh pohon kiara yang akarnya dibiarkan merambat pepohonan lain, pohon kilanggir dan banyak jenis tumbuhan lain yang dibiarkan berkembang liar di pinggiran sungai.

Suasana kampung Cikartawana siang hari tampak sepi. Tak ada tanda-tanda kehidupan. Rumah-rumah yang semuanya dibangun dari bahan kayu, bambu, atap kiray dan tanpa paku itu seperti tak berpenghuni, sepi sunyi. Kecuali ada satu dua orang anak kecil berpakaian khas Baduy sedang bermain di belakang rumah. Mereka langsung lari bersembunyi ke balik dapur saat melihat kami datang. “Upami siang orang Baduy Dalam biasanya jarang cicing di imah, tapi cicing di saung (kalau siang, orang Baduy biasanya jarang diam di rumah, tapi di saung),” kata Samani, salah seorang warga Kampung Cipaler (Baduy Luar) yang menjadi petunjuk jalan. Tak banyak yang bisa dilakukan, kecuali duduk-duduk istirahat. Walaupun pemandangan alam cukup bagus untuk dijadikan obyek pemotretan, tidak ada yang berani melakukannya, karena hal itu bagian dari yang dilarang.

Sambil merebahkan tubuh yang kelelahan di sebuah bale rumah kosong yang ditinggal oleh penghuni, Samani, laki-laki berusia setengah baya yang juga cukup paham tentang adat istiadat Baduy Dalam, menuturkan, orang Baduy dewasa, laki-laki maupun perempuan, pada siang sampai petang hari jarang berada di rumah. Biasanya mereka bekerja keras di tengah huma, kebun, hutan atau di saung (sebagian orang Baduy menyebutnya rumah kedua), tempat tinggal selama menjaga dan menunggu padi dan kala tanaman padi mereka tumbuh, kecuali saat musim panen tiba. Mereka pulang ke rumah.

Selama tinggal di saung, keluarga Baduy saling bahu membahu bekerja. Suami dan isteri sama-sama turun ke ladang, membersihkan lahan, menanam padi, dan menjaga tanaman dari gangguan hama. Tugas pokok si isteri menjaga saung, mengasuh anak dan memasak nasi. Sedang, suami bekerja di ladang dan hutan yang sekali-kali dibantu sang isteri dan anak. Mereka bisa tinggal di saung selama berhari-hari, satu minggu bahkan bisa satu bulan sambil sesekali pulang menengok rumah mereka di kampung.

Semua Orang Baduy yang berkeluarga rata-rata memiliki saung, atau rumah kedua. Berbeda dengan rumah mereka yang dibangun di sebuah perkampungan, saung  dibangun di tengah-tengah ladang dan lokasinya berjauhan dari perkampungan. Seperti umumnya rumah mereka, bangunan saung terbuat dari bahan kayu dan bambu. Ukuran dan bentuknya hampir sama dengan rumah yang mereka tempati. Perabotan dan perlengkapan yang ada di saung biasanya jauh lebih banyak dan komplit daripada yang ada di rumah. Ada ruang tamu, kamar, ruang keluarga dan tungku api di dapur. Di depan saung bara apinya hampir tak pernah padam sepanjang hari dan malam. Tungku api berfungsi sebagai bahan penerang di malam hari karena tidak ada listrik dan lampu, sekaligus sebagai penghangat tubuh di malam hari (udara di hutan Baduy cukup dingin).

Ciri khas lain dari lingkungan saung ialah selalu ada seekor anjing sebagai teman keluarga. Rata-rata orang Baduy memelihara seekor anjing di saung selain memelihara ayam. Anjing berfungsi menjaga anak-isteri ketika suami pergi ke hutan atau huma yang jaraknya agak berjauhan. Anjing bisa memberi tahu sang majikan bila ada seseorang yang datang, atau ada hal yang dianggap menganggu keamanan.

Sewaktu-waktu saung bisa dipindahkan ke tempat lain sesuai dengan lokasi huma yang sedang digarap. Jika lokasi huma mereka harus pindah ke tempat lain yang lebih jauh, saung pun harus dibongkar atau dipindahkan dengan segala isinya. Lokasi huma dan saung yang sebelumnya mereka tempati sesuai aturan adat akan ditempati oleh orang lain, atau dibiarkan agar menjadi hutan kembali. Rentang waktu kepindahan saung tidak menentu. Kadang bisa satu tahun, dua tahun, bisa juga sampai lima atau tujuh tahun. “Tergantung kekayaan bathin jeung adat anu ngatur” (tergantung suasana batin dan adat yang mengatur), kata Jarsih, anggota masyarakat Baduy Dalam Cikartawana yang ikut bersama menemani sepanjang perjalanan. Kenapa Orang Baduy tidak mengenal sistem kepemilikan lahan secara permanen. Semua ladang dan huma adalah milik bersama yang sistem penggarapan dibagi berdasarkan kesepakatan dan aturan adat. Jadi, tak ada yang memiliki lahan pribadi, kecuali lokasi lahan berada di luar hutan lindung Baduy.

Jika musim panen padi tiba dan gabah hasil panen sudah disimpan di dalam leuit-leuit, sehingga tak ada lagi yang harus dijaga dan dikerjakan di tengah huma, mereka pun pulang ke rumah, ke kampung masing-masing. Satu warga dengan yang lain bisa berkumpul, saling bercengkrama. Sang isteri menenun kain di rumah, atau menumbuk padi dalam sebuah lesung sambil bersenda gurau dengan sesama perempuan se-kampung. Sedang suami, biasanya pergi mengembara ke daerah-daerah dan kota di luar perkampungan Baduy, bersilaturahmi dengan teman-teman dan kenalan sambil menambah pengetahuan dan wawasan baru, serta mencari penghasilan tambahan. Mereka pergi ke kota dan ke berbagi tempat lain di luar sambil berjualan madu, barang-barang souvenir khas Baduy dan hasil bumi.

Imah atau rumah dan kampung halaman buat orang Baduy semacam tempat singgah dan istirahat kala mereka lelah dan kecapaian bekerja keras di ladang. Rumah menjadi sangat penting, tempat pertemuan antara suami-isteri dan sanak keluarga, tempat berlindung bagi anak-anak. Rumah-rumah di perkampungan Baduy ditata sedemikian rupa tertib, satu rumah dengan rumah lain berjejer rapat dan rapih saling berhadapan, dipisahkan oleh jalan gang, tempat lalu-lalang orang yang melintasi kampung.

Di tengah-tengah kampung ada pekarangan luas, tempat bermain anak-anak, atau tempat warga melaksanakan aktivitas bersama: pergelaran acara pesta, upacara adat, dan lain-lain. Di seberang ujung lapangan terbuka, berdiri rumah seorang kepala adat (Puun) dan rumah seorang Jaro, keduanya berendengan pada tempat yang sama, menghadap alun-alun (lapangan terbuka). Sedang di seberang lapangan berdiri bangunan yang bentuknya agak berbeda dengan rumah warga, bangunan ini tanpa beranda depan. Itulah yang disebut dengan gedung atau ruang pertemuan, tempat dimana para sesepuh kampung dan sesepuh adat bermusyawarah memecahkan berbagai persoalan.

Di samping perkampungan, dekat pintu masuk ke perkampungan, terdapat lokasi untuk kumpulan leuit. Sedang di sebelah sudut kampung terdapat bangunan terbuka, di dalamnya ada lesung panjang tempat untuk menumbuk padi yang disebut dengan saung lisung. Di tiap kampung hanya ada satu buah saung lisung, sebuah gubuk lebar dua meter dan panjangnya empat sampai enam meter, mempunyai empat atau enam tiang tanpa dinding dan bagian atasnya ditutup atap. Di dalamnya terdapt satu buah lisung panjang berukuran sekitar tiga sampai lima meter yang digunakan khusus untuk menumbuk padi. Selain itu, ada beberapa hulu atau alu, terbuat dari kayu bulat panjang yang digunakan sebagai penumbuk padi.

Bentuk dan ukuran rumah dari warga biasa, rumah seorang jaro, rumah seorang puun maupun rumah seorang yang kaya, bentuk dan ukurannya tetap sama. Yang membedakan antara rumah milik warga biasa dengan rumah milik puun atau jaro (wakil puun) ialah lokasi dan bentuk kepundan rumah. Lokasi rumah seorang puun dan jaro terletak di tengah-tengah barisan rumah yang langsung menghadap lapangan terbuka. Dan di atas kepundan rumah ada bentuk lingkaran atau menyerupai gambar tertentu, sebuah symbol ketokohan atau kehormatan sang pemilik rumah.

Semua rumah Baduy berbentuk panggung, terbuat dari bahan bambu, kayu, bilik bambu, atap rumbia, tanpa menggunakan paku dan pondasi seperti layaknya rumah orang luar. Pondasi rumah dari kayu besar hanya ditancapkan ke dalam tanah atau diletakkan begitu saja. Konstruksi untuk menghubungkan antara kayu-kayu dan bambu-bambu sebagai bahan rancang bangunan rumah, diperkuat oleh ikatan tali dari bahan rotan atau dari kulit kayu serta kulit bambu.

Pola konstruksi seperti itu, walau terkesan sederhana, sangat efektif  untuk menahan goncangan tanah akibat gempa bumi. Selama bertahun-tahun kekuatan dan kelenturan konstruksi rumah adat Baduy sudah teruji, tahan bahkan anti gempa. Warga Baduy memahami benar kalau lokasi yang mereka tinggali sekarang memiliki potensi gempa. Seluruh wilayah perkampungan Baduy merupakan daerah pegunungan yang berpotensi gempa. Berbagai getaran gempa bumi yang pernah terjadi di Jawa Barat sangat terasa getarannya di pegunungan Baduy, tetapi tidak berpengaruh pada kondisi perkampungan, rumah mereka tetap kokoh.

Tidak ada bahan bangunan lain dari rumah orang Baduy Dalam kecuali dari bahan kayu, bambu dan tali. Termasuk lantai rumah, hanya terbuat dari batangan bambu yang dibelah kemudian diremukkan, membentuk sebuah lempengan. Tiap lempengan batang bambu disambung-sambung hingga menjadi sebuah “lantai” untuk kamar dan ruang tamu. Jangan membayangkan kamar dengan tempat tidur, kasur dan bantal, suatu hal yang sulit ditemukan di Baduy Dalam. Kamar rumah mereka berupa bale, tikar dari bahan kulit daun pandan dan bantal yang terbuat dari sabuk kelapa, dibungkus kain belacu warna putih.  

Semua rumah orang Baduy memiliki beranda, berupa bale-bale, terbuat dari lempengan batang bambu. Bale-bale berfungsi ganda. Di sanalah biasanya mereka menerima para tamu, dan tempat duduk-duduk sambil menghisap rokok kretek di sore hari menjelang malam tiba. Bale-bale menjadi “ruang” pertemuan untuk saling tukar informasi dan pengalaman setelah pulang dari pengembaraan ke luar kampung, sambil menghangatkan badan di depan tungku api.

Sedangkan ruang dapur rumah dibiarkan begitu saja, dari lantai tanah. Di sana terdapat tungku api dan segala perabotan masak yang terbuat dari kayu. Soal perabotan memasak, jangan harap pengunjung bisa menikmati sajian makan di atas piring lebar dari logam dan pualam. Atau gelas dari bahan beling, kristal. Orang Baduy terbiasa menggunakan pelengkapan makan seperti apa adanya yang disediakan alam. Kecuali beberapa jenis perabotan saja yang mereka beli di toko di luar: kastrol[1] dan seeng[2]. Di luar itu, mereka menggunakan perabotan yang terbuat dari bambu dan kayu. Gelas dibuat dari somong (potongan bambu), kele (tempat mengambil air juga terbuat dari bambu). Sedangkan alas tempat makan terbuat dari daun pisang atau batok  buah kelapa tua, sendok terbuat dari  bambu, hihid (kipas) dari bambu; tomo (gentong kecil terbuat dari tanah yang digunakan untuk tempat beras, dan lain lain).

Sketsa imah atau rumah Baduy Luar dan Baduy Dalam terdiri dari Dapur, ruangan tempat masak, biasanya bersebelahan dengan ruang tidur; pendeng, kamar tidur utama; sosoro, teras bagian depan; tepas, ruang tamu, biasanya berukuran lebih besar dari pendeng dan dapur; golodog, tangga untuk menaiki rumah; ateup, bagian atap rumah; lolongok atau erang, lubang angin pada bagian dinding rumah atau lazimnya  disebut dengan jendela.

Perbedaan bentuk rumah di Perkampungan Baduy Luar dan Baduy Dalam adalah sebagai berikut: Bangunan di Baduy Luar sudah diperbolehkan menggunakan paku dan kayu yang sudah diperhalus, sedangkan di Baduy Dalam sebaliknya, hal itu merupakan larangan adat. Teras rumah di Kampung Baduy Luar lebih besar, sekitar 1,5 meter dan panjang sekitar empat sampai dengan enam meter dengan bambu yang sudah dibelah kecil-kecil. Sedangkan di perkampungan Baduy Dalam pada umumnya teras depan memiliki lebar yang lebih kecil, satu meter dan panjang sekitar dua meter, menggunakan bambu gelondongan atau bambu yang utuh.

Rumah-rumah di Perkampungan Baduy Luar memiliki satu atau lebih pintu keluar-masuk, satu buah pintu di depan, satu buah pintu di belakang dengan daun pintu dari kayu yang sudah diperhalus. Sedangkan di Kampung Baduy Dalam hanya terdapat satu buah pintu masuk-keluar di bagian depan dengan daun pintu dari bambu yang dianyam. Rumah-rumah di perkampungan Baduy Luar diperbolehkan memiliki daun jendela, sedangkan di perkampungan Baduy Dalam tidak diperbolehkan kecuali lubang-lubang kecil. Bahan bangunan seperti paku, gembok, dan tali produk luar, tidak diperbolehkan di perkampungan Baduy Dalam, kecuali di Baduy Luar. Struktur tanah untuk bangunan rumah, khusus untuk di perkampungan Baduy Luar, diratakan terlebih dahulu, sehingga tinggi umpak bangunan sama, sekitar 30-60 cm. Sedangkan di perkampungan Baduy Dalam struktur tanah untuk bangunan rumah tidak boleh diratakan terlebih dahulu, melainkan umpak rumah harus mengikuti kontur dan struktur tanah yang ada.

Penataan kampung Baduy Luar dan Baduy Dalam pada umumnya memiliki banyak persamaan. Rumah-rumah dibangun berhadap-hadapan dan terselang jalan untuk melintas; di setiap kampung perumahan dibangun di satu kompleks dan umumnya berlokasi di lembah dekat aliran sungai; tiap kampung memiliki satu komplek untuk lumbung padi yang berada di sebelah halaman kampung; terdapat satu buah lisung di setiap sudut kampung; bangunan tiap rumah di Baduy Dalam maupun Baduy Luar antara satu rumah dengan yang lainnya bersebelahan, saling berhadapan, rata-rata berjarak dua sampai empat meter secara terpisah. Diyakini konsep penataan rumah-rumah dan perkampungan di Baduy menjadi salah satu konsep dasar pembangunan perumahan di kota-kota besar di Indonesia. (UTEN SUTENDY) **




[1] Kastrol : tempat memasak nasi dan air.
[2] Seeng : tempat memasak nasi yang terbuat dari seng atau tembaga, atau disebut juga dangdang; kenceng,        tempat menggoreng ikan atau lauk lauk lainnya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar