Jumat, 10 Januari 2014

BAHASA JALAN TENGAH

  
Kejujuran adalah segalanya. Begitulah prinsip hidup Orang Baduy seperti diuraikan Jaro Daenah dan Jaro Nalim. Kejujuran menyampaikan kebenaran secara apa adanya, tanpa ditutupi, ditambahkan, dilebihkan atau dikurangi. Mereka selalu mengatakan sesuatu apa adanya seperti mereka melihat, memikirkan, dan merasakan sesuai kenyataan, tanpa berusaha melebih-lebihkan atau mengurangi. Seringkali sikap ini disalahartikan sebagai sikap yang lugu, polos, atau bahkan bodoh.

Mereka tidak pernah meminta apapun saat mengunjungi teman atau bertamu ke rumah teman dan kerabat di luar lingkungan Baduy, walau mereka tempuh dengan berjalan kaki menyusuri jalan ratusan kilometer selama beberapa hari, kecuali meminta segelas air. Dan jika mereka menerima bayaran dari para tamu pengunjung yang datang ke lingkungan Baduy, mereka juga tidak meminta bayaran yang lebih atas jasa yang diberikan. Menjadi penunjuk jalan (guide), tukang panggul dalam perjalanan ke hutan belantara Baduy. Mereka selalu setia melayani, mendampingi, menemani tamu, menjaga dan memelihara tiap barang yang dititipkan, selama masih dibutuhkan. Tetapi jangan sekali-kali dibohongi, dicurangi, atau mengakali, mereka akan melawan, karena hal itu melanggar nilai-nilai dan kode etik kejujuran yang dijunjung tinggi serta dianggap sebagai harga mati. Kejujuran adalah pijakan dasar moralitas dan komitmen sosial Orang Baduy sebagai makhluk Tuhan.

Sekali mereka berbuat bohong, berarti sudah keluar dari komitmen moral dan  nilai-nilai luhur yang mereka anut dari masa ke masa. Kejujuran itu menjadi ruh dan semangat kerja keras yang diperlihatkan dalam perilaku kehidupan sehari-hari. Dalam aturan adat, hutan tidak boleh dirusak, sungai tidak boleh dikotori, dan hati manusia tidak boleh disakiti. Berkat kejujuran dan kesetiaan pada hukum adat, lingkungan hutan di Baduy terlindungi dan terpelihara dengan baik. Air sungai yang mengalir sangat jernih, hubungan antar manusia terpelihara dengan baik (tidak ada konflik yang dipicu oleh rasa saling iri, dengki, dan cemburu). Semua aktivitas kehidupan diatur dengan semangat kejujuran menerima dan menyatu dengan alam secara apa adanya.

Kejujuran juga mereka bawa saat bepergian ke luar kampung, merantau ke kota. Dalam aturan adat, Orang Baduy Dalam tidak boleh menaiki kendaraan bila sedang berkunjung ke kota, harus berjalan kaki, sejauh manapun perjalanan yang ditempuh: mengembara ke kota-kota besar, Jakarta, Bogor, Bandung, dan lain-lain, dengan jalan kaki, walau harus menempuh ribuan kilometer di tengah hujan deras dan dalam terik panas sinar matahari. Kalau menaiki kendaraan sebetulnya bisa saja, dan tidak ada yang menyampaikan atau mengadukan hal itu kepada tetua adat di Baduy Dalam. Tetapi, hal itu tidak mereka lakukan. Kalau pun mereka melakukannya berarti sudah melanggar kejujuran hati nurani. Tiap Orang Baduy yang melanggar kejujuran dianggap bukan lagi Orang Baduy yang setia, karenanya harus menerima sangsi moral dan sosial. Mereka yang melanggar aturan (naik kendaraan, merusak hutan, dll) harus keluar dan dikeluarkan dari komunitas Baduy Dalam.

Itu sebabnya segala perbuatan dan perkataan Orang Baduy selalu mencerminkan kejujuran yang sejati. Pilihan kata dan kalimat yang mereka pilih jika sedang bercakap-cakap selalu berada di jalur tengah, menunjukkan bahwa apa yang mereka katakan sebagai sesuatu yang “tidak selalu benar dan tidak juga selalu salah. Untuk hal-hal yang belum pasti benar diketahui, mereka selalu memilih kata dan kalimat yang “berada di tengah-tengah” tidak selalu benar dan tidak juga selalu salah, tidak “ya” dan tidak juga “tidak”.

Bila Orang Baduy ditanya “apak kabar, atau sehat Pak?” Mereka akan selalu menjawab: “baik yang baik mah, atau sehat yang sehat mah” (yang baik ya baik, yang sehat ya sehat). Demikian juga bila mereka ditanya tentang sesuatu yang sesungguhnya sangat mudah dijawab dengan kata “ya” atau “tidak”. Orang Baduy tidak mengatakan “ya” dan “tidak”, tetapi selalu berada diantara keduanya. Saat ditanya, “Pak itu buah durian manis gak?” mereka akan menjawab “manis yang manis mah” (manis kalau yang manis).

Suatu kali ada seseorang sedang memancing di Sungai Ciujung dan berharap mendapat ikan, karena airnya bagus dan tidak banyak orang mencari ikan di tempat tersebut. Tetapi sudah beberapa jam tak satu ekor ikan pun yang menarik kail. Orang itu bertanya kepada Orang Baduy yang sedang lewat di seberang sungai “Pak ada ikannya gak di sungai ini?” dengan sepontan dan rada cuek, Orang Baduy itu menjawab sambil berjalan tanpa menengok sedikit pun pada orang itu: “duka atuh, abdi mah di darat, lauk mah di cai ”(tidak tahu, saya kan di darat, sementara ikan di dalam air). Saking kesal, orang itu menggulung tali pancing dan langsung berhenti memancing.

Selain berada di “jalur tengah” yang membuat cara berbicara orang baduy terlihat berbeda dan menarik ialah dialek bahasa yang mereka sampaikan juga berbeda dengan umumnya cara bicara orang Sunda. Misalnya dalam penyebutan kata ulah yang artinya jangan. Kata itu mereka ucapkan dengan intonasi ull….lah. Jika ada dua kata dalam satu kalimat, misalnya, kamari iyeu (kemarin ini), maka yang mendapat tekanan ialah kalimat terakhir, yakni diungkapan seperti ini: kamari iyyy…yeu. Dan bila terdapat tiga kata atau lebih dalam satu kalimat, maka yang mendapat tekanan adalah kata yang ada di tengah dan akhir kalimat. Misalnya kamari mah can puguh, maka diungkapkan seperti kamari mmmah can pug….guh.. dan seterusnya. Dalam percakapan sehari-hari, mereka seakan-akan sedang mengobrol sambil berjalan kaki naik-turun bukit, sehingga bahasa mereka turun naik dan tertekan seperti terengah-engah.

Ungkapan kalimat dan kata di atas merupakan refleksi dari sikap mental-budaya dan gaya bahasa Sunda Buhun yang dipergunakan orang Baduy sehari-hari yang nyaris berbeda dengan bahasa sunda umumnya yang ada di Provinsi Banten dan Jawa Barat. Sunda Buhun merupakan bahasa sunda kuno yang termasuk ke dalam rumpun bahasa sunda paling kasar dan paling tua di Indonesia.


Bahasa Sunda Buhun yang masih asli terdapat dalam jampe-jampe yang mereka bacakan pada saat-saat tertentu. Bahasa tersebut nyaris tidak dimengerti oleh kebanyakan orang sunda pada umumnya. Bahasa Sunda Buhun dalam jampe-jampe jauh lebih rumit dimengerti dibandingkan dengan bahasa Sunda Buhun yang mereka pergunakan sehari-hari. Namun demikian, bahasa Sunda Buhun yang dipakai sehari-hari pun masih agak sulit dimengerti untuk orang-orang luar Banten pada umumnya.(UTEN SUTENDY)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar