Jumat, 10 Januari 2014

“TABUNGAN TUHAN”


Udara malam sangat dingin menyelimuti tubuh. Api ditungku yang mulai redup, dihidupkan lagi untuk menghangatkan tubuh. Beberapa Orang Baduy yang sejak siang menemani sudah terlelap tidur, tinggal aku dan Jaro Nalim yang masih melanjutkan obrolan hingga menjelang dini hari. Sambil menyalakan api dalam tungku, aku bertanya mengapa orang Baduy begitu konsisten menjaga keutuhan nilai-nilai adat dan tidak terpengaruh oleh serangan dan rongrongan kebudayaan modern yang terus merangsek masuk mendekati wilayah Baduy?

Laki-laki bertubuh kekar itu, hanya terdiam. Ia mengambil daun sirih, buah pinang, dan kapur barus, lalu melintingnya dan dimasukkan ke dalam mulut, terus mengunyah pelan-pelan. Tak lama kemudian bibirnya tampak merah, serpihan daun sirih dan cairan buah pinang meleleh di bibirnya. Ia kembali menyepah untuk yang kesekian kali. Menyepah adalah kesukaan para tokoh adat Baduy Dalam sebagai pengganti rokok yang dilarang. Diamnya Sang Jaro malam itu mengisyaratkan bahwa ada kegalauan dan kegelisahan dari Orang Baduy Dalam tentang kondisi lingkungan Baduy sekarang. Memang hingga kini Baduy Dalam belum banyak berubah, konsisten menjaga adat dan agama sejak ratusan tahun. Mereka tidak boleh menaiki kendaraan jenis apapun jika ingin bepergian jauh ke luar wilayah.  Mereka lebih menyukai memilih berjalan kaki tanpa alas kaki di bawah panas terik sinar matahari, menyusuri jalan-jalan aspal yang panas hingga ratusan kilo meter. Mereka juga belum membolehkan barang-barang elektronik, televisi, radio, dan lain-lain,  masuk ke dalam wilayah perkampungan. Seluruh wilayah mereka belum dan tidak mau menerima aliran listrik sebagai alat penerang dari pemerintah. Mereka menggunakan alat penerang dari lampu teplok atau api unggun yang terus dibiarkan menyala di pekarangan rumah. Dan masih tetap mengharamkan anak-anak kampung untuk mengikuti program sekolah.

Namun demikian, dari obrolan dengan Jaro Daenah, Pulung, Musung (tokoh pemuda di Kampung Gazeboh), Budi (tokoh masyarakat Cicakal Girang), terunkap bahwa diam-diam sebenarnya Orang Baduy terus melakukan proses belajar tentang banyak hal yang terjadi di luar, termasuk mengenai kebudayaan modern dan dampaknya pada lingkungan. Mereka mengikuti perkembangan modernisasi dan liberalisasi yang melanda semua kelompok masyarakat di luar dengan cara mereka sendiri. Mereka juga memahami dan merasakan bahwa modernisasi dengan segala dampak ikutannya sulit dibendung dan dihindari oleh masyaralat luar, termasuk oleh generasi muda. Cepat atau lambat hal itu bisa mengancam keutuhan nilai-nilai adat Baduy yang selama ini mereka pertahankan secara turun temurun selama ratusan tahun.

Pengetahuan dan pemahaman para tokoh Baduy tentang adanya bahaya ancaman modernisasi yang mulai merangsek masuk mendekati lingkungan mereka, makin meningkatkan kesadaran untuk melakukan antisipasi menjaga keutuhan nilai-nilai Baduy hingga akhir zaman. Hukum adat dan agama Sunda Wiwitan terus dikembangkan, dihidupkan dan diajarkan kepada anak-cucu dan generasi muda sebagaimana telah dilakukan secara turun temurun. Mempertahankan nilai-nilai adat dan agama Sunda Wiwitan  merupakan harga mati, tak bisa ditawar. Ini bukan semata berkaitan dengan kepentingan hidup komunitas, tetapi juga berhubungan erat dengan upaya menjaga keselamatan bumi dari kerusakan dan kehancuran.

Orang Baduy sudah menyaksikan sendiri betapa lingkungan alam dan hutan di mana-mana di penjuru tanah air dan di belahan dunia, sudah rusak, hancur, sebagian besar hilang dan punah. Kehancuran di Benua Afrika, di Amerika Latin, hutan di Sumatera, di Kalimantan, Sulawesi, di Pulau Jawa, dan di penjuru dunia lain, perlahan-lahan tapi pasti mulai kehilangan fungsi sebagai paru-paru dunia dan penghasil CO2 yang dibutuhkan untuk melapisi bumi dari panas sinar  matahari. Hilangnya fungsi hutan di banyak tempat di penjuru dunia, terutama di Indonesia sebagai negara yang berada di garis khatulistiwa, jalur utama perputaran sinar matahari, menimbulkan gejala alam dan mulai mengancam keutuhan bumi. Terjadilah perubahan iklim, pemanasan global (global warming), gempa bumi, longsor, banjir, tsunami, yang mengancam keberadaan negara-negara kepulauan di muka bumi (issu ini selalu menjadi agenda berbagai perundingan para pemimpin dunia).

Orang Baduy juga harus tetap menjaga keutuhan nilai-nilai ke-Baduy-an, berkaitan dengan upaya menjaga harmonisasi hubungan antar umat manusia. Mereka tidak boleh marah antar sesama, tidak boleh berbohong, berzinah, minum-minuman keras, dan harus turut dan manut pada para tetua sebagai pemangku agama dan adat Baduy di tengah semua sistem nilai yang berlaku di banyak agama dan adat sudah mulai berubah dan ditinggalkan umat. Konflik antara agama, antar kelompok, antar suku, dan antar Negara terus berlanjut tanpa berkesudahan. Cara orang menjalankan syari’at agama di luar, makin berubah dan berkembang menjadi banyak sekte dan aliran, mengikuti perkembangan zaman dan tuntutan materialisme (berorientasi kebendaan) serta hedonism (kenikmatan duniawi). Hukum adat yang menjadi pengikat keutuhan dan harmonisasi hubungan antar masyarakat dan manusia dengan alam, di daerah-daerah wilayah Indonesia makin ditinggalkan oleh generasi muda, karena bujukan dan rayuan pola hidup modern. Identitas adat dan kebudayaan Indonesia makin tereduksi dan terancam punah. Yang terjadi saat ini adanya  proses upaya penghapusan identitas oleh sebuah kekuatan materialism dan kafitalisme. Umat manusia tengah digiring menjadi sebuah masyarakat satu dimensi (one dimensionel man) untuk sebuah kepentingan ekonomi.

“Keun bae batur berubah, urang mah moal berubah (biarkan saja orang lain berubah, kami tak akan berubah)”, kata Jaro Nalim, yang akhirnya bersedia menjawab beberapa pertanyaan. Orang Baduy mensikapi perubahan-perubahan yang terjadi di luar melalui penerapan hukum adat dan agama secara konsisten dengan satu keyakinan teguh bahwa jika lingkungan Baduy berubah, mengikuti arus modernisasi, itu tanda-tanda dunia dan bumi yang dipijak mulai mendekati pada kehancuran.

Keyakinan itu didasari oleh kepercayaan mereka bahwa Orang Baduy hidup di sebuah lokasi yang disebut pancer bumi (tiang bumi), daerah yang tergolong dalam inti jagat, atau kawasan yang harus dijaga. Karena berada di inti bumi, maka keseluruhan nilai-nilai adat dan agama yang melandasi keseluruhan sikap hidup sehari-hari, berorientasi pada upaya menjaga dan melastarikan bumi dari kehancuran. Orang Baduy meyakini kalau mereka adalah orang pertama di muka bumi dan semua ajaran agama yang kini tersebar di seluruh muka bumi berasal dari ajaran Sunda Wiwitan.

Wiwitan artinya awal atau yang pertama. Sunda Wiwitan berarti orang Pertama yang dibiarkan ada di hutan untuk menjaga titipan Nabi Adam, menjaga dan memelihara panjer bumi, inti jagat. Itu sebabnya mereka yakin dengan sistem nilai yang dianut, bahwa mereka adalah Cengcelengan Pangeran (Tabungan Tuhan) yang tidak boleh berubah dan bergeser sedikit pun dari rongrongan dan desakan modernisasi. Karena hanya di Baduy lah salah satu ciptaan dan milik Tuhan yang hingga kini masih tersisa utuh dan belum berubah persis seperti Nabi Adam dahulu diturunkan ke muka bumi. Sementara semua alam lingkungan dan tatanan nilai manusia di luar kini sedang mengalami perubahan secara cepat.

Kalau Baduy berubah seperti daerah dan masyarakat lain di penjuru dunia, maka menurut keyakinan dan kepercayaan orang Baduy, Pangeran (Tuhan) tidak memiliki tabungan lagi yang bisa menjadi cermin, sekaligus untuk menopang bagi perbaikan masyarakat dan alam lingkungan dunia. Dan bila hal itu benar-benar terjadi maka Orang Baduy percaya dan yakin, itulah saatnya dunia terancam hancur.

Sebagai  Tabungan Tuhan, lokasi Baduy berada di sebuah tempat yang sulit dijangkau oleh orang luar, dipagari oleh bukit dan gunung-gunung tinggi yang sulit didaki, dilingkari sungai-sungai besar dan kecil dengan aliran air yang deras. Lingkungan Baduy juga dipagari oleh aturan adat yang memungkinkan orang luar tidak bisa sembarangan merusak alam lingkungan dan tak boleh bersentuhan secara langsung dengan orang Baduy Dalam.  (UTEN SUTENDY)***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar