Minggu, 12 Januari 2014

MEMAHAMI BADUY (exotica nilai-nilai luhur orang Baduy)

Kehidupan Orang Baduy sering diceritakan banyak orang sebagai kelompok masyarakat miskin dan terbelakang. Mereka tinggal terpencil dibalik bukit yang sulit dijangkau oleh orang luar, tidak menggunakan listrik, radio, televisi dan barang-barang modern dari kota untuk keperluan sehari-hari, bahkan tidak boleh menaiki kendaraan saat bepergian jauh ke luar wilayah Baduy hingga ke kota-kota besar di Pulau jawa. Orang Baduy tidak bersekolah, bahkan sebagian dari mereka dianggap belum mengenal mata uang sebagai alat tukar yang berharga dan penting. Dan masih banyak cerita lain yang menggambarkan tentang profil kehidupan Orang Baduy yang berbeda dengan umumnya kehidupan masyarakat di luar Baduy.

Cerita kehidupan Orang Baduy selama ini ternyata menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat luar, : peneliti, mahasiswa, pelajar, wartawan, ilmuwan, dan masyarakat biasa dari berbagai daerah di tanah air, serta dari manca negara. Mereka datang mengunjungi Perkampungan Baduy dengan latarbelakang dan tujuan masing-masing. Ada yang melakukan penelitian, mencari bahan untuk menulis skripsi atau desertasi, karya tulis ilmiah, menulis buku, mengambil gambar untuk karya fotografi, ada juga yang semata-mata bertujuan ingin menikmati panorama hutan alam dan suasana kehidupan sosial keagamaan di Perkampungan Baduy yang harmonis. Mereka harus berjalan kaki menembus hutan, menaiki bukit, lembah dan gunung lewat jalan setapak yang licin dan terjal agar sampai ke pedalaman Desa Kanekes, Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, dimana komunitas Orang Baduy tinggal.

Seperti para pengunjung lain, saya banyak mengalami kesulitan saat menaiki dan menuruni lembah serta gunung, memasuki hutan belantara, menyeberangi banyak anak sungai, melewati jalan-jalan berliku, licin, becek dan terjal, masuk ke perkampungan-perkampungan Baduy untuk mengumpulkan bahan bagi penulisan buku ini. Sudah lebih dari enam kali dalam dua tahun terakhir perjalanan serupa saya tempuh, menuju ke tempat-tempat yang berbeda dan tinggal di sana selama beberapa hari. Berbaur bersama warga di Perkampungan Baduy Luar Cicakal Girang, Cipaler, Gazeboh, Batara, Kadu Ketug, serta di Baduy Dalam Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik. Selama tinggal, saya bergumul, menyatu, dan membiarkan diri hanyut dalam irama kehidupan Orang Baduy. Merasakan kegembiraan, kegetiran, suka duka hidup, dan memahami kehidupan mereka. Tidur di saung[1] di tengah-tengah huma[2] dalam gigitan udara dingin, ditemani suara jangkrik, kodok, dan lolongan anjing. Sesekali terdengar nyanyian calintu[3] di tengah kesunyian hutan, mirip suara biola yang digesek perlahan dan lembut.

Pagi hari menyaksikan dan merasakan sentuhan sinar matahari yang muncul perlahan di balik bukit, menyelinap dan sejenak hilang masuk ke sela-sela ranting-ranting pohon durian, terhalang dedaunan dan batang pohon aren, lalu muncul kembali menerangi alam dengan sinarnya yang masih berwarna kuning tembaga. Kehidupan pagi itu dimulai dengan siduru[4], menghangatkan tubuh yang menggigil kedinginan di depan tungku api, sambil memasak air. Menikmati kopi panas yang disajikan dalam cangkir terbuat dari batang bambu (Orang Baduy menyebutnya somong), sambil membakar pisang mentah di tengah bara tungku api. Sementara Orang Baduy, tua muda, laki-laki dan perempuan, mulai ke luar rumah, berjalan bergegas menuju ke huma, kebun, hutan, dan sungai. Ada yang memanggul potongan kayu berukuran besar, memikul keranjang berisi buah durian, pete, pinang, dan lain-lain, untuk dibawa ke Pasar Ciboleger dan Pasar Pasir Nangka atau pasar terdekat yang ada di luar Desa Kenekes. Saya ikut bergegas pergi menuju sungai, kemudian menceburkan diri dan merendamkan tubuh ke dalam air sungai yang bening. Badan yang sudah beberapa hari belum terkena air terasa segar tatkala air sungai yang mengalir deras nan dingin menerjang-nerjang tubuh yang terlentang bebas tanpa busana di balik batu batu besar diantara anak-anak muda Baduy yang tampak malu-malu ikut mandi bersama.

Saat matahari mulai naik melewati puncak bukit, saya ikut membaur dengan berbagai aktivitas Orang Baduy, untuk bisa merasakan getaran pikiran dan perasaan hati mereka, melihat dari dekat cara mereka bercocok tanam, menanak nasi, ikut masuk ke dalam hutan mencari kayu dan makan buah durian yang jatuh dari pohon di tengah hutan rimba, menyusuri jalan-jalan setapak untuk mengunjungi beberapa perkampungan. Sesekali mengajak beberapa anak muda Baduy pergi ke lokasi dekat hulu sungai Ciujung, memancing dan menjala ikan. Masak nasi liwet dengan beras huma asli Baduy yang wangi dan legit. Membuat tungku api di pinggir sungai di antara hamparan batu-batu besar. Makan bersama dengan alas sehelai daun pisang utuh di atas gundukan batu paling besar di bawah pohon yang akar-akarnya dibiarkan jatuh terurai menyentuh air sungai dan batu-batuan. Makan bareng Orang Baduy dengan nasi liwet dan pepes ikan tawes, udang, ikan paray, ditambah ikan asin peda merah yang dibakar, sambal hijau, dan petai muda yang baru dipetik, kenikmatannya sungguh tak ada yang menandingi. Kadang saya mengulangi hal serupa pada tengah malam. Menjala dan memancing ikan di tengah kegelapan malam Sungai Ciujung. Makan bersama-sama di dalam saung yang sunyi di balik bukit. Dalam suasana riang di tengah remang-remang lampu teplok dan sayup-sayup terdengar suara gesekan batang-batang pohon yang diterpa angin, serta gemericik air yang tiada henti, sebuah kenangan indah yang sulit dilupakan.

Saya mengunjungi rumah tokoh-tokoh masyarakat Baduy Luar dan Baduy Dalam. Berdiskusi hingga sampai jauh larut malam, diantaranya dengan Jaro[5] Nalim, wakil Puun dari Kampung Baduy Dalam Cikartawana. Berbincang-bincang selama berjam-jam dengan Kepala Desa Jaro Daenah di Kadu Ketug (Baduy Luar), serta tokoh masyarakat lain. Kami sering melakukan pembicaraan hangat dan mengasyikan dengan tokoh masyarakat Baduy di dalam saung di tengah huma sambil menemani mereka membuat atap rumah dari daun kiray. Sesekali waktu kami berdiskusi sambil menjaring ikan di Sungai Ciujung. Atau di teras rumah pada sore hari menjelang maghrib sambil menikmati secangkir kopi dan menghisap tembakau yang dilinting dengan daun kaung, daun dari pohon aren kering. Dalam diskusi ini saya harus lebih aktif dan banyak bicara agar mengetahui lebih dalam tentang seluk beluk kehidupan orang Baduy. Pada umumnya Orang Baduy tidak terlalu terbuka dalam hal berbicara. Mereka hanya mau berbicara sebatas menjawab yang ditanya.

Dalam setiap pembicaraan, banyak yang harus ditanyakan termasuk menyangkut hal-hal yang dianggap tabu bagi Orang Baduy. Soal kenapa tidak boleh sekolah, kenapa barang-barang produk modern seperti televisi dan radio tak diperkenankan masuk, mengapa mereka hanya diperbolehkan memakai baju warna putih dan biru tua saja, serta kenapa tidak diperkenankan memelihara binatang ternak yang berkaki empat seperti kambing, kerbau, domba, dan lain-lain. Dan kenapa pula tidak boleh menaiki kendaraan bila bepergian, dan masih banyak lagi pertanyaan lain. Saya juga menyerap berbagai informasi dan pengetahuan mengenai segala aspek kehidupan: agama, filsafat, seni, politik, sistem perdagangan, kebudayaan. Tentang bagaimana sikap para tokoh masyarakat itu terhadap perkembangan terkini dan hingar-bingar kehidupan modern, tentang berbagai konflik politik dan ekonomi yang terjadi di tengah-tengah kehidupan masyarakat di luar Baduy. Yang paling banyak menyita waktu tiap kali berdiskusi, adalah masalah keselamatan dan masa depan lingkungan hutan Baduy yang menjadi pusat perhatian sekaligus sumber kegelisahan Orang Baduy.

Di balik keluguan, kesederhanaan, dan “keterbelakangan”nya secara fisik yang nyata terlihat oleh msyarakat luar, sesungguhnya Orang Baduy adalah orang-orang yang hidup dengan konsistensi, menjalankan sistem sosial kemasyarakatan dan nilai-nilai adat serta keyakinan yang membuat hidup mereka tampak sehat, tenteram, damai dan sejahtera. Mereka tinggal dalam suasana perkampungan yang sangat asri, hijau, rindang, riyuh dan harmonis. Rumah-rumah dan leuit[6] milik mereka ditata rapih, tersembunyi di bawah dan di balik pohon-pohon besar nan rindang, seperti pohon bambu, pohon aren, pohon durian, pohon sukun, pohon buah limus, pohon kiara, kianggir, kokosan, areuy kawao, rotan, dan lain-lain yang sengaja dibiarkan tumbuh liar seperti apa adanya, mengelilingi wilayah perkampungan. Di sekeliling kampung ada banyak mata air, mengalirkan air jernih, yang sengaja ditampung dalam kolam-kolam kecil. Sebagian airnya disalurkan ke rumah warga melalui saluran yang terbuat dari sambungan batang-batang bambu. Saking bersih dan jernihnya, air itu bisa langsung diminum. Anak-anak sungai yang memisahkan antara satu kampung dengan kampung lain, tak pernah istirahat mengalirkan air yang jernih bagai kaca menerjang batu-batu besar yang terhampar di sepanjang sungai, mengeluarkan suara gemuruh dan gemericik air, sebuah harmoni kehidupan alam.

Seperti harmoni alam, Orang Baduy menjalani kehidupan sosial-ekonomi dengan harmonis, satu sama lain saling membantu, menghormati dan saling menolong. Menyatu bersama alam, melindungi dan menjaga alam, bersikap ramah pada siapapun yang datang, dan memiliki kekayaan hasil bumi berlimpah yang bisa menjamin masa depan anak cucu mereka untuk hidup damai sejahtera tanpa perlu khawatir akan kekurangan pangan. Pantaskah kemudian mereka disebut sebagai kelompok masyarakat “terbelakang“ dan “miskin” seperti yang dilontarkan oleh banyak orang luar yang merasa dan mengaku lebih modern?

Dari segi penampilan fisik orang Baduy memang sangat berbeda dengan mereka yang hidup di luar dan di kota. Jika kemodernan dan kemajuan suatu kelompok masyarakat hanya dilihat dari sisi penampilan fisik dan gaya hidup, boleh jadi Orang Baduy dikatakan “terbelakang” dan “miskin”. Orang luar jika bepergian jarak jauh naik kendaraan, sedangkan orang Baduy hanya berjalan dengan kaki telanjang. Orang luar mengenakan baju dari aneka bahan berkualitas dengan banyak motif dan berwarna-warni, sedangkan orang Baduy hanya memakai baju dari bahan kain belacu warna putih atau hitam. Kalau orang luar di kota-kota terbiasa menikmati makan enak di restoran dengan macam-macam jenis lauk-pauk yang mengandung gizi tinggi, orang Baduy terbiasa makan nasi putih dengan lauk-pauk seadanya, seperti ikan asin dan lalab. Jika orang luar di kota mempunyai rumah yang bagus, mewah, besar, dan megah, rumah orang Baduy hanya terbuat dari bambu dan kayu tanpa paku. Semua rumah orang Baduy mempunyai bentuk, ukuran dan bahan yang sama. Kalau orang luar di kota mempunyai uang banyak yang disimpan dalam bentuk tabungan uang tunai dan surat berharga, orang Baduy mempunyai leuyit, lumbung padi, tempat menyimpan gabah[7] hasil panen. Dengan leuyit ini gabah hasil panen mereka bisa bertahan hingga puluhan tahun, bahkan ratusan tahun.

Dengan perbandingan itu, apakah kemudian orang luar yang tinggal di kota dengan ciri-ciri fisik tadi bisa dianggap sebagai kelompok masyarakat yang sah menyandang gelar “manusia modern”? Apakah sesungguhnya yang menjadi ukuran seseorang bisa disebut modern atau tidak modern, penampilan fisikkah atau kualitas berfikir dan bersikap terhadap dunia dan masa depan?

Mengklaim atau menyudutkan sebuah komunitas masyarakat dari segi penampilan fisik terasa agak kurang bijaksana. Sementara dibalik penampilan fisik yang sederhana, apa adanya, dan jauh dari symbol-symbol yang disebut modern oleh masyarakat perkotaan, tersimpan nilai-nilai luhur yang patut dipelajari, berguna untuk keselamatan dan keutuhan masa depan umat manusia dan lingkungannya. Komunitas orang Baduy mungkin salah satu dari sedikit komunitas yang masih ada di dunia yang menyimpan dan memelihara dengan baik nilai-nilai dan kearifan lokal untuk menyelamatkan masa depan umat manusia dari ancaman kerapuhan hubungan sosial-ekonomi dan pribadi antar manusia serta kerusakan lingkungan akibat kerakusan dan kekuasaan. Beberapa catatan di bawah ini mungkin bisa menjadi bahan pemikiran dan referensi, bagaimana kita mensikapi kehidupan tradisional Baduy dan cara memandang masa depan dunia.

Ketika “orang modern” di seluruh dunia merasa panik dan cemas karena ancaman kelaparan dan kemiskinan yang melanda beberapa belahan dunia akibat kekeringan dan kebijakan sistem ekonomi yang salah, atau karena akibat krisis ekonomi global, orang Baduy bisa duduk dengan tenang, menghisap rokok kretek di sore hari sambil menikmati secangkir kopi hangat tanpa harus memikirkan besok harus makan apa. Mereka sudah memiliki konsep dan strategi ketahanan pangan yang memungkinkan anggota keluarga terhindar dari ancaman kemiskinan dan kelaparan. Rata-rata dari mereka yang sudah berkeluarga mememiliki simpanan padi (pangan) dalam leuyit. Simpanan padi hasil panen yang bisa menopang hidup mereka hingga beberapa tahun bahkan puluhan tahun ke depan.

Tatkala orang modern makin gelisah dan ketakutan dengan merebaknya aneka jenis penyakit ganas dan baru bermunculan mengancam tiap nyawa manusia modern, seperti flu burung, flu babi, tumor ganas, liver, gagal jantug, stroke, types, parkinson, dan lain-lain, Orang Baduy malah menikmati hidup sehat tanpa banyak mengenal penyakit ganas, kecuali penyakit kulit ringan. Mereka memiliki model pengobatan tradisional terhadap tiap penyakit yang datang, menyerahkan pada apa yang telah disediakan oleh alam, diantaranya dengan ramuan obat alami dari dedauan dan akar berbagai jenis tumbuhan berkhasiat, tanpa harus berurusan dengan banyak dokter dan birokrasi rumah sakit yang menawarkan aneka jenis obat dan sistem pengobatan dengan biaya sangat mahal. “Urang kami hirup sarehat karena hati jeung pikiran dijaga supaya sehat (orang kami hidup sehat karena menjaga hati dan pikiran agar tetap sehat)” kata Jaro Nalim, tokoh masyarakat Baduy Dalam Cikartawana.

Saat orang modern sibuk memikirkan keselamatan lingkungan dunia yang makin kritis, sering dilanda bencana banjir, gempa bumi, pemanasan global (global warming), gejala rumah kaca, ancaman tsunami, dan lain-lain akibat pencemaran udara oleh gas emisi, pencemaran air oleh aneka limbah industri, penggundulan hutan dan lain-lain yang semakin tak terkendali, Orang Baduy justru menjalani hidup damai, menyatu dengan alam. Seluruh nilai-nilai hidup, keyakinan, dan ajaran agama yang mendasari keseluruhan sikap hidup mereka dalam memandang dunia dan masa depan, semata-mata berorientasi pada upaya menjaga keseimbangan ekosistem, melestarikan dan melindungi alam dari kerusakan. Mereka memiliki keyakinan dan kepercayaan, bahwa keberadaan orang Baduy di dunia mempunyai tugas dan tanggung jawab mulia dan penting, yakni menjaga alam. Mereka tinggal di sebuah tempat yang disebut panjer bumi[8].

Tatkala orang modern terus mengupayakan perundingan antar negara, antara benua, untuk mencari solusi bagaimana membangun sistem perekonomian, bentuk tatanan dunia baru yang damai, menghindari berbagai konflik politik di belahan dunia, diantaranya melalui konsep perdagangan bebas dan demokratisasi (sistem ini hingga kini belum bisa menyelesaikan konflik bisnis dan politik di banyak negara dan kelompok masyarakat), orang Baduy justru sudah menjalankan bisnis dagang dan mengatur masyarakat tanpa konflik. Aturan dagang dan pemerintahan dibuat dalam sebuah sistem yang berorientasi pada upaya menjaga keseimbangan dan harmonisasi hubungan antar manusia. Misalnya, agar tidak terjadi persaingan kurang sehat, hanya ada satu warung yang boleh buka di dalam satu kampung. Kritik dan aspirasi warga disampaikan dalam sebuah mekanisme rapat adat dengan mengedepankan tatakrama serta kemuliaan akhlak dan moral.

Gambaran keberadaan komunitas Baduy di atas dengan kondisi lingkungan dan sistem nilai yang dianut, seperti sebuah potret masyarakat yang sudah given, sudah jadi, dimana mereka tak lagi memerlukan proses pencaharian tentang bentuk tatanan dunia baru yang ideal sebagaimana yang sedang terus dicari dan diupayakan oleh “manusia modern.” Dalam masayarakat Baduy keseimbangan hubungan antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan Tuhan, yang merupakan dasar dari semua ajaran agama di muka bumi, masih terjaga dan terpelihara dengan sangat konsisten.

Dengan realitas hidup dan kondisi lingkungan serta sistem nilai yang dianut, Baduy boleh jadi merupakan sebuah perwujudan “simpanan” atau “tabungan” Tuhan yang masih tersisa, atau sengaja disisakan Tuhan dari sekian banyak kekayaan dan ciptaan Tuhan yang lain (termasuk agama) di muka bumi yang kini sudah berubah dan mulai rusak dan rapuh. Tabungan itu sengaja dipertahankan sebagai modal dan bekal sekaligus cermin bagi perbaikan masa depan dunia.

Kehidupan di sana memang kelihatan seperti tidak bergerak, tak berubah. Jarum jam seolah-olah berputar lambat, bahkan seperti tidak berputar. Namun dengan “diam” nya, Orang Baduy, tanpa banyak disadari oleh orang modern, mereka sedang bekerja keras menjaga keutuhan alam dari kehancuran. Dan orang kota yang merasa modern dengan pergerakannya yang begitu cepat, didukung oleh temuan berbagai teknologi tingkat tinggi, yang memudahkan mereka bisa melakukan apa saja, termasuk menghasilkan banyak cerobong asap, memproduksi emisi lewat knalpot mobil, hingga mampu mengotori bulan dan planet mars, seolah-olah mau membangun masyarakat dan menyelamatkan bumi. Padahal tanpa menyadarinya, sesungguhnya mereka sedang berjalan cepat dan tergesa-gesa menuju proses kehancuran bumi.

Cara pandang orang luar yang mengaku manusia modern dalam melihat masa depan harus direinterpretasikan lagi. Gaya hidup dan sistem nilai yang selama ini dianggap sebagai konsep ideal bagi pembangunan tatanan dunia baru tampaknya perlu ditinjau ulang. Masih pantas dan patutkah kemudian cara pandang yang kita anut selama ini disebut sebagai cara pandang manusia modern. Dan sebaliknya menyudutkan cara pandang dan penampilan fisik orang Baduy sebagai cara hidup kelompok manusia terbelakang?

Lepas dari penafsiran dan pengertian tentang modernitas dan keterbelakangan, keberadaan komunitas Baduy yang tinggal di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, merupakan bagian dari asset dunia yang saat ini –seperti kebanyakan komunitas lokal lainnya di dunia--sedang menghadapi ancaman serius dari bahaya modernisasi dan kapitalisasi. Oleh karena itu, keberadaan Baduy dan lingkungannya patut dilindungi dan dilestarikan hingga kelak anak cucu masih mengenal bahwa di tengah-tengah arus perubahan modernisasi dan kapitalisasi, masih ada sekelompok orang yang sangat konsisten mempertahankan prinsip dan nilai-nilai adat serta ajaran agama, demi menjaga dan menyelamatkan masa depan manusia dan lingkungan dari kehancuran.

Tulisan-tulisan yang ada di dalam buku ini menampilkan sisi kehidupan masyarakat Baduy secara utuh. Mulai dari kondisi geografis, perilaku kehidupan sehari-hari, keyakinan, cara berpakaian, cara bertani, sistem sosial dan adat serta dasar-dasar nilai dan filosofi yang melatarbelakangi sikap hidup, cara pandang mereka tentang dunia dan masa depan. Dengan harapan buku ini bisa menjadi cermin bagi masyarakat untuk belajar lebih bijak melihat kehidupan orang Baduy, dan lebih kritis, bijak, serta santun memandang masa depan dunia. Semoga buku ini bisa menjadi referensi untuk penataan kembali konsep hidup manusia modern dan pembangunan tatanan lingkungan dunia baru. Penulis sepenuhnya menyerahkan kepada pembaca untuk memberikan interpretasi dan penilaian secara obyektif maupun subyektif atas apa yang diketahui dan dipahami tentang Orang Baduy. Selamat membaca. (UTEN SUTENDY)***



[1] Saung          : gubuk, terbuat dari bambu dan atap alang-alang di tengah-tengah sawah
[2] Huma          : lahan padi yang kering dan tidak ada pematangnya
[3] Calintu        : suara yang di hasilkan oleh gesekan pohon bambu yang tertiup angin
[4] Sinduru        : kegiatan menghangatkan tubuh di depan tungku sambil memasak, dilakukan dipagi hari
[5] Jaro : Gelar untuk kepala suku atau kepala adat Baduy yang duduk di lembaga pemerintahan Baduy
[6] Leunyit: lumbung padi
[7] Gabah : padi yang sudah dipanen
[8] Panjer Bumi : inti dari jagat raya

1 komentar: