Minggu, 12 Januari 2014

AIR MENGALIR SAMPAI JAUH


Desa Kenekes dipimpin oleh seorang kepala desa yang biasa disebut Jaro Pemerintahan, bernama Jaro Daenah (Ayah Daenah). Sebagai seorang kepala desa, Jaro Daenah sangat dihormati dan disegani oleh warga desa. Laki-laki asli Baduy yang tinggal di Kampung Kaduketug (Baduy Luar) ini memiliki postur tubuh tinggi besar, kekar dan tampak gagah dengan kumis tebal menempel di atas bibir. “Mangga calik,” (silahkan duduk),” katanya kepada penulis saat jumpa di rumahnya yang tampak lebih rapih, bersih dan besar dari umumnya rumah orang Baduy di Kampung Kaduketug. Siang itu, Jaro dengan fasih memberikan penjelasan tentang kondisi lingkungan desa dan kehidupan orang Baduy, sambil duduk bersila di teras rumah, ditemani dua gelas kopi hangat.  

Desa Kenekes dengan luas 5.100,36 ha, adalah sebuah wilayah pegunungan dan perbukitan dengan kondisi hutan yang masih asri. Dialiri oleh puluhan anak sungai, airnya jernih dan tak pernah kering sepanjang tahun. Desa ini penuh dengan pesona keindahan hutan yang masih perawan serta kaya dengan aneka jenis flora-fauna. Di sekitar pegunungan dan perbukitan Hutan Lindung Desa Kenekes terdapat sekurangnya 200 spesies tumbuhan. Sebagian diantaranya hanya ada di Baduy dan tidak ditemukan di daerah atau di hutan-hutan di wilayah Indonesia atau belahan dunia lain. Pohon-pohon dibiarkan tumbuh berkembang secara alami sejak puluhan hingga ratusan tahun silam. Pengunjung bisa melihat pohon durian yang batangnya berdiameter lebih dari dua-tiga meter dengan tinggi batang menjulang ke langit lebih dari 30-40 meter dan masih tetap menghasilkan buah durian berkualitas. Diantara jenis pohon yang dibiarkan tumbuh bebas di wilayah Baduy ialah pohon bayur atau cayur (Pterosperum javanicum), burahol atau turalak (Stechocarpus burahol hook), caringin atau beringin (Ficus benyamin lnn), kiara (Ficus indika), kilanggir atau kianggir (Otopora spectabilis), kokosan atau pisitan (Lansium domesticum), jeunjing (Albizzia fakata backer), rotan (Korthalisia laciosa), tubaleluer atau aruey kawao        (Milletia servicea), kedoya (Dysoxylum caulostachym miq), bambu apus (Gigantochloa apus kurz), bambu betung (Dendrocalamus asper), bamboo hitam atau awi hideung, dan lain-lain.

“Orang Baduy menjaga hutan, sungai, flora dan fauna seperti mereka menjaga diri dan keluarga,” kata Jaro Daenah. Siapa saja yang datang ke wilayah Baduy harus ikut menjaga kelestarian alam lingkungan. Tidak boleh menebang pohon sembarangan, membuang sampah sembarangan agar tidak menganggu kehidupan flora fauna. Masyarakat di Baduy Luar, seperti halnya di kampung Kadu Ketug, Cipaler, Gazeboh, dan termasuk di Kampung Baduy Dalam Cibeo, sudah terbiasa untuk tidak membuang sampah sembarangan. Seorang pedagang atau pendatang yang kedapatan membuang sampah sembaranagn akan mendapat teguran. Tiap-tiap rumah menyediakan tempat pembuangan sampah berupa karung plastik yang disimpan di samping teras rumah.

Menurut Jaro Daenah, ada ajaran yang tidak tertulis tetapi secara turun menurun menjadi pijakan dan pegangan kuat orang Baduy dalam menjaga dan melestarikan hutan dengan segala isinya agar tetap bersih, utuh, dan lestari seperti apa adanya. Ajaran tersebut hingga kini dipegang teguh masyarakat dari semua lapisan dan usia: gunung teu menang dilebur, lebak teu menang dirusak. Pondok teu meunang disambung, panjang teu meunang dipotong. Nu lain di lain keun, nu enya dienyakeun (gunung tidak boleh dilebur, lembah tidak boleh dirusak. Yang pendek tidak boleh disambung dan yang panjng tidak boleh dipotong. Yang lain di lain kan, yang iya diiyakan). Dengan ajaran itu orang Baduy berkeyakinan, menjaga dan melestarikan hutan dengan segala isinya merupakan ritual sehari-hari dalam mengekspresikan kehidupan spritualnya.

Seluruh komunitas Orang Baduy tinggal di lembah dan lereng bukit dan pegunungan yang diapit oleh Hutan Larangan dan Hutan Titipan. Hutan larangan berada di wilayah Gunung Kendeng (masuk dalam Kawasan Taman Nasional Halimun yang terletak diantara daerah Kabupaten Lebak, Provinsi Banten dan Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat). Daerah ini dikenal oleh masyarakat Banten dan orang Baduy pada umumnya sebagai Punggung Bumi (Sanghyang Pundak). Hutan Larangan adalah hutan yang sangat luas, ditumbuhi oleh berbagai tumbuhan tanpa campur tangan manusia, namun hidup dan berkembang secara alami. Di dalam hutan hidup secara alami berbagai jenis hewan. Manusia tidak diperkenankan untuk mengambil sebagian atau seluruh hasil dari hutan kecuali mengambil madu dan tanaman obat secukupnya. Ciri dari hutan larangan yang paling mudah dikenal ialah tidak adanya jalan untuk dilalui. Di dalamnya terdapat keanekaragaman tumbuhan yang usianya relatif tua, besar, dan tinggi dengan diameter batang pohon mencapai dua sampai tiga meter.

Sedangkan Hutan Titipan ialah hutan di luar hutan larangan yang berdasarkan keyakinan masyarakat adat Baduy hutan tersebut telah dititipkan oleh nenek moyang mereka secara turun temurun untuk tetap dijaga keutuhan dan kelestariannya, karena sangat menentukan bagi  stabilitas eko-sistem. Hutan titipan tumbuh dan berkembang secara alamiah. Larangan-larangan masyarakat pada hutan titipan diantaranya adalah tidak diperkenankan siapapun yang masuk ke dalam hutan membawa atau mengambil tumbuhan maupun hewan, serta potensi sumber daya alam yang ada di dalamnya, lebih-lebih mengeksploitasi untuk alasan apapun.

Di kawasan hutan titipan dimana komunitas Orang Baduy tinggal, terdapat berbagai jenis fauna yang hidup bebas. Setidaknya ada 90 jenis burung yang hidup berkembang di hutan-hutan Baduy : burung elang, gagak, jalak, kacer, cangkurileung, bincarung, dan lain-lain. Dan tidak kurang dari 10 jenis binatang melata, diantaranya jenis ular berbisa : ular cobra, ular tanah, dan lain-lain. Hutan titipan  di kawasan hutan lindung Baduy merupakan tempat yang ideal bagi berkembang biaknya hewan-hewan jenis monyet, jenis kucing (kucing hutan dan macan tutul).

Selain diapit oleh hutan titipan dan hutan larangan, perkampungan Baduy juga diapit oleh dua sungai besar: Sungai Ciujung dan Sungai Cisimeut. Kedua sungai mempunyai banyak anak sungai yang melintasi perkampungan dan hutan-hutan. Antar satu kampung dengan kampung lain umumnya dipisah oleh anak sungai dari kedua sungai besar tersebut. Airnya terus mengalir jernih tidak pernah mengering. Sungai-sungai besar maupun kecil menjadi pembatas yang membedakan wilayah Perkampungan Baduy Luar dan Baduy Dalam. Antara Kampung Baduy Luar dan Baduy Dalam dihubungkan oleh jembatan yang terbuat dari bambu yang diikat oleh tali dari kulit kayu diantara pohon-pohon besar yang tumbuh di seberang sebelah kiri dan kanan sungai tanpa menggunakan paku. Jembatan banyak dibangun dengan segala ukuran, menghubungkan antara kampung satu dengan kampung lain. Di Desa Barata, Kampung Baduy Luar, misalnya, terdapat jembatan akar, sebuah jembatan yang terbuat secara alami dari akar-akar pohon yang tumbuh di seberang sebelah kiri dan kanan sungai selama puluhan bahkan ratusan tahun. Akar–akar itu disambungkan dengan cara saling menyeberangi sungai dan saling melilit, memperkuat ikatan hingga membentuk sebuah jembatan penyeberangan yang kuat dan unik..

Aneka ragam fauna yang hidup di sungai-sungai Baduy hingga kini terjaga dan terpelihara dengan baik berkat banyak larangan dan pantangan untuk menjaga kelestarian air sungai dan biota yang hidup di dalamnya. Tidak boleh mandi di sungai dengan sabun mandi (Baduy Dalam), membuang sampah sembarangan terutama dari bahan plastik, atau menangkap ikan dengan cara disetrum menggunakan kekuatan aliran listrik. Di Baduy Dalam, orang boleh mengambil ikan dengan cara memancing, menjala, dan lain-lain, asal sudah mendapat ijin dari jaro (ketua kampung). Sekurangnya terdapat 20 jenis ikan yang hidup di sungai Baduy: udang, ikan lele, tawes, keuting, lundu, caung, belut, mujair, dan lain-lain.


Orang Baduy tidak menggantungkan hidup dengan air seperti mencari ikan dan beternak ikan. Sungai-sungai yang ada dibiarkan apa adanya, tanpa ada bendungan atau pengalihan aliran air sungai untuk peternakan ikan. Mereka lebih menyukai hidup dan bergantung pada sumber makanan dari darat, menanam padi dan tumbuh- tumbuhan lain yang bisa berbuah. Dalam pandangan mereka, memanfaatkan sungai untuk keperluan memenuhi kebutuhan makanan sehari-hari sama halnya dengan merusak kelestarian alam. Dari sungailah dimulai semua kehidupan di darat, karena itu sungai tidak boleh dikotori, biarkan airnya mengalir sampai jauh seperti apa adanya.(UTEN SUTENDY) **



Tidak ada komentar:

Posting Komentar