Jumat, 10 Januari 2014

KHAWATIR MENJADI PINTAR


 Umumnya orang luar menilai Orang Baduy sebagai kelompok masyarakat yang tidak mengenal sekolah, sengaja menghindar mengikuti pendidikan formal di sekolah. Ada banyak upaya masyarakat luar untuk “mencerdaskan” masyarakat Baduy dengan mengikutsertakan mereka dalam berbagai program kegiatan pendidikan formal. Namun, sejauh ini tak pernah ada yang benar-benar berhasil. Pertanyaannya apakah betul Orang Baduy itu tidak sekolah, tidak belajar sehingga harus di”sekolah”kan?”

Orang Baduy memang dilarang mengikuti pendidikan formal seperti belajar di sekolah yang disedikan pemerintah di luar Baduy. Tetapi terlalu gegabah bila menyebut orang Baduy tidak belajar dan tidak berpendidikan. Mereka adalah orang- orang yang rajin belajar secara mandiri tentang banyak hal dan langsung mempraktekkan ilmu serta pengalaman yang dimiliki dalam kehidupan sehari-hari.

Mereka belajar secara tekun tentang ajaran Sunda Wiwitan, cara bercocok tanam, cara memasak, cara memilih kayu, cara pengobatan tradisional, cara menenun, cara menganyam, mengenal jenis pohon, cara bertani yang benar, memelihara dan melindungi hutan, berkesenian, dan lain-lain. Mereka sesungguhnya orang-orang “pintar” dan bijak yang terus belajar. Kepintaran dan kebijakan mereka tentu berbeda dengan orang luar yang pernah mengecap pendidikan formal di sekolah. Orang Baduy adalah orang–orang yang pintar membaca tanda-tanda alam, fungsi alam, cara mengolah tanah, mengenal fungsi dan manfaat tiap pohon, perilaku hewan, cerdas menjaga dan memafaatkan air, menjaga hutan, memelihara sungai, dan lain-lain.

Berkat kecerdasan mereka dalam memahami perilaku dan gejala alam, lingkungan hutan di Baduy dengan segala jenis satwa di dalamnya hingga kini terjaga lestari, berfungsi sebagai paru-paru bumi dan penjaga keseimbangan eko-sistem. Air sungai mengalir deras apa adanya, bening dengan aneka jenis ikan yang hidup bebas, menjadi penyedia sumber hayati dan sumber protein yang tetap terjaga.

Orang Baduy tumbuh menjadi orang yang bijak, dapat memahami dan menjaga perasaan orang lain. Kata-kata dan kalimat yang mereka pakai dalam bahasa bercakap-cakap adalah kata–kata dan kalimat yang penuh kesantunan dan tatakrama. Satu sama lain saling menghargai dan menjaga perasaan, pandai menjaga, mengolah perasaan dan pikiran agar bisa bertindak bijak, adil, dan sebisa mungkin terhindar dari kemungkinan menyinggung perasaan orang lain, sehingga diantara mereka terhindar dari konflik, pertengkaran antar tetangga, pertengkaran antar anggota keluarga, ribut antar kampung dan lain-lain.

Ketika mereka dibilang tidak bersekolah dan tidak berpendidikan, sebetulnya mereka bisa marah. Setiap hari tanpa mengenal hari libur, anak-anak mereka tetap “sekolah” di ladang dan di tengah hutan belantara. Dari mulai pukul enam pagi, anak-anak Baduy berumur enam sampai 10 tahun mulai berangkat ke “sekolah.” Membawa sebilah golok, berjalan kaki hingga puluhan kilo meter, mendaki gunung, membuka huma, menanam pohon, mengambil air untuk memasak, mengambil ranting kering untuk bahan bakar, dan lain-lain. Itulah bagian dari cara dan bentuk men”sekolah”kan dan mendidik anak-anak Baduy.

Sekolah atau pendidikan bagi orang Baduy berarti mempelajari perilaku dan gejala alam, mengetahui fungsi alam, manfaat dan jenis pohon, cara bercocok tanam, memahami musim, dan jenis-jenis tanaman serta cara menanam yang tidak merusak alam. Pendidikan tersebut diberikan sejak usia dini secara bertahap kepada semua anak-anak Baduy, sehingga rata-rata dari mereka mampu melakukan dan nyaris tidak ada yang tidak mampu bercocok tanam. Dalam memberikan pendidikan, dipisahkan antara pendidikan untuk kaum laki-laki dan untuk kaum perempuan, sesuai dengan kodrat dan kemampuan. Seperti pendidikan menenun hanya diberikan kepada kaum perempuan. Sedangkan pendidikan menganyam diberikan kepada kaum laki-laki. Dengan demikan, tidak ada kaum pria yang menenun atau sebaliknya, tidak diperkenankan kaum perempuan untuk bisa menganyam.

Selain itu, orang Baduy juga rajin menggali ilmu pengetahuan yang diperlukan. Mereka akan senantiasa bertanya kepada masyarakat luar yang berkunjung atau dikunjunginya. Pengetahuan yang diperoleh lalu langsung dimanfaatkan untuk kehidupan sehari-hari. Namun tak semua pengetahuan yang diperoleh dapat diterapkan di kampungnya, terutama jika bertentangan dengan adat dan ajaran yang dianut. Pengetahuan dan informasi yang diperoleh di luar, biasanya dipilih dan disaring, mana yang sesuai dan mana yang tidak sesuai, atau mana yang dibolehkan dan mana yang tidak dibolehkan. Dengan begitu, anak-anak dan generasi muda Baduy dapat meneruskan tugas dan tanggung jawab orang tua dan leluhur, menjaga keutuhan akan adat istiadat, yang terfokus pada upaya melestarikan dan menjaga keseimbangan alam.

Sekolah sebagaimana dalam pengertian secara umum belajar membaca dan menulis di ruang kelas sebagaimana orang luar, adalah sesuatu yang tidak perlu, bahkan dilarang dan haram hukumnya. “Urang Baduy mah teu menang sakola, kusabab mun sakola engkena jadi pintar, mun geus pintar osok meminteureun batur, siga orang kota,kata Jaro Nalim (orang Baduy tidak boleh sekolah, sebab kalau sekolah nantinya jadi pintar dan kalau sudah pintar biasanya suka minterin orang lain).

Mengikuti sekolah seperti orang kota, menurut keyakinan Orang Baduy sebagaimana diungkapkan Ayah Ijom (warga Kampung Gazeboh), bisa membuat mereka lupa terhadap perannya sebagai manusia penjaga, pelindung dan pelestari lingkungan, serta penjaga keseimbangan hubungan antara alam dan manusia. Belajar di bangku sekolah untuk belajar membaca, menulis, dan lain-lain, akan menimbulkan dampak yang kurang baik bagi orang Baduy sebagai penjaga dan pelestari keseimbangan hubungan manusia dan alam serta hubungan yang harmonis antara manusia dengan manusia lain.

Karena belajar di lembaga sekolah formal, menurut Ayah Ijom, akan membuat orang-orang menjadi pintar segala macam. Kalau sudah pintar mereka khawatir orang tersebut bisa melakukan berbagai cara untuk mempraktekkan kepintaran demi keuntungan pribadi. Bisa menipu, membohongi, mensiasati, merekayasa, membuat strategi demi meraih keuntungan, kemenangan, pribadi dan kelompok. Dan kalau orang sudah terlalu pintar, menurut mereka, maka akan makin sulit mengendalikan kepintaran. Orang bisa membuat berbagai macam hasil temuan ilmiah untuk mengusai manusia lain dan mengusai alam. Segala yang ada di muka bumi, di dalam perut bumi, di dalam dasar laut, dapat dikeruk, disedot, dieksploitasi oleh orang-orang yang terlalu pintar, demi kepentingan kekuasaan dan kepuasan nafsu manusia.

Akibatnya, alam menjadi kering, sungai dan laut menjadi kotor, hutan jadi gundul, dan lain-lain. Orang yang pintar yang dilahirkan dari produk sekolah formal dan modern dari waktu ke waktu makin sulit mengendalikan kepintaran. Kalau sudah begini, kata Orang Baduy, maka kehancuran dan kemarahan alam tinggal menunggu waktu.


Dilihat dari perspektif tersebut, siapa sesungguhnya yang lebih pintar, cerdas dan bijak? Orang Baduy yang bertahan dengan prinsip tidak sekolah dan orang-orang luar yang menganggap sekolah sebagai sarana modernitas, sepertinya sedang berjalan ke sisi dua arah yang bertolak belakang. Orang Baduy sedang berjalan di tempat untuk  menjaga alam dari kerusakan yang diakibatkan oleh ulah orang-orang pintar. Dan orang luar dengan segala kepintaran dan kemampuan ilmu dan teknologi sedang berjalan kencang mengejar keuntungan ekonomi, hampir tanpa kendali, berlomba menguasai dan mengeksploitasi serta merusak alam. Mana yang lebih bijak dan pintar? (UTEN SUTENDY) **

Tidak ada komentar:

Posting Komentar